Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2 : dibalik kebohongan
Sore itu, suasana rumah Tiara terasa lebih hangat dari biasanya. Sang ibu sedang menyiapkan masakan dengan senyum lebar yang tak pernah lepas dari wajahnya. Adik-adiknya, seperti biasa, berlarian di sekitar rumah, penuh dengan canda tawa, sementara Tiara duduk di meja makan, mengamati keluarganya yang tampak bahagia. Di dalam hatinya, ada rasa lega karena ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.
“Sayang, bekalnya jangan lupa dibawa ya. Ibu sudah siapkan untukmu,” ujar sang ibu sambil menyodorkan kotak makan berisi nasi dan lauk sederhana. “Ibu bener-bener bangga padamu. Akhirnya kamu bisa bekerja juga.”
Tiara pun tersenyum, meski dalam hatinya ada rasa bersalah yang mulai merayap. “Iya, Bu.”
Sang ibu melirik pakaian yang dikenakan Tiara: celana panjang hitam dan kemeja putih longgar. Pakaian itu sengaja dipilihnya agar tampak sopan di depan sang ibu, meskipun ia tahu bahwa seragam yang sebenarnya akan jauh berbeda dari yang ia gunakan saat ini.
Setelah Tiara menghabiskan makanannya, ia kemudian pamit dengan senyuman kepada ibu dan adik-adiknya. Di jalan menuju tempat kerja, hatinya mulai bergemuruh. Pikiran tentang pekerjaannya sebagai pelayan menghantui pikirannya. Bukan karena menjadi pelayan, tapi karena pekerjaan lain, yaitu sebagai pemandu karaoke. Sebelum ia diterima bekerja, sang manajer menjelaskan lebih detail tentang pekerjaannya. Itulah mengapa hatinya selalu dalam kegelisahan. Setiap langkahnya menuju club malam semakin membawanya jauh dalam kebohongan yang sudah ia katakan pada ibunya.
Sesampainya di club, Tiara langsung menuju ruang ganti. Manajer yang bertubuh kekar sudah menunggunya di sana, dengan pandangan tajam yang membuat Tiara merasa sedikit gugup.
“Tiara, ini seragammu,” kata manajer dengan nada tegas sambil menyerahkan pakaian yang terlipat rapi.
Tiara menerima pakaian itu dengan tangan gemetar. Ketika ia membuka lipatan seragam tersebut, hatinya mulai berdegup kencang. Sebuah rok hitam pendek, jauh di atas lutut, dan kemeja putih yang terlalu ketat. Seragam itu sangat jauh dari pakaian sopan yang ia kenakan saat keluar rumah tadi. Tiara menelan ludah, merasakan kerisihan yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya.
“Ini terlalu pendek, Pak,” ucap Tiara merasa risih melihat seragam yang akan dikenakannya.
“Kamu harus pakai itu selama bekerja. Itu sudah bagian dari aturan di sini, semua pelayan harus memakai seragam ini,” tambah manajer tanpa basa-basi.
Dengan ragu, Tiara masuk ke kamar ganti. Matanya menatap cermin di hadapannya, memperhatikan bayangannya yang tampak begitu berbeda. Rok pendek itu membuatnya merasa tidak nyaman, apalagi kemeja putih yang ketat itu membuatnya sulit bergerak bebas. Ia terpaksa membuka satu kancing kemeja bagian atasnya demi membuatnya sedikit longgar meskipun ia merasa risih karena belahan dadanya sedikit terlihat.
Setelah bersiap, perlahan Tiara keluar dari ruang ganti. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah tiap langkahnya semakin menekan batinnya. Suasana di dalam club mulai ramai dengan pelanggan yang datang untuk menikmati malam mereka. Beberapa rekan kerjanya yang lain sudah berada di ruangan karaoke, menyambut pelanggan dengan senyuman lebar dan tawa yang riang.
Namun, di dalam hatinya, ada rasa takut yang terus bergelora. Takut jika suatu hari ibunya akan tahu pekerjaan aslinya. Ia merasa bersalah karena telah berbohong pada sang ibunda, meski ia tahu kebohongan itu dilakukannya demi kebaikan keluarganya, terutama untuk keempat adiknya.
Selama bekerja, Tiara berusaha tetap profesional. Ia melayani pelanggan dengan senyum meski hatinya terus dibebani oleh rasa bersalah. Setiap kali seorang pelanggan memanggilnya, ia harus menenangkan diri, menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman yang dipaksakan.
Jam kerja terasa berjalan begitu lambat. Ketika malam semakin larut, club semakin dipenuhi oleh suara tawa dan alunan musik keras. Tiara akhirnya bisa sedikit menyesuaikan diri, meski rasa risih dan ketidaknyamanan terus membayangi pikirannya.
Saat shift-nya selesai, Tiara kembali ke ruang ganti. Ketika ia melihat seragam yang baru saja ia tanggalkan, rasa risih itu kembali menyelimutinya. Ia cepat-cepat berganti ke pakaian yang ia kenakan saat berangkat tadi: celana hitam panjang dan kemeja longgar yang jauh lebih nyaman. Setelah memastikan dirinya tampak "biasa" lagi, ia berjalan pulang dengan hati yang masih diliputi rasa takut dan bersalah.
Sesampainya di rumah, Tiara melihat ibunya sudah tertidur di ruang tamu, kelelahan setelah bekerja seharian. Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Ia ingin menceritakan yang sebenarnya, namun rasa takut akan mengecewakan ibunya jauh lebih besar.
Tiara mencium kening ibunya yang terlelap, lalu menuju kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu, kebohongan ini tidak bisa bertahan lama, tapi untuk sekarang, ia hanya berharap agar ibunya tetap bahagia dengan kebanggaan yang dirasakannya terhadap Tiara.
Hari-hari berlalu, perasaan Tiara mulai terasa lebih tenang. Suara musik yang dulu membuatnya gugup kini menjadi latar belakang yang biasa ia dengar. Setiap malam, ia menjalankan tugasnya dengan lebih lancar dalam menjamu tamu. Tiara selalu tersenyum dan memastikan setiap pengunjung merasa nyaman. Meskipun masih ada rasa risih di dalam dirinya, tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Senyum ramah yang Tiara tampilkan selalu berhasil membuat para tamu betah berlama-lama. Ia tahu, senyum itu bukan hanya sekadar keramahan, melainkan tameng yang menutupi segala keresahannya. Setiap kali seorang tamu datang, Tiara akan menyambut mereka dengan sopan, menunjukkan kesan profesional meskipun hatinya kadang terasa berat.
Namun, di balik senyumannya, ada rasa risih yang tak bisa dihindari. Beberapa pengunjung sering bersikap kurang sopan; tak jarang mereka menyentuh tangan atau berbicara dengan nada yang merendahkan. Ia terpaksa tersenyum meskipun hatinya ingin melawan. Ia tahu, di tempat ini, menjaga suasana hati pengunjung adalah segalanya. Jika ia menunjukkan ketidaknyamanan, ada risiko besar ia akan kehilangan pekerjaannya.
Waktu pun terus berlalu. Saat ia sedang melayani pengunjung, seorang tamu yang mabuk mendekatinya dengan cara yang tidak menyenangkan. Ia mencoba menahan napas, tetap tersenyum meski rasa tidak nyaman meliputi dirinya. Dengan lembut, ia menghindari kontak fisik yang berlebihan dan segera mencari alasan untuk menjauh. Meski berhasil menghindar, hatinya tetap bergemuruh.
“Kamu cepat juga ya belajarnya, mantap, semangat ya, Ra,” puji salah satu rekannya saat mereka beristirahat di ruang belakang. “Senyum kamu bikin pengunjung pada betah,” lanjutnya.
Tiara tersenyum kecil. “Iya, makasih ya.”
Dalam hatinya, Tiara tahu ia harus bersikap seperti itu agar tetap aman di pekerjaannya. Meski beberapa kali hatinya merasa muak, ia sadar bahwa pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk membantu keluarganya. Setiap malam, Tiara akan pulang dengan perasaan campur aduk antara lega karena bisa membantu keluarga dan risih karena harus menahan perasaan tidak nyaman sepanjang waktu.
Saat malam itu berakhir, Tiara menatap dirinya di cermin. Pakaian kerjanya, yang dulu terasa asing dan risih, kini mulai menjadi bagian dari rutinitas. Namun, setiap kali ia memandang bayangannya, rasa risih itu tidak pernah benar-benar hilang.