Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menghindar
Dentingan sendok dengan piring kontras dengan mulut Aza yang diam, sekalinya mangap cuma pas melahap nasi plus ayam saja.
"Dengerin ayahmu..." kritik bunda disela-sela kunyahannya.
Aza melirik berdecak, satu sendok nasi satu gelas air minum, begitu seterusnya. Diomelin pas lagi makan sungguh bikin begah, ya kenyang minum...ya kenyang diceramahin.
"Ngga ada orangtua yang mau jerumusin anaknya. Semua orangtua maunya yang terbaik buat anaknya...." kini ayah menangkap bola mata Aza yang sejak tadi sudah menghindar berputar kesana kemari, mencari perlindungan dari sergapan mata ayah.
"Tapi Aza bisa cari sendiri, malah udah ada calonnya kalo ayah sama bunda kasih kesempatan." Jawabnya lemah namun penuh penekanan, tanda ia sedang menahan emosinya padahal hatinya sudah meledak-ledak sejak tadi tak terima. Begitu banyak alasan ia tak mau membantah ayah dan bunda secara frontal atau marah-marah terus mogok makan mogok ngampus.
Tapi yang jelas ia bukan pribadi anak yang seperti itu, Aza di didik dengan ilmu parenting yang cukup baik dan lingkungan hangat serta sehat.
Ayah maupun bunda yang tak pernah memotong omongan Aza membuat gadis itu tak kuasa untuk ngamuk-ngamuk pada kedua orangtuanya.
"Siapa, Angga?" tembak ayah membuat Aza membolakan matanya, "ayah tau?" rasanya makanan sebesar bola kasti dan belum dikunyah sempurna itu langsung meluncur begitu saja demi mendengar tebakan ayah.
Binar bahagia sudah terpancar dari mata Aza ketika ayah tau, apakah ayah merestui? Sejak kapan ayah tau? Namun tiba-tiba binar itu meredup dan sirna, "dia bukan lelaki baik-baik." Serangnya.
Dengan lengkungan di bibirnya, bunda semakin menyetujui ucapan ayah, "bunda kira dugaan ayah sama bunda salah. Bunda kira Angga cuma temen, seperti yang kamu selalu bilang?!" kini bunda bersuara, seolah-olah Aza adalah pembohong dan telah menghianati kedua orangtuanya, jahat...jahat....
"Kalau dia lelaki baik-baik, dia akan datang ke rumah....minta ijin sama ayah dan bunda untuk sekedar membawa kamu keluar, bilang sama ayah sama bunda kalo dia sama kamu lagi menjalin hubungan. Bukan dengan diam-diam di belakang." Ujar ayah, "apa namanya kalo bukan maling?"
Mulut Aza menganga dibuatnya dan tak bisa lebih mangap lagi saat ayah mengatakan, "lelaki baik-baik bukan mengajak pacaran. Tapi dihalalin dulu baru pacaran, masa sayang tapi ngajak mudharat, ngajakin maksiat, di belakang yang punya lagi..." skak!!! Aza kini manyun mendengar ucapan ayah, mau mendebat, tapi memang posisinya ia yang salah...ia dan Angga berpacaran tanpa sepengetahuan ayah dan bunda.
~Jagat~
Sayur lompong, sudah lama Jagat tak makan masakan ibu itu. Meski terbilang dari bahan sederhana tapi jika tangan ibu yang penuh cinta yang membuatnya lompong aja berasa daging sapi Wahyuuuu oyyy!
"Enak le?" tanya ibu.
Jagat mengangguk cepat, "enak bu."
"Oh ya jelas, dimasakin penuh cinta. Besok lusa kalo calonmu sudah datang, mesti ngajarin masak beginian ya bu?" diangguki ibu. "Biar dibilang makanan rakyat jaman penjajahan tapi uenakk tenan..." sela bapak membuat makanan berkuah yang seharusnya ng'gleser di tenggorokan itu mendadak seret.
Asyemmm! Jagat meraih gelas berisi air mineral penuh, meneguknya tanpa jeda sampai habis dalam sekali gerakan turunnya jakun. Badasss!
"Kenyang aku, pak." Ia segera beranjak setelah menghabiskan makan malamnya beserta air putih seteko.
Dalam waktu yang bersamaan meski di tempat yang berbeda Jagat dan Aza merebahkan seluruh organ gerak, meski otak mereka tengah berpikir sekeras baja dengan pencernaan yang menggiling makanan tadi. Memikirkan segala perkara yang terkena imbas dari rencana perjodohan.
Aza menatap langit-langit kamar dimana lampu kamar senantiasa menerangi malamnya.
"Aku harus ngapain?" ia memiringkan posisinya, belum selesai masalah perjodohan, ia baru mengingat masalahnya yang lain, nilai makalah dan prakteknya waktu lalu cukup jelek. Jangan, jangan begitu....ia tak mau sampai ada cacat nilai di semester yang sudah menjelang akhir itu.
Padahal rencana indahnya selanjutnya adalah ambil spesialis dan menjadi dokter spesialis yang andal, maka ia mau semua tugas dan nilainya sempurna menurut versinya.
Ia sudah menjinjing sepatu deltanya, menepuk-nepuk kaos kaki yang sudah dicuci oleh ibu di ujung tepian kursi bambu sebelum memakainya.
Bunyi *kreket---kreket* dari kursi bambu yang didudukinya menandakan jika beban yang ditanggung si kursi cukup berat.
Pagi ini ia memilih sarapan di kesatuan saja, demi menghindari obrolan dengan tema yang sama dengan kedua orangtuanya, bukan membelinya di kantin namun ibu selalu membekalinya dalam kotak makan seperti anak sd jika berangkat dinas dari rumah.
"Kapan balik lagi ke rumah, le?" tanya ibu menyerahkan kotak berwarna biru pada Jagat dari gawang pintu, lalu duduk di samping membuat kursi itu semakin menjerit berderit.
"Ndak tau bu..." ia tak cukup tega untuk mengatakan, sampai ibu sama bapak berhenti menjodohkannya.
"Nugas luar?" kembali ibu bertanya, diangguki Jagat meski itu adalah sebuah kebohongan, *maafin aku bu, jangan dikutuk yoo*. Kalimat itu cukup ia sematkan saja dalam hati.
"Nanti, selesai tugasmu langsung pulang, inget loh! Ibu sama bapak sudah ada janji mempertemukan kamu sama calonmu..." wanti-wantinya pada sang putra, kalee aja putranya itu sudah pikun.
Jagat menyelipkan baretnya di tas ransel dan memasang helm di kepala, tanpa menjawab kalimat kepastian ia hanya mengangguk saja dan mengulurkan tangannya pada ibu, bukan untuk minta uang jajan melainkan meminta do'a dan restunya, "aku dinas dulu, bu."
"Le," ibu masih kekeh memegang tangan Jagat, menahan agar anaknya itu jangan dulu pergi. Kini dengan sorot mata memelas ciri khas perempuan kalo minta uang arisan, "biar kamu ada yang jaga, ada yang ngurus, ada teman hidup, le..." pungkasnya. Jagat tau, sorot mata itu adalah sorot mata khawatir dan sayangnya seorang ibu terhadap putranya. Kini ia menghela nafas berat, "njih bu." Glekk! Ia menelan salivanya sulit. "Aku pergi, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dengan hati yang semakin terbebani, Jagat menaiki sepeda motornya dan keluar dari halaman rumah, menyusuri jalanan menuju kesatuan.
Hari secerah senyuman ibu itu memaksa Jagat untuk menengok awan sejenak sambil menimbang-nimbang permintaan ibu dan bapak semalam dan tadi pagi.
Meski usianya sudah matang, namun entahlah...kesiapan berumah tangga bukan ditentukan menurut umur seseorang, apalagi dengan seseorang yang ia tak tau bagaimana perangainya, visi, misi hidupnya, cocok atau tidak dengan dirinya, bahkan wajahnya saja ia tidak tau, bagaimana jika wanita itu memiliki kulit seperti papan catur? Atau tak memiliki hidung? Atau mungkin ia adalah wanita angkuh yang tak bisa menerima kekurangannya, bukankah menikah itu harus bisa saling melengkapi? *Hoffftt*.....
Terlalu konsentrasi berpikir, membuat perjalanan seolah tak berjarak. Jagat mengangguk ketika mulai memasuki palang pintu batalyon.
"Bang, tidur di rumah?" basa basi penjaga serambi depan.
"Iya." Angguknya, "yoo ah!" tanpa harus menghentikan terlebih dahulu mesin motornya bak di drive thru Jagat melenggang masuk lebih dalam.
Tak ada yang istimewa hari ini, apalagi untuk dirinya yang hanya seorang letnan satu, lettu. Menjadi pion atasan dan garda terdepan bumi pertiwi mutlak ia laksanakan.
"Pagi serdadu remahan!" sapa Jagat terkekeh pada rekannya yang pagi-pagi sudah menclok persis kakak tua di depan komputer. Rupanya, tak selamanya prajurit itu mainan pistol.
"Hm, kalo saya prajurit remahan, kamu prajurit apa? Butiran debu?" tembaknya berdesis, memancing tawa Jagat pagi-pagi. Namun sejurus kemudian Dika berseru dengan binaran bahagia penuh harap, "gat, nanti sore temenin aku ketemu sama Ayu yooo..." ajaknya bersemangat.
Kemudian Dika menggeser roda kursinya memperpendek jarak antara dirinya dan rekannya itu. Aksi itu praktis membuat Jagat menoleh dan menatap Dika dengan alis yang mengernyit singkat, "Ayu ajak temennya kok, biar kamu ngga sendiri, double date---double date, siapa tau nanti kamu cocok sama temennya Ayu..." ucapnya.
Temannya itu....setiap kali ia akan bertemu dengan perempuan incarannya, selalu ia yang jadi kambing conge nya. Tak bisakah ia melakukan pendekatan tanpa dirinya?
"Sorry Dik, aku lagi ngga na ff suu buat ketemu cewek." Balasnya sukses membuat bibir Dika julid tak ada obat, "oalah nggayamu...ngga naff suu, terus naff sumu sama apa? Ben conkk? Udah belok kamu, Gat?!" tuduhnya langsung dihadiahi tonjokan keras dari Jagat, "si alan."
"Kamu itu, Dik. Hari gini cari jodoh di fb. 1 banding 100, yang bener. Dari sekian puluh cewek yang diajakin ketemuan, saya belum liat tuh ada yang nyangkut sampe pelaminan, saranku mendingan yang pasti-pasti saja..."
"Contohnya?" tantang Dika.
"Lettu Dika, dimohon menghadap danyon..." suara seorang prajurit berwajah chubby nan manis dan berambut bop menghampiri keduanya dengan tersenyum ramah menghentikan perbincangan keduanya.
"Dek Nisaaa....sehat neng?" Dika tersenyum lebar penuh kejijayan menurut Jagat pada staff administrasi kesatuannya itu, memancing gelengan prihatin dari Jagat.
"Baik bang." Angguknya sopan.
"Ada apa ya, abang dipanggil?" tanya Dika basa-basi.
"Kurang tau, sepertinya penugasan. Kabarnya mabes meminta tambahan prajurit untuk masuk dan diikutsertakan di pasukan perdamaian ke Kongo. Mungkin abang terpilih..." Nisa menyertakan secarik kertas penugasan pada Dika yang mulai dibaca si empunya, dan dilongoki Jagat.
*Argghhh*! Dika mele nguh berat nan sedikit kecewa, gagal maning menjalin hubungan! Padahal ia sudah optimis bakal menjalin hubungan bersama Ayu, tapi mengingat tugas perdamaian ini bukan tugas yang sebentar, maka ia tak yakin Ayu mau jika ia tembak dan ia ajak melakukan long distance relationship. Selalu saja, jika niatnya sudah bulat untuk menjadi seorang cassanova, pasti ujung-ujungnya casablanca.
Lain halnya dengan Dika yang kecewa, ide lain justru terbersit di dalam pikiran Jagat, atas semua masalahnya semalam. Apakah ini jawaban Tuhan untuknya? Agar ibu dan bapak menyerah dengan perjodohan? Agar calonnya dan keluarganya menyerah dengan pekerjaannya yang memang tak memberikan harapan pertemuan?
"Let, maaf saya bertanya. Apakah tugas luar ini menerima pengajuan?" tanya Jagat memantik keterkejutan Dika, ia sampai menaikan kedua alisnya sehingga kelopak matanya terangkat ke atas, menampilkan ketidakpercayaan Dika.
"Kamu mau ngajuin, Gat?" tanya nya berseru.
"Kalau bisa." Angguk Jagat.
Dika ber-waw ria, "seriusan? Jauh dari keluarga, bro?"
"Iya saya tau. Masa iya saya mau bawa ibu saya ke Kongo..."
*Pffttt*! Nisa cengengesan dengan ditahan punggung tangannya, "komandan bisa langsung bertanya pada danyon."
"Oke."
"Wah, emang bener-bener setia kawin kamu Gat, ngga nyangka saya....kalo kamu seloyal itu sama saya....sampe rela ninggalin keluarga demi nemenin saya..." Jagat hanya mendengus getir, "jangan geer kamu, Dik...saya cuma memang mau ikut saja dalam misi perdamaian."
Nisa kembali tertawa, "abang berdua ini...so sweet banget. Ya udah ah, Nisa mau ngasih ini buat yang lain juga, sudah ditunggu danyon." pamit Nisa, "hormat, ndan."
"Siap!" balas Jagat dan Dika, "dek Nisa, ngga mau bareng, atau saya temani, takut dicolek genderuwo, dek?!!!" teriak Dika digelengi Nisa dari kejauhan, "genderuwonya lettu Dika!" jawab Nisa.
Jagat sontak menggeplak perut Dika, "sana sini okeeee kamu, Dik...." cibirnya.
"Yuk, cabut. Ketemu danyon." tarik Jagat, menarik dan menggusur ujung kerah Dika.
.
.
.
.
.
lanjut