Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Bersamamu Selesai
Sinar matahari pagi menerobos dari sela-sela tirai jendela apartemen Melia dan Arvin. Di dalam kamar yang biasanya terasa hangat dengan canda tawa mereka berdua, pagi itu terasa sunyi dan dingin. Arvin baru saja bangun, menggeliat malas di tempat tidur tanpa menyadari bahwa pagi ini berbeda.
Tidak ada suara langkah kaki Melia di dapur. Tidak ada aroma kopi yang biasa ia buat setiap pagi. Dan yang paling mencolok, tidak ada keberadaan Melia di dalam kamar.
Arvin melirik ke samping dan mendapati tempat tidur kosong. “Melia?” panggilnya sambil duduk di tepi tempat tidur. Tidak ada jawaban.
Perlahan, ia berjalan ke ruang tamu. Pandangannya terhenti pada sebuah koper kecil yang biasanya selalu tergeletak di pojok lemari, kini sudah tidak ada. Arvin mengernyit, matanya menyapu sekeliling ruangan hingga akhirnya jatuh pada secarik kertas di atas meja.
Tangannya mengambil kertas itu. Saat membacanya, dadanya terasa sedikit sesak.
“Arvin, aku pergi. Jangan cari aku. Terima kasih untuk lima tahun yang sudah kita lewati bersama. Selamat tinggal.”
Arvin terkesiap, mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tak ada suara yang keluar. Ia menatap surat itu lama, seolah tidak percaya dengan apa yang ia baca.
“Pergi? Melia... pergi?” gumamnya. Ia menggelengkan kepala pelan dan melemparkan surat itu kembali ke meja. “Pasti cuma drama. Pasti nanti dia balik lagi.”
Dengan santai, Arvin berjalan ke dapur, membuka lemari es, dan mengambil sebotol air minum. Dalam benaknya, Melia hanya sedang emosi sesaat, seperti biasanya ketika mereka bertengkar. Setelah dua atau tiga hari, ia yakin Melia akan kembali.
Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan kecil yang mulai mengusik.
Arvin berkendara menuju kantor dengan perasaan campur aduk. Ia mengingat kejadian beberapa hari terakhir, ulang tahun Keyla yang ia rayakan, hadiah yang ia berikan padanya, hadiah yang sebenarnya pernah diimpikan oleh Melia. Sekilas, Arvin merasa bersalah, tetapi egonya segera mengambil alih.
“Melia pasti cuma lebay,” gumamnya sambil menatap jalanan di depannya. “Kenapa sih harus marah besar soal itu? Aku kan cuma membantu Keyla.”
Namun, semakin lama ia berpikir, semakin perasaan tidak nyaman itu muncul. Ia memukul setir mobil pelan sambil menghembuskan napas panjang. “Ah, sudahlah. Nanti aku pulang, dia pasti sudah ada di apartemen.”
Tiba di kantor, Arvin langsung menuju ruangannya. Keyla sudah ada di sana, menunggunya dengan setumpuk berkas.
“Selamat pagi, Pak Arvin,” ujar Keyla dengan senyum manisnya. Ia tampak profesional, tetapi ada kilatan licik di balik matanya.
Arvin hanya mengangguk sekilas. “Pagi. Ada yang penting?”
Keyla meletakkan berkas di meja Arvin. “Ini beberapa laporan yang harus Bapak tandatangani. Oh, ya, Pak, kelihatannya Anda kurang tidur hari ini?”
Arvin menyandarkan punggungnya di kursi, mengusap wajahnya. “Nggak apa-apa. Hanya ada masalah kecil di rumah.”
“Mbak Melia lagi, ya?” Keyla bertanya dengan nada penuh kepura-puraan. “Wah, kalau boleh jujur, Pak, kadang saya kasihan sama Bapak. Mbak Melia sering marah-marah tanpa alasan yang jelas.”
Arvin mendadak menatap Keyla. Kata-katanya itu seperti menambahkan bensin ke api kecil di hati Arvin. Meski tahu Melia memiliki alasannya sendiri, Arvin tak bisa memungkiri perasaannya yang sering kesal setiap kali Melia ‘terlihat’ marah tanpa sebab.
“Sudahlah, Keyla,” ucap Arvin pelan. “Bukan urusanmu.”
Keyla pura-pura memasang wajah bersalah. “Maaf, Pak. Saya hanya khawatir dengan keadaan Bapak. Tapi saya percaya, semua akan baik-baik saja.”
Arvin hanya mendesah. Dalam hatinya, ia masih meyakini bahwa Melia akan kembali.
📍Kota B Apartemen Melia
Sementara itu, di Kota B, Melia duduk di Apartemen Melia. Di sampingnya, Laura duduk memegang tangan Melia, berusaha memberikan kekuatan.
“Jadi, kamu beneran pergi dari apartemen itu tanpa pamit?” tanya Laura pelan, khawatir dengan keadaan sahabatnya.
Melia mengangguk. Matanya masih sembab, tetapi wajahnya terlihat lebih tegar. “Aku nggak punya pilihan, Laura. Aku nggak kuat lagi.”
Laura menghela napas panjang. “Tapi, Mel, lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Kamu yakin ini yang terbaik?”
Melia menatap Laura dengan mata yang penuh keyakinan meski sedikit bergetar. “Kalau aku tetap tinggal di sana, aku hanya akan makin terluka. Aku nggak mau lagi jadi orang yang dicintai setengah hati. Arvin udah memilih jalannya. Dan aku... harus memilih jalan baru.”
Laura menggenggam tangan Melia erat. “Aku bangga sama kamu, Mel. Kamu pantas dapat yang lebih baik.”
Di seberang ruangan, Gabriel yang sedari tadi berdiri mendengarkan percakapan itu, akhirnya mendekat. Ia membawa dua gelas teh dan meletakkannya di hadapan Melia dan Laura.
“Kalian butuh ini,” ujarnya lembut.
Melia tersenyum kecil. “Makasih, Gabriel.”
Gabriel duduk di kursi sebelahnya, menatap Melia dengan perhatian. “Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, Mel. Tapi kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku. Aku ada di sini.”
Kata-kata Gabriel itu, meski sederhana, terasa seperti tamparan lembut bagi Melia. Selama bertahun-tahun bersama Arvin, ia lupa bagaimana rasanya menjadi seseorang yang dihargai. Ia lupa bagaimana rasanya ada orang yang benar-benar peduli tanpa pamrih.
“Terima kasih, Gabriel,” jawab Melia tulus.
📍 Kota N Apartemen
Arvin pulang ke apartemen dengan perasaan sedikit gelisah. Sepanjang hari ia berusaha menghubungi Melia, tetapi ponselnya selalu mati. Keyakinannya bahwa Melia hanya pergi karena emosi mulai goyah.
Begitu membuka pintu apartemen, Arvin mendapati ruangan itu sunyi, bahkan lebih sunyi dari pagi tadi. Ia melangkah masuk ke kamar mereka dan membuka lemari pakaian. Seketika, ia tersentak. Hampir semua pakaian Melia sudah tidak ada. Hanya tersisa beberapa baju lama yang jarang dipakai.
“Melia... serius pergi?” Arvin bergumam pada dirinya sendiri. Napasnya memburu, kepanikan mulai menjalari tubuhnya.
Ia mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Melia sekali lagi. Tapi hasilnya tetap sama: nomor tidak aktif.
“Ini nggak mungkin,” kata Arvin pelan. “Dia nggak akan pergi sejauh ini.”
Arvin duduk di tepi tempat tidur sambil menatap kosong ke lantai. Untuk pertama kalinya, ia mulai menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan: Melia benar-benar terluka oleh sikapnya.
“Dia cuma butuh waktu,” gumam Arvin, meyakinkan dirinya sendiri. “Nanti juga balik.”
Tapi suara kecil di dalam hatinya berkata lain.
Melia duduk di meja rias kamar lamanya. Di depannya, sebuah foto dirinya bersama Arvin saat mereka masih bahagia tergeletak. Melia mengambil foto itu, menatapnya lama sebelum akhirnya menyelipkannya ke dalam laci.
“Hari-hari bersamamu sudah selesai, Arvin,” bisiknya lirih. “Aku sudah selesai berjuang sendirian.”
Melia menatap bayangannya di cermin. Meski matanya masih menyisakan jejak tangisan, ia melihat seorang wanita yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.
“Mulai sekarang, aku akan hidup untuk diriku sendiri,” ujar Melia mantap, seolah memberikan janji kepada dirinya sendiri.
Di luar kamar, suara ketukan pintu terdengar pelan. “Melia?” panggil Gabriel.
“Iya, masuk saja,” jawab Melia.
Gabriel masuk dengan wajah penuh perhatian. “Apa kamu baik-baik saja?”
Melia tersenyum kecil. “Untuk pertama kalinya... iya. Aku baik-baik saja.”
Gabriel tersenyum dan mengangguk. “Bagus. Karena mulai sekarang, kamu nggak perlu sendirian lagi.”
Melia menatap Gabriel lama. Ada sesuatu di mata pria itu yang membuatnya merasa aman, sebuah janji yang tak diucapkan, tetapi bisa ia rasakan.
Di satu sisi, Arvin masih berusaha meyakinkan dirinya bahwa kepergian Melia hanya emosi sesaat. Namun, di sisi lain, Melia sudah berani melangkah pergi dari bayang-bayang masa lalunya, menuju kehidupan yang mungkin lebih baik.