Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Mimpi Buruk Tentang Kegelapan
Langit malam berangsur memudar menjadi kelabu saat fajar mendekat, tetapi pikiran Radena tetap dipenuhi bayangan sosok berjubah hitam. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun ia kini telah berada di dalam kamar pribadinya di menara tertinggi istana.
Radena berdiri di depan cermin besar berhias ukiran naga, mengamati pantulan dirinya. Rambut pirang terangnya menjuntai lurus hingga bahu, dan lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya. Ia tidak bisa tidur—bukan karena takut, tetapi karena rasa penasaran yang menyiksa pikirannya.
“Siapa sosok itu?”
“Apa maksudnya waktumu telah tiba?”
Suaranya menggema di benaknya seperti mantra yang tidak terpecahkan. Ia melirik ke meja di sudut kamar, di mana tongkat sihir kecil berwarna perak bersandar dengan santai. Sebuah hadiah dari ayahnya, tetapi ia jarang menggunakannya.
“Sihir ini selalu terasa seperti belenggu,” gumamnyA pelan.
Tuk. Tuk. Tuk.
Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian.
“Masuk,” kata Radena, berbalik dengan alis terangkat.
Lady Melya muncul dari balik pintu, membawa nampan kecil dengan secangkir teh herbal. Ia menatap Radena dengan tatapan penuh perhatian.
“Yang Mulia, kau tidak tidur semalaman, ya?” tanya Melya, meletakkan cangkir itu di atas meja dekat tempat tidur.
Radena mengangkat bahu. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi buruk itu terus menghantuiku, bahkan saat aku terjaga.”
Lady Melya menghela napas. “Ini bukan pertama kalinya kau merasakan ini, kan?”
Radena mengangguk pelan. “Sudah beberapa bulan. Awalnya hanya seperti firasat aneh, tapi semakin lama semakin jelas. Sosok berjubah hitam itu... Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.”
Melya terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, “Mungkin sudah saatnya kau bicara dengan Raja Altheron tentang mimpi-mimpimu.”
Radena menatap pelayannya dengan dingin. “Ayah tidak akan mendengarkan. Baginya, semua hal ini hanyalah omong kosong seorang gadis yang tidak tahu tanggung jawabnya.”
Lady Melya mencoba menenangkan. “Tapi kali ini berbeda, Yang Mulia. Kau melihat sesuatu di dunia nyata. Itu bukan hanya mimpi lagi.”
Radena terdiam. Ia tahu Melya benar, tetapi pikirannya masih memberontak. Jika ia mengatakan sesuatu kepada ayahnya, hal itu hanya akan membuatnya semakin terikat pada istana ini.
“Biarkan aku berpikir dulu,” kata Radena akhirnya, lalu mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biarkan aku sendiri.”
Melya mengangguk dan meninggalkan kamar dengan langkah pelan.
Setelah kepergian Melya, Radena memutuskan untuk tidur sejenak, berharap mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Namun, ia salah besar.
Ketika ia memejamkan mata, dunianya berubah.
Ia berdiri di tengah ladang tandus yang dipenuhi tulang belulang. Langit berwarna merah darah, dan angin membawa suara rintihan menyayat hati. Di hadapannya berdiri sosok berjubah hitam yang sama, tetapi kali ini, di tangan sosok itu terdapat tongkat sihir hitam yang tampak memancarkan aura kelam.
“Radena Altheron,” suara sosok itu bergema, mengguncang bumi di bawahnya. “Sihir di dalam dirimu adalah kunci. Tapi hati-hati, karena setiap kunci memiliki harga yang harus dibayar.”
Radena mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia ingin bertanya apa yang dimaksud, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam lumpur.
Kemudian, pemandangan itu berubah lagi. Ia kini berada di sebuah ruangan gelap yang dikelilingi cermin. Di setiap cermin, ia melihat bayangan dirinya—tetapi masing-masing berbeda. Salah satu Radena tampak tua dan rapuh, dengan tongkat sihir yang patah. Yang lain mengenakan mahkota hitam dan tersenyum kejam. Ada juga Radena yang berdiri gagah, tetapi tangannya berlumuran darah.
Suara sosok berjubah itu terdengar lagi. “Pilihlah takdirmu, Putri Aelderia. Tetapi ingat, tidak ada jalan tanpa pengorbanan.”
Cermin-cermin itu pecah bersamaan, dan suara tawa bergema di udara. Radena menjerit—dan tiba-tiba ia terbangun, terengah-engah di tempat tidurnya.
Pagi telah tiba, tetapi Radena merasa seperti tidak pernah benar-benar bangun dari mimpinya. Dengan tekad yang baru, ia memutuskan bahwa ia tidak bisa diam saja. Jika mimpinya adalah sebuah peringatan, maka ia harus menemukan kebenarannya.
Ia memandangi tongkat sihir peraknya di sudut ruangan, kemudian mengangkatnya. Sihir yang selama ini ia anggap sebagai belenggu kini terasa seperti satu-satunya harapan untuk menemukan jawaban.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan mencari tahu—dengan atau tanpa bantuan siapa pun.”
Langkah pertama dalam pencariannya sudah jelas: ia harus pergi ke perpustakaan kuno di bawah istana, tempat teks-teks terlarang tentang asal-usul sihir disimpan.
Dengan hati-hati, Radena menyelinap keluar dari kamarnya, menutupi tubuhnya dengan mantel hitam untuk menghindari perhatian. Ia tahu jika ayahnya mengetahui ini, ia akan dihukum berat.
Namun, Radena tidak peduli.
Ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke dalam bahaya, tetapi di lubuk hatinya, ia merasa bahwa sosok berjubah itu benar. Waktunya memang telah tiba—dan ia harus siap menghadapi takdirnya.
Tuk. Tuk. Tuk.
Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian.
“Masuk,” kata Radena, berbalik dengan alis terangkat.
Lady Melya muncul dari balik pintu, membawa nampan kecil dengan secangkir teh herbal. Ia menatap Radena dengan tatapan penuh perhatian.
“Yang Mulia, kau tidak tidur semalaman, ya?” tanya Melya, meletakkan cangkir itu di atas meja dekat tempat tidur.
Radena mengangkat bahu. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi buruk itu terus menghantuiku, bahkan saat aku terjaga.”
Lady Melya menghela napas. “Ini bukan pertama kalinya kau merasakan ini, kan?”
Radena mengangguk pelan. “Sudah beberapa bulan. Awalnya hanya seperti firasat aneh, tapi semakin lama semakin jelas. Sosok berjubah hitam itu... Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.”
Melya terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, “Mungkin sudah saatnya kau bicara dengan Raja Altheron tentang mimpi-mimpimu.”
Radena menatap pelayannya dengan dingin. “Ayah tidak akan mendengarkan. Baginya, semua hal ini hanyalah omong kosong seorang gadis yang tidak tahu tanggung jawabnya.”
Lady Melya mencoba menenangkan. “Tapi kali ini berbeda, Yang Mulia. Kau melihat sesuatu di dunia nyata. Itu bukan hanya mimpi lagi.”
Radena terdiam. Ia tahu Melya benar, tetapi pikirannya masih memberontak. Jika ia mengatakan sesuatu kepada ayahnya, hal itu hanya akan membuatnya semakin terikat pada istana ini.
“Biarkan aku berpikir dulu,” kata Radena akhirnya, lalu mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biarkan aku sendiri.”
Melya mengangguk dan meninggalkan kamar dengan langkah pelan.
Setelah kepergian Melya, Radena memutuskan untuk tidur sejenak, berharap mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Namun, ia salah besar.
Ketika ia memejamkan mata, dunianya berubah.
Ia berdiri di tengah ladang tandus yang dipenuhi tulang belulang. Langit berwarna merah darah, dan angin membawa suara rintihan menyayat hati. Di hadapannya berdiri sosok berjubah hitam yang sama, tetapi kali ini, di tangan sosok itu terdapat tongkat sihir hitam yang tampak memancarkan aura kelam.
“Radena Altheron,” suara sosok itu bergema, mengguncang bumi di bawahnya. “Sihir di dalam dirimu adalah kunci. Tapi hati-hati, karena setiap kunci memiliki harga yang harus dibayar.”
Radena mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia ingin bertanya apa yang dimaksud, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam lumpur.
Kemudian, pemandangan itu berubah lagi. Ia kini berada di sebuah ruangan gelap yang dikelilingi cermin. Di setiap cermin, ia melihat bayangan dirinya—tetapi masing-masing berbeda. Salah satu Radena tampak tua dan rapuh, dengan tongkat sihir yang patah. Yang lain mengenakan mahkota hitam dan tersenyum kejam. Ada juga Radena yang berdiri gagah, tetapi tangannya berlumuran darah.
Suara sosok berjubah itu terdengar lagi. “Pilihlah takdirmu, Putri Aelderia. Tetapi ingat, tidak ada jalan tanpa pengorbanan.”
Cermin-cermin itu pecah bersamaan, dan suara tawa bergema di udara. Radena menjerit—dan tiba-tiba ia terbangun, terengah-engah di tempat tidurnya.
Pagi telah tiba, tetapi Radena merasa seperti tidak pernah benar-benar bangun dari mimpinya. Dengan tekad yang baru, ia memutuskan bahwa ia tidak bisa diam saja. Jika mimpinya adalah sebuah peringatan, maka ia harus menemukan kebenarannya.
Ia memandangi tongkat sihir peraknya di sudut ruangan, kemudian mengangkatnya. Sihir yang selama ini ia anggap sebagai belenggu kini terasa seperti satu-satunya harapan untuk menemukan jawaban.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan mencari tahu—dengan atau tanpa bantuan siapa pun.”
Langkah pertama dalam pencariannya sudah jelas: ia harus pergi ke perpustakaan kuno di bawah istana, tempat teks-teks terlarang tentang asal-usul sihir disimpan.
Dengan hati-hati, Radena menyelinap keluar dari kamarnya, menutupi tubuhnya dengan mantel hitam untuk menghindari perhatian. Ia tahu jika ayahnya mengetahui ini, ia akan dihukum berat.
Namun, Radena tidak peduli.
Ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke dalam bahaya, tetapi di lubuk hatinya, ia merasa bahwa sosok berjubah itu benar. Waktunya memang telah tiba—dan ia harus siap menghadapi takdirnya.