Di dunia yang memadukan sihir kuno dengan teknologi modern, seorang prajurit muda bernama Shaka bermimpi besar untuk menjadi Raja Ksatria. Demi mencapai tujuannya, Shaka mendirikan guild bernama Red Wings, tempat berkumpulnya para petualang pemberani dan unik. Setiap anggota Red Wings memiliki keterampilan dan tujuan yang berbeda-beda, namun semuanya berjuang demi mimpi Shaka yang ambisius: membangun era baru bagi para ksatria.
Impian Shaka untuk menjadi Raja Ksatria tak lepas dari pengaruh legenda Jovan Ardent, seorang ksatria pertama di dunia ini yang hidup seribu tahun lalu. Jovan tidak hanya menjadi tokoh legendaris; ia dianggap sebagai pendiri tatanan ksatria yang memengaruhi seluruh dunia hingga hari ini. Selama hidupnya, Jovan membawa kehormatan dan kekuatan yang mendefinisikan para ksatria sejati dan meninggalkan jejak sejarah yang memicu munculnya banyak pahlawan, termasuk Shaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zyura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kemenangan ini milik kami
Di tengah reruntuhan pabrik senjata, Shaka berdiri tegak dengan napas yang berat. Di hadapannya, Baran, sosok raksasa bertubuh kekar dengan aura kegelapan yang menakutkan. Setiap detak jantungnya bergema dalam kesunyian, mengingatkan pada pertarungan yang tak terelakkan. Misi untuk mengalahkan Baran bukan hanya demi dirinya, tetapi demi teman-temannya—Sawyer dan Jozen, yang kini bersembunyi di balik reruntuhan, menunggu kesempatan untuk membantu.
“Apakah kau benar-benar berpikir bisa mengalahkanku, Shaka?” Baran menggertakkan gigi, senyum mengejek terukir di wajahnya. “Kau hanya anak kecil yang berani menantang arus.”
Shaka menegakkan punggungnya, menepis rasa takut yang menggerogoti. Kenangan akan pelatihan bersama Xavier terbayang di benaknya. Dia ingat saat-saat sulit, pelajaran tentang keteguhan hati, dan bagaimana cara menggunakan kekuatan terpendamnya. Hari itu, Shaka bertekad untuk memanfaatkan semua yang telah diajarkan.
“Kau salah, Baran. Aku bukan lagi anak kecil. Aku adalah cahaya yang akan memadamkan kegelapanmu!” Shaka mengeluarkan energi ki, melingkupi tubuhnya dengan aura bercahaya.
Dengan cepat, Baran menyerang. Pukulan tangan besar melesat ke arah Shaka. Dengan gerakan lincah, Shaka melompat ke samping dan menghindari serangan itu, menggunakan teknik yang telah dia pelajari untuk mengamati gerakan lawan. Di saat yang tepat, dia melihat pola serangan Baran—setiap gerakan yang dilakukan dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa, namun masih ada kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
“Lihatlah, kau hanya mengandalkan kekuatan mentah,” Shaka berpikir, saat dia merencanakan langkah selanjutnya. Dia mengingat kata-kata Xavier, “Kekuatan sejati bukan hanya soal fisik, tetapi juga strategi.”
Dengan keberanian, Shaka melancarkan serangan balik. Dia mengeluarkan serangkaian pukulan cepat, mencoba mendistraksi Baran. Namun, Baran dengan mudah menghalau serangan itu, menjawab dengan tinju yang menghancurkan. Shaka terpelanting ke belakang, terhempas oleh kekuatan yang mengguncang seluruh tubuhnya.
Namun, semangatnya tidak padam. Dari tempat persembunyiannya, Sawyer dan Jozen menyaksikan dengan cemas. Mereka tahu bahwa Shaka tidak dapat bertarung sendirian. Momen ini adalah kesempatan mereka untuk beraksi.
“Sawyer, kita harus membantu Shaka!” Jozen berkata dengan tegas, menyiapkan sihirnya untuk memberikan dukungan.
Sawyer mengangguk, bersiap untuk memberikan energi penyembuhan. “Aku akan memberikanmu semua yang aku punya, Shaka!” Dengan itu, dia mengirimkan aliran energi positif menuju Shaka, meningkatkan stamina dan kekuatan serangannya.
Merasa energinya kembali pulih, Shaka merasa dorongan baru. Dia berbalik menghadapi Baran, menantang dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku akan menunjukkan padamu apa itu kekuatan sejati!”
Menyadari bahwa tekniknya harus lebih kuat, Shaka mengeluarkan energi ki-nya, menyempurnakan teknik wilayah absolut yang diajarkan oleh Xavier. Dia berkonsentrasi, mengumpulkan semua kekuatan yang ada, siap untuk meluncurkan serangan pamungkas.
Dengan kecepatan luar biasa, Shaka berlari mendekati Baran, memanfaatkan lingkungan sekitarnya untuk menciptakan gangguan. Reruntuhan pabrik menjadi tempat strategis, menghalangi pandangan Baran. Dia melompat ke atas puing-puing, memberi serangan mendadak yang tidak terduga.
“Sekarang!” teriak Jozen, memberi sinyal kepada Shaka.
Shaka mengeluarkan semua tenaga dan menyerang dengan teknik yang telah dia latih. Dalam momen puncak, dia meluncurkan kombinasi serangan yang memukau: tinju, tendangan, dan serangan ki. Setiap gerakan terkoordinasi dengan sempurna, seolah mereka telah berlatih selama bertahun-tahun.
Baran terkejut, terdesak mundur oleh kekuatan serangan tersebut. “Apa yang terjadi?!” teriaknya, mencoba menstabilkan diri. Namun, tidak ada jalan mundur bagi Shaka.
Shaka merasakan energi mengalir dalam dirinya, mendorongnya untuk terus maju. Dalam satu serangan terakhir, dia berteriak, “Cahaya ini akan menghancurkan kegelapanmu!”
Dengan semangat berkobar, Shaka melancarkan serangan terkuatnya. Energi ki-nya meledak menjadi cahaya yang menyilaukan, menghancurkan pertahanan Baran dan menghantamnya dengan kekuatan luar biasa. Baran terjatuh, tidak mampu melawan.
Di tengah asap dan reruntuhan, Shaka berdiri dengan napas berat, menyadari bahwa ia telah melampaui batasnya. Kemenangan ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang yang dicintainya.
“aku berhasil…” Shaka berbisik, menatap ke langit yang kini cerah. Dia tahu, ini adalah awal dari perjalanan baru, di mana cahaya akan selalu melawan kegelapan.
Sementara Shaka merayakan kemenangannya atas Baran, di sudut lain dari pabrik senjata yang hancur, Yaso, anggota guild Red Wings, terlibat dalam pertarungan yang sengit melawan Maxwell, sosok misterius yang mampu memanipulasi awan. Pertarungan mereka berlangsung di antara puing-puing, setiap gerakan mereka menciptakan gelombang energi yang menggetarkan.
Yaso bergerak cepat, menggunakan gaya bertarung militer dan stealth-nya. Ia melompat dari satu reruntuhan ke reruntuhan lainnya, berusaha menghindari serangan Maxwell yang mengirimkan awan gelap ke arah dirinya. “Kau pikir kau bisa mengalahkanku dengan trik murahan seperti itu?” Yaso berkata dengan nada penuh percaya diri.
Maxwell hanya tersenyum, awan hitam yang menggumpal di sekelilingnya bersinar dengan kekuatan misterius. “Aku akan menunjukkan padamu betapa tidak berdayanya kau di bawah langitku!” Ia melambungkan tangannya, dan awan mengerumuni Yaso, siap untuk mengurungnya.
Tepat pada saat itu, Yaso merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah benda yang terlihat mencolok—sebuah bazooka. “Rasakan ini, sialan!” teriaknya, menargetkan Maxwell dengan senjata berat itu.
Namun, sebelum Yaso bisa menarik pelatuknya, Maxwell bereaksi cepat. “Terlambat!” ia berteriak, menciptakan awan yang lebih besar dan lebih tebal. Awan itu melingkupi Yaso, mengurung tubuhnya dalam cengkeraman yang mengerikan. “Kau akan menyesal menantangku!”
Yaso berjuang melawan awan yang mengikatnya, merasakan tekanan yang meningkat. Setiap napasnya menjadi lebih berat. “Kau benar-benar menyebalkan,” ucapnya dengan suara serak, berusaha untuk mengendalikan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Maxwell tertawa sinis, mengencangkan awan di sekeliling Yaso. “Rasa sakit ini adalah awal dari akhir bagimu!”
Dalam kondisi terdesak, Yaso teringat akan pelatihan yang diberikan oleh latihannya selama 3 tahun. Ia tidak bisa menyerah. Mengandalkan keberaniannya, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dalam sekejap, ia memuntahkan isi perutnya ke arah wajah Maxwell.
“Ini untukmu!” teriak Yaso, wajahnya berkerut saat muntahannya mengenai Maxwell. Efeknya luar biasa; energi dari awan yang mengurungnya menjadi lemah, mengalir keluar dari cengkeraman Maxwell.
“Aaarrghhh!” Maxwell terkejut, mengusap wajahnya dengan kesal. Dalam momen ketidakwaspadaan itu, Yaso melihat kesempatan emasnya. Dengan sekuat tenaga, dia menarik pelatuk bazooka.
“Ini akhir untukmu, Maxwell!” Yaso meneriakkan dengan semangat, menembakkan proyektil dari bazooka. Suara ledakan menggelegar memenuhi udara saat proyektil melesat menuju Maxwell.
Maxwell, yang masih terkejut oleh serangan mendadak Yaso, tidak punya waktu untuk menghindar. Proyektil itu menghantam awan yang mengelilinginya dengan kekuatan besar, menciptakan ledakan cahaya dan energi yang memecah langit.
Yaso melindungi wajahnya dari cahaya yang menyilaukan. “Jangan sekali-kali anggap remeh kekuatan Red Wings!” serunya, melihat awan mulai menghilang di depan matanya.
Ketika asap dari ledakan mulai sirna, Yaso melangkah maju dengan percaya diri. Maxwell tergeletak di tanah, tubuhnya tampak lemah dan tidak berdaya. “Ini tidak mungkin…” Maxwell berbisik, mencoba berdiri tetapi gagal. “Kau tidak bisa mengalahkanku… aku adalah penguasa langit!”
“Penguasa langit yang sudah kalah,” kata Yaso, melangkah lebih dekat, menatap Maxwell dengan tatapan tajam. “aku belajar banyak dari pertarungan ini”
Maxwell tersenyum pahit, merasakan kepedihan kekalahan. “bazooka mu itu, isinya apa ?
“aku membuat meriamnya sendiri, bubuk mesiu dicampur dengan bahan kimia lainnya, harusnya itu bisa membunuh mu tapi sepertinya hanya beberapa tulang yang patah ya ? Lain kali, jika kita bertemu lagi, jangan harap aku akan memberi ampun,” Yaso menjawab, merasa kekuatan mengalir dalam dirinya. Dengan satu langkah terakhir, dia meninggalkan Maxwell yang terpuruk, dan mencari teman temannya.
Yaso terhuyung-huyung, berjalan dengan kaki pincang setelah pertarungannya yang sengit melawan Maxwell. Tubuhnya terasa remuk, napasnya berat, namun ia terus melangkah, menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Tangan kirinya menggenggam perutnya yang berdarah, sementara di tangan kanannya, bazooka yang baru saja ia gunakan untuk menghabisi Maxwell menggantung lemah.
Saat ia tiba di jalan yang dipenuhi reruntuhan, matanya menangkap sosok familiar. Onyx, wakil kapten *Red Wings*, berdiri dengan kedua pedang berkilat di tangannya. Ia baru saja selesai dari pertarungannya sendiri. Darah mengalir di sepanjang pedangnya, namun wajahnya tetap tegas, dengan mata berkilau penuh kewaspadaan.
“Yaso,” panggil Onyx, nadanya datar namun penuh perhatian.
Yaso menyeringai kecil, mencoba menghilangkan rasa sakit yang menderanya. “Onyx,” jawabnya pendek. Ia menghentikan langkah, berdiri setegak mungkin, meskipun jelas terlihat bahwa tubuhnya tidak kuat lagi. “Bagaimana pertarunganmu?”
Onyx mengibaskan pedangnya, menyingkirkan darah dari bilahnya sebelum menyarungkan keduanya ke punggungnya. “Sudah selesai,” jawabnya singkat. “Dan kau? Maxwell?”
Yaso mengangkat bazookanya, meski lemah, dengan senyum sinis. “Dia bukan apa-apa sekarang.”
Sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, suara langkah kaki yang cepat mendekat. Sun Ling, anak Kera Sakti, datang menghampiri mereka dengan tongkat saktinya yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Nafasnya terengah-engah, namun wajahnya penuh kegembiraan.
“Aku bisa merasakan energi Shaka!” katanya, menghentikan langkahnya di depan kedua rekan guild-nya. “Dia ada di luar kota.”
Onyx menyeringai mendengar kabar itu. “Jadi Shaka berhasil?” tanyanya dengan nada penuh keyakinan.
Sun Ling mengangguk cepat, wajahnya bersemangat. “Aku tidak bisa merasakan energi Baran lagi. Itu berarti dia sudah dikalahkan!”
Yaso, meskipun kesakitan, tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya. “Kapten kita memang luar biasa,” gumamnya sambil menahan rasa sakit di dadanya.
Namun, suasana itu segera terganggu ketika ledakan dahsyat terdengar dari kejauhan, disertai suara tulang-tulang raksasa yang mengguncang tanah. Sun Ling mengernyit. “Itu... Elena?” tanyanya.
Di sudut lain kota, Elena masih bertarung sengit melawan Jones, manusia tulang. Tulang-tulang raksasa terus muncul dari tanah, membentuk tangan dan kaki yang mencoba menangkap Elena di setiap kesempatan. Ia bergerak gesit, menghindari setiap serangan dengan lompatan akrobatiknya, namun jelas terlihat bahwa ia kewalahan.
“Seranganmu hanya membuang waktu!” teriak Jones dengan suara yang dalam, sementara tulang-tulangnya menyerang tanpa henti. Ia berdiri di atas tumpukan tulang yang terus menerus bergerak, seolah tidak pernah habis.
Elena menyipitkan matanya, merasakan darah mengalir di dahinya. Ia tidak boleh lengah. Tangannya mulai bergetar, namun ia masih bisa mengumpulkan kekuatan yang tersisa. “Kau belum melihat yang sebenarnya!” balas Elena. Ia mengangkat tangannya ke udara, memanggil angin yang mulai berputar kencang di sekitarnya.
Jones melangkah mundur, menyadari bahwa Elena akan melakukan sesuatu yang besar. Tulang-tulangnya membentang, bersiap untuk menghalau apapun yang akan datang.
“Elena!” teriak Jones dengan tatapan penuh ancaman. “Kau takkan bisa lolos dari ini!”
Elena mengabaikan ancaman itu. Ia mengumpulkan semua kekuatan anginnya, dan angin mulai berkumpul menjadi pusaran besar. Dengan suara yang memekakkan telinga, angin puting beliung itu mulai terbentuk, berputar dengan kekuatan yang semakin intens.
“Puting beliung 200%!” serunya, memanggil jurus terkuatnya.
Angin puting beliung itu bergerak cepat, menghisap semua tulang di sekitarnya, menghancurkan mereka menjadi debu. Jones berusaha bertahan, namun kekuatan angin itu terlalu kuat. Tulang-tulang raksasa yang ia kendalikan hancur berantakan dalam sekejap.
“Tidak mungkin!” teriak Jones dengan nada putus asa.
Elena, dengan sisa tenaga terakhirnya, mendorong pusaran angin itu lebih kuat lagi. Dalam hitungan detik, tulang-tulang Jones dihancurkan, meninggalkan tubuhnya yang terluka dan berantakan. Elena terengah-engah, keringat bercucuran di wajahnya, namun ia berhasil berdiri tegak.
Keduanya saling berhadapan, dengan tubuh yang sama-sama babak belur dan napas yang tersisa sedikit. Jones menggertakkan giginya, meski jelas ia kalah. “Kau... benar-benar luar biasa,” gumamnya, hampir tidak terdengar.
Elena tersenyum tipis, tangannya masih terangkat. “Aku hanya melakukan tugasku,” jawabnya dengan tenang.
Pertarungan ini akhirnya mencapai titik akhirnya, namun perang masih jauh dari selesai.
Pertarungan antara Elena dan Jones semakin sengit. Tulang-tulang raksasa yang awalnya hancur oleh serangan puting beliung Elena kini kembali bangkit, tapi kali ini dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Jones, dengan raut wajah dingin dan tatapan penuh determinasi, membentuk kerangka manusia raksasa dari tumpukan tulang-tulang di sekitarnya. Bentuknya mengerikan—sebuah kerangka putih yang menjulang tinggi dengan tangan raksasa yang siap menghantam Elena.
Elena terhuyung-huyung, terengah-engah. Tenaganya sudah terkuras, tapi matanya tetap bersinar dengan semangat juang. "Kau takkan bisa menang dariku!" teriak Jones dari balik kerangka raksasa itu. "Tulang-tulang ini akan menghancurkanmu, dan aku akan menjadi legenda!"
Kerangka raksasa itu menyerang, tangannya menyapu ke arah Elena dengan kecepatan yang tidak sebanding dengan ukurannya. Elena melompat ke samping, menghindari pukulan yang hampir menghancurkan tanah di bawahnya. Ledakan debu dan serpihan tulang menghiasi udara saat serangan itu meleset, namun Jones tidak berhenti. Serangan bertubi-tubi dari kerangka itu terus diarahkan ke Elena, membuatnya semakin terpojok.
Elena mendapati dirinya kelelahan. Setiap otot di tubuhnya menjerit, tetapi di matanya, kilauan strategi tetap ada. Dia tahu bahwa dia tidak boleh berhenti sekarang. Dalam hatinya, ia memikirkan Shaka, Yaso, dan anggota *Red Wings* lainnya. Mereka semua sedang bertarung, memberikan segalanya, dan dia tidak bisa mengecewakan mereka.
"Aku tidak akan kalah..." gumamnya, menyapu keringat dari dahinya. Dengan tatapan penuh tekad, Elena mulai memusatkan energi angin yang tersisa di tubuhnya.
Dia memutar-mutar tubuhnya dengan cepat, lebih cepat dari sebelumnya. Angin mulai berkumpul di sekelilingnya, kali ini lebih padat dan lebih bertenaga daripada angin puting beliung yang ia keluarkan sebelumnya. Tubuhnya hampir sepenuhnya terbungkus oleh angin yang berputar seperti badai mini, menciptakan perisai pelindung sekaligus senjata mematikan. Udara di sekitar Elena bergetar, seolah-olah merespons kekuatan baru yang ia pancarkan.
"Ini waktunya!" Elena berkata dengan penuh percaya diri. Dengan dorongan angin yang luar biasa, tubuhnya melesat ke arah kerangka raksasa itu. Jones yang berada di balik kerangka, terkejut melihat kecepatan Elena yang mendadak melonjak drastis. Dia mencoba untuk memerintahkan kerangka raksasa itu menyerang, namun terlambat.
**Boom!**
Elena, yang kini menyerupai tornado kecil, menabrak kerangka raksasa itu dengan kekuatan penuh. Dalam sekejap, kerangka itu hancur berantakan, tulang-tulang yang tadinya kokoh kini terpecah menjadi serpihan kecil yang berterbangan ke segala arah. Jones tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Tidak mungkin!" jeritnya.
Namun, Elena belum selesai. Dengan senyum di wajahnya, dia mengarahkan serangan terakhirnya ke arah Jones. Jones, dalam kepanikan, mencoba menciptakan pelindung dari tulang-tulangnya, namun usahanya sia-sia. Elena yang kini berlapis angin menabrak tubuh Jones dengan kekuatan dahsyat, menghantamnya dengan kecepatan luar biasa.
**Braaakk!**
Jones terpental jauh, tubuhnya melayang di udara sebelum jatuh keras di tanah. Tanah di sekitar tempat jatuhnya bergetar akibat benturan tersebut. Jones, yang biasanya selalu tenang dan penuh percaya diri, kini tak berdaya, terkapar dengan tubuh tak sadarkan diri. Elena berdiri di tengah reruntuhan tulang, napasnya berat tapi penuh kemenangan.
Dia telah menang.
"Jones, kau terlalu meremehkanku," gumam Elena sambil menarik napas dalam-dalam, mengendapkan sisa adrenalinnya.
Namun, pertarungan belum berakhir. Di sisi lain kota, Brock, sang cyborg penjaga *Mighty Eagle*, masih terlibat dalam pertarungan sengit melawan Trenton, si manusia emas. Trenton, dengan tubuhnya yang dilapisi emas mengkilap, berdiri gagah di hadapan Brock. Setiap pukulan yang dia lontarkan memancarkan kilauan emas yang memukau namun mematikan.
Brock, dengan tubuhnya yang diperkuat oleh teknologi canggih, menghindari serangan demi serangan. Tubuh mekanisnya membuatnya lebih tangguh, namun serangan Trenton begitu kuat hingga meninggalkan beberapa retakan di armor baja yang melindungi Brock.
“Kau tidak bisa menahan kekuatanku, Brock!” teriak Trenton dengan tawa sombong. “Aku adalah emas! Tak ada yang bisa menghancurkanku!”
Brock menyeringai kecil “Kau terlalu sombong, Trenton. Kita lihat seberapa kuat emasmu.”
Trenton mengarahkan pukulan kuat ke arah Brock, tapi kali ini Brock siap. Dia menangkis pukulan itu dengan lengannya yang kokoh, menciptakan percikan api ketika logam dan emas berbenturan. Brock kemudian mengaktifkan senjata plasma di lengannya, melepaskan tembakan energi tepat ke dada Trenton.
**Dhuar!**
Tembakan plasma itu langsung meledak, memukul mundur Trenton yang tampaknya kaget oleh kekuatan serangan Brock. Brock tidak berhenti di situ. Dia langsung maju, menggunakan momentum serangannya untuk menghajar Trenton dengan pukulan bertubi-tubi. Trenton, yang tadinya sangat percaya diri, kini mulai kesulitan untuk menahan serangan bertubi-tubi dari cyborg yang tidak kenal ampun ini.
Brock berdiri tegak di tengah-tengah medan pertarungan yang sudah hancur berantakan. Trenton, dengan tubuh yang setengahnya masih dilapisi emas, melangkah maju dengan penuh determinasi. Meskipun luka di tubuhnya semakin banyak dan lapisan emas di tubuhnya mulai retak, semangat juangnya belum padam.
“Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, cyborg?” Trenton menyeringai meski darah mengalir dari sudut bibirnya. "Emas adalah simbol kekuatan, dan aku adalah emas."
Brock mengamati musuhnya dengan tenang, sensor-sensor di tubuhnya menganalisis kondisi Trenton yang semakin lemah. "Kau berbicara terlalu banyak," ucap Brock dengan suara dingin. Tanpa basa-basi, dia mengeluarkan sebuah flamethrower besar dari salah satu kompartemen di lengannya. Senjata itu tampak lebih mengerikan dari biasanya, karena api yang menyembur dari ujung flamethrower tersebut berwarna biru terang—pertanda bahwa suhu apinya sangat tinggi, jauh lebih panas dari api biasa.
Brock menarik pelatuknya, dan seketika semburan api biru melesat dari flamethrowernya, membakar segala yang ada di jalur tembakannya. Tanah di bawah api itu meleleh, meninggalkan jejak kehancuran yang membara. Trenton yang berdiri di jalur serangan langsung terkena semburan itu. Tubuh emasnya berderak, mencair di beberapa bagian, dan asap mengepul di sekitarnya.
"Aku tidak akan kalah dari sekadar api!" teriak Trenton dengan penuh amarah. Tubuhnya mulai berubah—dia mengeluarkan cairan emas dari dalam dirinya, membentuk lapisan pelindung yang lebih tebal. Emas itu mengeras dengan cepat, menciptakan perisai yang membungkus tubuhnya dari semburan api Brock. Trenton tersenyum puas, merasa bahwa pertahanan emasnya cukup kuat untuk menahan api biru yang mengerikan.
Namun Brock tidak tergoyahkan. “Kau hanya menunda yang tak terhindarkan,” katanya, sambil menonaktifkan flamethrowernya. Kemudian, dari punggung Brock, sebuah senjata lain muncul—lebih besar dan jauh lebih mengintimidasi. Itu adalah senjata plasma miliknya, dengan tabung energi yang bersinar terang, siap melepaskan kekuatan yang jauh lebih besar daripada serangan sebelumnya.
“Dasar idiot!” seru Brock, menatap Trenton yang masih bersikeras mempertahankan pelindung emasnya.
Dengan satu sentakan, Brock mengarahkan senjata plasmanya ke arah Trenton dan menembakkan seluruh energi yang tersimpan di dalamnya. **Dhuarrr!** Sinar plasma meledak keluar dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, menyapu segala yang ada di depannya. Emas yang melapisi tubuh Trenton mulai meleleh di bawah serangan itu, pelindungnya tidak mampu menahan panas dan kekuatan dari serangan Brock.
Trenton mencoba melawan, mengeluarkan lebih banyak cairan emas untuk memperkuat pelindungnya, tapi sia-sia. Serangan plasma Brock terlalu kuat. Lapisan emas itu terus meleleh, dan dalam sekejap, setengah tubuh Trenton hancur terkena serangan itu. Setengah tubuh emasnya hancur berkeping-keping, dan sisanya kembali ke wujud manusianya yang lemah dan tak berdaya. Trenton terhuyung-huyung ke belakang, tubuhnya kini compang-camping, penuh luka dan rasa sakit yang tak tertahankan.
“Akh... ini... tidak mungkin...” desis Trenton, suaranya parau dan putus asa.
Brock melangkah maju, suaranya masih tenang meski penuh ancaman. "Kau terlalu percaya pada emasmu, Trenton," katanya sambil menatap tubuh Trenton yang lemah. “Kekuatanmu tidak sebanding dengan teknologi. Kau hanya manusia dengan lapisan logam. Sekarang lihatlah hasilnya.”
Trenton jatuh berlutut, tidak mampu lagi berdiri. Kesombongannya telah hancur bersama emasnya. Darah mengalir dari tubuh manusianya yang terluka parah, dan dia terengah-engah, mencoba bertahan dari rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Brock mengangkat senjatanya sekali lagi, siap untuk mengakhiri pertarungan ini. Tapi dia berhenti, menatap Trenton yang sudah hampir kehilangan kesadarannya.
“Sudah cukup,” kata Brock akhirnya. “Kau tidak layak mendapatkan kehormatan serangan terakhir.”
Brock menyimpan senjatanya dan menoleh, meninggalkan Trenton yang masih terkapar di tanah. Saat dia berjalan, Brock merasakan energi di dalam tubuhnya mulai menurun. Pertarungan ini memang sangat melelahkan, meski tubuh cyborgnya memungkinkan dia untuk bertarung lebih lama dibandingkan manusia biasa.
“Kurasa aku butuh soda untuk meningkatkan energiku,” gumam Brock sambil menyeringai kecil. Sensor tubuhnya memberitahu bahwa level energinya hampir mendekati batas minimum. Tapi dia masih bisa bertahan, setidaknya sampai semua musuh benar-benar dikalahkan.
Brock melihat sekeliling medan pertarungan yang kini sepi. Asap masih mengepul dari beberapa bangunan yang terbakar, dan tanah di sekitarnya penuh dengan puing-puing dan bekas ledakan. Namun, pertarungan belum sepenuhnya berakhir. Meski Trenton telah dikalahkan, Brock tahu bahwa beberapa anggota *Red Wings* masih berjuang di tempat lain.
Dia mengaktifkan komunikator di helmnya, terhubung dengan anggota guild lainnya. "Onyx, Shaka, Yaso, laporan status kalian," katanya singkat namun jelas.
Suara Onyx terdengar dari perangkatnya, “Shaka berhasil mengalahkan Baran. Yaso sudah menang melawan Maxwell. Elena juga sudah selesai. Kau bagaimana, Brock?”
Brock tersenyum tipis di balik helmnya. "Trenton sudah dikalahkan. Aku akan segera bergabung dengan kalian... tapi mungkin aku butuh soda dulu."
Onyx tertawa kecil dari seberang komunikasi. “kalau begitu aku akan mencari shaka terlebih dahulu, banyak soda yang sudah menanti mu brock !.”
Shaka terbaring di atas puing-puing yang masih berasap, menatap langit senja yang mulai memudar. Warna merah-oranye matahari terbenam terpantul di langit yang berawan, memberikan pemandangan yang damai, meski medan pertempuran di sekitarnya masih dipenuhi dengan kehancuran. Sawyer duduk di dekatnya, pedangnya tertancap di tanah di sampingnya, memandang tubuh Baran yang sudah tidak sadarkan diri di depan mereka. Darah mengalir dari beberapa luka di tubuhnya, tapi Sawyer masih teguh, meski jelas terlihat lelah.
"Selesai sudah," gumam Shaka, senyumnya terukir di wajah penuh luka. Napasnya berat, namun penuh kepuasan.
Sawyer, yang masih memandangi Baran, akhirnya berkata, "Baran lebih baik dipenjara di Ancient Cells. Kita tidak bisa membiarkan seseorang sekuat dia berkeliaran lagi."
Sebelum Shaka sempat menjawab, terdengar suara tepuk tangan dari belakang mereka. "Luar biasa," kata sebuah suara yang familier.
Mata Shaka dan Sawyer serentak menoleh. Jozen, dengan senyum kecil di wajahnya, berdiri beberapa meter dari mereka. Matanya menatap Shaka dengan rasa kagum yang tersembunyi.
"Jozen..." Sawyer menegakkan tubuhnya, meskipun jelas rasa lelah menguasainya. "Baran sudah dikalahkan, tapi penjara Ancient Cells adalah satu-satunya tempat yang mampu menahannya."
Jozen mengangguk. "Tentu saja, aku setuju. Para ksatria sebentar lagi akan datang untuk membawanya ke sana. Lagipula, para bawahannya sudah dikalahkan juga. Berkat kalian, kami berhasil meredam ancaman besar ini."
Shaka tiba-tiba tertawa, meskipun napasnya terengah-engah. "Hah... mereka berhasil ya? Jadi, mereka sudah sekuat ini setelah tiga tahun?" Matanya bersinar dengan rasa bangga yang tak bisa disembunyikan. Meskipun lelah, dia tampak puas mengetahui bahwa para anggota Red Wings telah bertumbuh jauh lebih kuat sejak terakhir kali mereka bersama-sama menghadapi musuh besar.
Di tengah percakapan itu, Onyx tiba-tiba muncul dari reruntuhan dengan langkah cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Shaka! Kau baik-baik saja?"
Shaka melirik ke arah Onyx dan tersenyum tipis, meski jelas rasa sakit masih mendera tubuhnya. "Ya ampun, kau babak belur!" seru Onyx, matanya menyapu luka-luka yang memenuhi tubuh Shaka.
"Tenang saja," balas Shaka dengan santai, meskipun suaranya sedikit melemah. "Aku akan baik-baik saja. Kau seharusnya lihat Baran. Dia lebih buruk dariku."
Onyx tertawa kecil, tetapi kemudian ekspresinya berubah serius. "Kami semua sudah menang. Yaso mengalahkan Maxwell, Elena menang melawan Jones, dan Brock... yah, dia butuh soda tapi dia menang juga."
Shaka tertawa mendengar kalimat terakhir. "Brock dan sodanya. Selalu seperti itu."
Jozen mendekat dan memandang Shaka serta Sawyer dengan serius. "Kalian harus beristirahat. Kemenangan ini besar, tapi tubuh kalian juga butuh pemulihan."
Shaka mengangguk. "Kami akan beristirahat. Kita semua pantas mendapatkannya."
Saat malam semakin larut, anggota Red Wings akhirnya berkumpul kembali di desa kecil di dekat pertempuran. Warga desa yang menyaksikan kehebatan mereka, dengan senang hati menawarkan tempat untuk mereka beristirahat dan menyembuhkan luka-luka mereka. Rumah-rumah sederhana desa itu dipenuhi dengan aroma herbal dan ramuan penyembuh. Para penduduk dengan sigap membawa air hangat, perban, dan salep herbal untuk membantu memulihkan para pejuang yang terluka.
Shaka duduk di sebuah bangku kayu di luar rumah desa, menghirup udara malam yang segar. Luka-lukanya sudah dibersihkan, dan meskipun tubuhnya masih terasa sakit, dia merasa jauh lebih baik. Di sebelahnya, Onyx sedang memeriksa dua pedangnya yang sedikit rusak setelah pertempuran sengit.
"Kau benar-benar hebat, Shaka," kata Onyx sambil menatap kapten guild-nya dengan kagum. "Kau menghadapi Baran dengan kekuatan nya yang seperti monster dan kau tetap berdiri."
Shaka tersenyum, lalu menatap langit malam yang bertabur bintang. "Aku tidak sendirian, Onyx. sawyer, dan jozen mereka membantu ku, aku sempat kelelahan pada saat itu"
Tak lama kemudian, Sun Ling datang menghampiri mereka. Tongkat saktinya bersandar di bahunya, matanya berkilat-kilat dalam cahaya rembulan. "kita sudah menang, negeri silver sekarang sudah aman dari para kriminal itu, pabrik senjata juga sudah hancur sepenuhnya."
Shaka mengangguk pelan. "Ya. Dan aku merasa ini bukan hanya kemenangan untuk kita, tapi untuk semua orang yang pernah menderita karena dia."
Di sisi lain desa, Elena terbaring di tempat tidur, tubuhnya dibalut perban. Dia masih kelelahan setelah pertarungannya dengan Jones, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit rumah sederhana itu. Di benaknya, dia terus memikirkan pertempuran yang baru saja mereka menangkan.
Sawyer, yang duduk di dekatnya, menyadari pikiran Elena. "Kau masih memikirkannya?"
Elena mengangguk. "orang tuaku"
Sawyer menghela napas dan mengangguk setuju. "tenang saja, pasti saat pertempuran berlangsung mereka sudah evakuasikan diri sendiri" elena pun tersenyum
saat situasi sudah tenang, aman dan damai semua orang menikmati makanannya sendiri shaka tiba tiba merasa panik dan kebingungan dan berkata "hei dimana apel ?!" dengan wajah panik nya, onyx yang sedang makan daging tiba tiba tersedak "dimana arthur !?"
-BERSAMBUNG-