bercerita tentang Boni, seorang pemuda lugu yang kembali ke kampung halamannya setelah merantau selama 5 tahun. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga dan sahabatnya, termasuk Yuni, gadis cantik yang disukainya sejak kecil.
Suasana damai Desa Duren terusik dengan kedatangan Kepala Desa, pejabat baru yang sombong dan serakah. Kepala desa bermaksud menguasai seluruh perkebunan durian dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Boni dan Yuni geram dengan tindakan kepala desa tersebut dan membentuk tim "Pengawal Duren" untuk melawannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tim Pengawal Duren
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan bayangan lembut di tanah. Boni bangun dengan perasaan yang hangat dan penuh semangat. Setelah bertahun-tahun hidup di kota dengan hiruk-pikuknya, berada kembali di Kampung Duren rasanya seperti pulang ke pangkuan alam yang damai. Ia membuka jendela kamarnya, menghirup udara segar, dan menikmati kicauan burung-burung yang seolah-olah ikut menyambut harinya.
Sambil meregangkan badan, Boni teringat percakapan semalam dengan para warga kampung yang diantaranya terdiri dari Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat. Mereka telah sepakat membentuk tim Pengawal Duren untuk melindungi kebun durian yang menjadi sumber penghidupan warga desa dari rencana serakah Kepala Desa yang baru. Dengan penuh antusias, mereka menyusun rencana sederhana untuk menjaga perkebunan tetap aman. Meskipun rencana itu belum sepenuhnya matang, semangat kebersamaan dan rasa cinta mereka pada desa sudah terasa seperti fondasi yang kuat.
Boni berjalan menuju dapur, di mana ia melihat ibunya sedang menyiapkan sarapan. “Pagi, Bu!” sapanya sambil mengambil tempat duduk.
Ibunya tersenyum hangat sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Pagi, Boni. Kamu terlihat lebih segar sekarang. Ibu senang akhirnya kamu pulang dan bisa istirahat di sini.”
Boni mengangguk sambil menyeruput teh. “Iya, Bu. Rasanya sudah lama sekali aku enggak bisa menikmati pagi seindah ini. Di kota, semuanya terasa cepat dan ribut. Di sini, semuanya terasa damai.”
Setelah selesai sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya. Ia akan bertemu dengan anggota tim Pengawal Duren untuk membahas rencana pertama mereka. Ia pun berjalan santai menuju tempat mereka biasa berkumpul, sebuah area lapang di dekat kebun durian yang rindang. Di sana, ia melihat Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat sudah menunggunya sambil duduk santai di bawah pohon besar.
“Hei, kalian datang lebih cepat daripada ayam berkokok!” seru Boni sambil tersenyum lebar.
“Pagi, Bon! Udah siap buat rencana hari ini?” Yuni menyapa dengan semangat. Ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi senyum dan sorot matanya menunjukkan ketegasan yang siap untuk bertindak.
Budi menimpali, “Siap, dong! Aku sudah bawa beberapa ide jebakan yang bikin Kepala Desa dan orang-orangnya kapok masuk ke sini. Kalau kena jebakan ini, mereka bakal berpikir dua kali!”
Pak Jono tertawa kecil mendengar semangat Budi. “Budi ini kalau soal jebakan memang jagonya. Kita butuh orang seperti dia buat menjaga kebun kita.”
Mamat, yang duduk sambil memerhatikan sekitarnya, ikut tersenyum. “Dan aku siap jadi mata-mata kita dari atas pohon. Aku bakal kasih tanda setiap kali ada orang mencurigakan yang mendekat.”
Boni tersenyum puas melihat antusiasme teman-temannya. Mereka duduk melingkar di atas tikar sederhana yang sudah disiapkan. Dengan santai, Boni mulai membuka pembicaraan sambil menyusun ide-ide mereka secara perlahan.
“Jadi, aku pikir kita bisa mulai dengan mengamati kebun durian kita. Kita perlu memastikan jalur mana saja yang biasa dilewati warga desa dan jalur mana yang kemungkinan akan dilalui oleh orang-orang Kepala Desa,” Boni menjelaskan sambil sesekali menatap Yuni yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Yuni mengangguk setuju. “Benar, Bon. Kalau kita tahu jalur-jalur itu, kita bisa mulai memasang beberapa jebakan sederhana. Yang penting enggak kelihatan terlalu mencurigakan.”
Budi tersenyum lebar. “Aku udah punya ide buat jebakan pertama, nih! Kita pasang daun-daun kering di tanah. Jadi kalau ada yang nginjak, bakal keluar bunyi gemeretak. Lumayan buat kagetin mereka!”
Pak Jono yang bijak menambahkan, “Itu ide bagus, Bud. Tapi jangan terlalu berlebihan. Kita cuma mau kasih mereka peringatan, bukan bikin masalah besar. Kalau Kepala Desa tahu, bisa-bisa kita malah dituduh macam-macam.”
Mereka semua tertawa kecil, menyadari bahwa meski serius melawan Kepala Desa, mereka tetap harus menjaga kehormatan dan tidak merusak hubungan dengan warga desa lainnya. Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka sepakat untuk memulai dari langkah sederhana: mengamati kebun dan mempelajari jalur-jalur masuk. Mereka berencana untuk memulai observasi mereka keesokan harinya.
Hari itu dihabiskan dengan santai namun penuh kebersamaan. Sambil berdiskusi, Pak Jono menceritakan beberapa cerita lucu tentang masa mudanya, yang sukses membuat mereka semua tertawa terbahak-bahak. Cerita-cerita Pak Jono selalu kocak dan menghibur, meskipun terkadang tidak jelas ujungnya.
Setelah sesi cerita, Yuni dan Boni berjalan-jalan mengelilingi kebun durian, menikmati suasana dan sesekali membicarakan rencana mereka. Sambil melihat pohon-pohon durian yang rimbun, Boni merasa ada ikatan kuat antara dirinya dan desa ini. Tidak hanya karena kenangan masa kecil, tapi juga karena desa ini adalah tempat yang membentuk siapa dirinya sekarang.
“Boni, kamu tahu enggak, dulu aku sering berharap kamu bakal balik ke desa. Rasanya sepi kalau enggak ada kamu,” kata Yuni pelan sambil melangkah di sampingnya.
Boni tersenyum mendengar pengakuan Yuni. “Aku juga sering ingat kamu, Yun. Meskipun di kota aku sibuk, rasanya ada yang selalu kurang. Sekarang aku tahu, ternyata yang kurang itu adalah desa ini... dan kamu.”
Yuni tersipu malu, tapi tidak menolak tatapan lembut Boni. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Langit di atas mereka semakin cerah, burung-burung berkicau, dan angin berhembus lembut di sekitar kebun durian.
Setelah sore mulai menjelang, mereka semua berkumpul lagi di tikar untuk mengakhiri pertemuan mereka hari itu. Sambil meneguk air kelapa yang dibawakan Mamat, mereka saling bercanda dan tertawa, merasakan kebahagiaan yang sederhana tapi begitu bermakna.
“Kalian sadar enggak sih, kita ini kelihatan seperti geng anak-anak kampung yang enggak ada kerjanya?” Budi bergurau sambil tertawa.
Pak Jono tertawa sambil menepuk pundak Budi. “Ya, Bud. Tapi kalau bukan kita yang menjaga desa ini, siapa lagi?”
Dengan senyuman dan rasa kebersamaan yang hangat, mereka sepakat untuk bertemu lagi esok hari dan melanjutkan misi mereka. Hari itu ditutup dengan perasaan damai di hati masing-masing. Meskipun mereka hanya sekumpulan warga desa yang sederhana, namun ikatan mereka kuat, didorong oleh rasa cinta pada kampung halaman dan semangat untuk melindunginya.
Boni berjalan pulang bersama Yuni, mengobrol ringan tentang masa-masa kecil mereka. Ia sadar, bukan hanya perjuangan melawan Kepala Desa yang membuatnya bersemangat, tapi juga kebersamaan dengan teman-temannya, terutama Yuni. Di sepanjang jalan, mereka tertawa dan bercanda, menikmati momen-momen kecil yang seolah-olah melengkapi potongan-potongan kenangan lama mereka.
Malam itu, Boni merasa hatinya penuh. Tidak hanya karena rencana mereka, tapi juga karena ikatan yang semakin erat dengan teman-temannya. Di desa kecil ini, di tengah kebun durian yang sederhana, ia merasa menemukan kebahagiaan yang selama ini dicari.