Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konflik di Kelas Sejarah
Pagi itu, seperti biasa, langit di atas Akademi Altais tampak cerah, menyambut para siswa yang baru saja memasuki kelas mereka. Suasana di koridor kampus yang megah ini cukup ramai, dengan berbagai kelompok murid yang berlalu-lalang. Yusei Shimizu berjalan dengan langkah tenang, matanya tajam mengamati sekeliling, meskipun ia lebih memilih untuk tidak terlalu mencolok. Di sebelahnya, Akira berjalan dengan senyum ramah, berbicara dengan beberapa murid lain yang lewat. Mereka berdua adalah murid yang dikenal cerdas dan berbakat dalam sihir, namun keduanya memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap kehidupan kampus.
"Ayo, Yusei, kita menuju ke kelas sejarah," kata Akira sambil tersenyum.
Yusei hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."
Sejak pagi, mereka berdua sudah saling berbicara sedikit tentang berbagai hal, namun Yusei tetap tampak terfokus pada sesuatu yang lebih dalam—pikirannya berkelana, mengenang masa lalu yang kelam. Meskipun dia adalah keturunan terakhir dari Klan Shimizu, klannya sudah lama hancur oleh Kuroten dan pasukan iblisnya. Namun, hari ini, ia bertekad untuk mengikuti pelajaran sejarah dengan baik, berharap bisa mempelajari sesuatu yang berguna untuk rencana masa depannya.
Sesampainya di kelas sejarah, Yusei duduk di tempat yang biasanya ia pilih, di dekat jendela, yang memberinya pemandangan luar kampus. Akira duduk di sampingnya, membuka buku catatannya. Mereka berdua hampir selalu duduk bersama, meskipun sering kali kelas sejarah menjadi tempat yang sedikit lebih menantang untuk Yusei.
Kojiro Takigawa, sang guru sejarah yang berusia 38 tahun, masuk ke kelas dengan langkah berat. Meskipun ia memiliki latar belakang yang mengesankan sebagai mantan kandidat Kesatria Suci, kenyataannya ia telah menjadi sosok yang pahit dan penuh kebencian. Kebencian yang ia rasakan terhadap Klan Shimizu—terutama terhadap Yusei—selalu terlihat jelas dalam sikapnya.
"Selamat pagi, murid-murid," sapa Kojiro dengan nada datar, hampir tidak menunjukkan semangat. "Hari ini kita akan membahas sejarah kerajaan yang terlupakan, dan tentunya, Klan Shimizu yang 'terkenal' itu."
Yusei merasakan tatapan tajam itu mengarah padanya. Kojiro memang selalu mengungkit nama Klan Shimizu saat mengajar, seolah ia sengaja ingin membuat Yusei merasa tidak nyaman. Namun, Yusei tidak peduli. Ia terlalu terbiasa dengan perlakuan semacam itu.
"Sebelum kita mulai, saya ingin bertanya, apakah ada yang tahu apa yang membuat Klan Shimizu terkenal?" tanya Kojiro sambil menatap kelas.
Sebuah senyum arogan muncul di wajah Kiria Akazuchi, yang duduk di barisan depan, sepertinya sudah menunggu kesempatan untuk melontarkan ejekan. Kiria adalah salah satu murid terbaik di akademi ini, dan karena keturunannya yang kuat dari Klan Akazuchi, ia selalu merasa lebih tinggi dari yang lain.
“Ah, saya tahu, Guru," jawab Kiria dengan suara nyaring, menarik perhatian semua murid di kelas. "Klan Shimizu terkenal karena... hanya karena mereka adalah pendekar pedang. Bahkan mereka tidak cukup cakap dalam hal sihir. Klan yang paling ‘miskin’ di antara para bangsawan sihir."
Kojiro tersenyum sinis, seolah mendukung komentar Kiria. "Benar sekali, Kiria. Klan Shimizu, yang terakhir hanya bisa mengandalkan pedang, tidak punya kekuatan sihir yang signifikan. Bahkan, mereka hanya mampu mengubah air menjadi senjata, bukan elemen yang menakutkan seperti petir atau api."
Murid-murid lain tertawa, dan Yusei merasakan tatapan sinis itu mengarah padanya. Akira, yang duduk di sampingnya, melirik dengan cemas. Namun, Yusei hanya menghela napas pelan, tidak terpengaruh. Ia tahu bahwa mereka hanya berusaha memancing emosinya, dan ia tidak akan memberi mereka kepuasan.
Namun, sebelum Yusei sempat membuka mulut, Akira yang biasanya pendiam, kali ini memutuskan untuk berbicara.
"Jangan terlalu bangga, Kiria," kata Akira dengan nada tenang, namun dengan tatapan tajam. "Ada banyak hal yang bisa dibuktikan oleh sebuah pedang, terutama jika itu digunakan oleh orang yang tepat."
Kiria tertawa terbahak-bahak, melihat bahwa Akira tidak tahu kapan harus berhenti. "Kamu benar-benar rakyat jelata, Akira. Tidak tahu bedanya antara sihir dan pedang." Dia menatap Yusei dengan penuh ejekan. "Dan klan Shimizu yang terakhir. Betapa memalukan, seorang pendekar pedang yang tidak tahu apa-apa soal sihir."
Yusei tidak merespons langsung. Ia tahu bahwa jika ia bertindak, Kiria akan semakin bersemangat. Sebaliknya, ia memilih untuk diam, menikmati kebisuan yang memberinya kekuatan lebih daripada kata-kata.
Kojiro melanjutkan pelajaran dengan nada acuh tak acuh, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang baru saja terjadi. Akira tampaknya masih ingin berbicara lebih banyak, namun Yusei memberi isyarat dengan mata untuk tidak melanjutkan.
Setelah pelajaran berakhir, para murid mulai keluar kelas. Akira menatap Yusei, tampak sedikit khawatir. "Kamu tidak akan membiarkan apa yang dikatakan Kojiro dan Kiria begitu saja, kan?"
Yusei menatapnya dengan tenang. "Aku sudah terbiasa, Akira. Mereka hanya ingin memancingku."
Tapi, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, tiba-tiba Yui Mizuki, teman seangkatan mereka, menghampiri. Yui tersenyum ceria, meski melihat sedikit ketegangan yang masih terasa di udara. Rambut birunya yang cerah melambai ringan di angin.
"Hey, kalian berdua! Kenapa suasananya begitu tegang?" tanya Yui, sambil memiringkan kepala dengan ekspresi polosnya.
"Seperti biasa, Yui," jawab Akira dengan senyum lebar. "Kiria lagi menghina Yusei."
Yui mengernyit. "Kiria itu memang selalu begitu. Tapi kamu, Yusei, jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya ingin cari perhatian."
Yusei hanya mengangguk. "Aku tahu, Yui. Tapi aku lebih memilih untuk tidak peduli."
Yui tersenyum lembut, meskipun ia tahu betul bahwa kata-kata Kiria dan Kojiro mungkin lebih menyakitkan daripada yang terlihat.
Saat Yusei berjalan ke luar kelas bersama Akira dan Yui, ia merasa ada yang tidak beres. Ia tahu bahwa meskipun ia tidak peduli dengan kata-kata orang lain, perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata itu tetap ada. Perasaan bahwa dirinya memang hanya seorang pendekar pedang yang tak cukup berharga dibandingkan penyihir besar lainnya.
Ketika mereka melewati perpustakaan, Yusei melihat Airi sedang duduk di salah satu meja, membaca buku dengan penuh perhatian. Rambut panjang Airi yang berwarna kuning terlihat kontras dengan warna buku yang dibacanya. Tanpa banyak bicara, Yusei berjalan ke arah Airi.
"Airi, sedang membaca apa?" tanya Yusei, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi.
Airi menoleh dengan sedikit terkejut. Namun, ekspresinya segera kembali tenang saat melihat Yusei. "Hanya mencari beberapa referensi tentang pedang," jawabnya pelan. "Kau?"
"Hal yang sama," jawab Yusei singkat, namun tanpa sadar matanya sedikit bersinar. Airi selalu menjadi orang yang bisa ia ajak berbicara tentang pedang dengan nyaman.
Akira dan Yui duduk di meja sebelah, saling berbicara dengan santai. Yui masih sesekali melirik Airi dan Yusei, seakan-akan ingin mengetahui lebih banyak tentang hubungan mereka yang terlihat begitu tenang.
Saat itu, Yusei menyadari bahwa meskipun Akademi Altais penuh dengan ketegangan dan konflik, ada sedikit kenyamanan yang ia temukan dalam kebersamaan dengan teman-temannya. Meskipun masa lalu yang gelap menghantuinya, Yusei tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan dengan itu, ia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.