Di tengah kesibukan kota modern yang serba cepat, Ferdy, seorang pria yang dulunya memiliki segalanya, kini menjadi pecundang. Ditinggal istri yang telah meninggalkannya, Ferdy merasa hidupnya hancur dan tak memiliki arah. Kesehariannya dipenuhi dengan kesedihan dan keraguan, mengingat kembali kejatuhannya dari puncak keberhasilan hingga menjadi seseorang yang tidak diperhitungkan.
Suatu hari, untuk melarikan diri dari kenyataan pahitnya, Ferdy memutuskan untuk pergi ke gunung, mencari ketenangan dan mungkin sebuah jawaban. Dalam perjalanan menuju puncak, ia terperosok ke sebuah gua misterius yang tersembunyi dari pandangan umum. Di dalam kegelapan gua itu, Ferdy menemukan sebuah gelang antik yang mengeluarkan cahaya lembut. Tanpa disadari, gelang itu adalah kunci dari sebuah sistem kekayaan dan kekuatan yang tak terbayangkan sebelumnya.
bagaimana cerita ferdy bangkit dari keterpurukan menuju ke kekuasaan tetapi masih memiliki kebaikan dan membantu sesama yang kesusahan dan menderita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kehancuran rumah tangga dan kesedihan
Rumah Ferdy berdiri di sudut jalan kecil, dikelilingi oleh kebun-kebun liar yang tak terawat. Dinding kayunya sudah mulai lapuk, atapnya bocor di beberapa tempat, dan suasana di dalam rumah tak kalah muram. Malam itu, hujan turun deras, mengguyur kota dengan suara gemuruh yang keras.
Di dalam rumah, Ferdy dan Yuni, istrinya, terlibat dalam pertengkaran hebat. Syahida, anak perempuan mereka yang masih kecil, bersembunyi di kamar, menutupi telinganya dengan bantal.
**Yuni** "Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi, Ferdy! Lihatlah rumah kita! Lihat dirimu! Kau hanya pengemudi ojek online, dan kita tidak punya apa-apa! Aku tidak mau terus-menerus hidup miskin!"
Yuni berteriak, matanya penuh amarah dan rasa frustrasi.
**Ferdy:** (suara bergetar) "Aku tahu kita tidak punya banyak, Yuni. Tapi aku berusaha! Setiap hari aku bekerja keras, aku mencoba memenuhi kebutuhan kita. Apa kau pikir mudah bagiku?"
**Yuni:** (menyindir) "Berusaha? Usahamu tidak cukup! Kau sudah gagal sebagai suami dan ayah. Aku tidak akan menghabiskan sisa hidupku dalam kemiskinan ini. Aku ingin keluar dari sini!"
Ferdy terdiam. Kata-kata Yuni menusuk hatinya. Ia mencintai Yuni, tapi di satu sisi, ia tahu sudah lama istrinya tak lagi merasakan hal yang sama. Dan malam ini, ia menyadari semuanya akan berakhir.
**Yuni:** (suara rendah, dingin) "Aku sudah punya seseorang. Dia bisa memberiku kehidupan yang lebih baik. Aku ingin cerai, Ferdy. Aku akan membawa Syahida bersamaku."
Ferdy terkejut, jantungnya berdetak kencang. Ia merasa seperti dihantam palu. Ia tak bisa berkata apa-apa. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha menahan.
**Ferdy:** (penuh kesedihan) "Kau ingin pergi? Baik. Tapi jangan bawa Syahida. Dia satu-satunya yang masih membuatku bisa bertahan."
Yuni hanya menatapnya dingin, tanpa emosi. Ia sudah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
**Yuni:** "Besok pagi, aku akan pergi. Aku akan urus surat-surat cerainya. Ini sudah cukup, Ferdy."
Yuni berbalik, masuk ke kamar mereka, meninggalkan Ferdy yang berdiri kaku di ruang tamu. Ia menatap lantai, tangannya terkepal, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Dalam hatinya, ia tahu semua sudah berakhir.
---
keesokan pagi, Yuni benar-benar pergi. Ia membawa Syahida bersamanya, meninggalkan Ferdy sendirian di rumah yang sekarang terasa lebih sepi dari sebelumnya. Ferdy menatap pintu yang tertutup rapat setelah Yuni pergi. Ia merasa hampa, tapi ia harus melanjutkan hidup.
Seperti biasa, Ferdy mengambil helmnya dan keluar untuk bekerja. Ia pergi ke basecamp ojek online, tempat ia dan teman-temannya berkumpul sebelum mengambil penumpang. Basecamp itu hanya sebuah warung kecil di sudut jalan, tempat pengemudi ojek online berkumpul, minum kopi, dan mengobrol sebelum memulai hari.
Tiba dibasecamp ojek online disana terdapat ryan, anto, sukirman, warto, dan yoga mereka adalah sahabat yang saling mengerti.**Bab 3: Menuju Gunung, Meninggalkan Kesedihan**
Malam itu, Ferdy merasa lega setelah mengobrol dan berpamitan dengan teman-temannya di basecamp ojek. Mereka memberinya semangat dan dukungan yang hangat. Ia tahu hidupnya sedang berada di titik terendah, namun pendakian gunung selalu menjadi pelarian yang ampuh untuknya. Di gunung, ia bisa merasakan kedamaian dan kebebasan yang jarang ia temukan di kota dengan segala hiruk-pikuk dan masalah hidup.
Dengan penghasilan dari mengojek hari itu, sebesar 500 ribu rupiah, Ferdy merasa cukup untuk biaya perjalanannya. Pulang ke rumah yang reot, Ferdy menatap kosong ke arah kamar yang dulu ditempati Syahida. Suasana sunyi seakan semakin mempertegas kekosongan hidupnya sejak ditinggal Yuni. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan alat-alat pendakian.
Ia memasukkan barang-barang yang sudah menjadi rutinitas: sepatu gunung, jaket tebal, tenda, alat masak, dan bekal makanan yang cukup untuk beberapa hari. Ferdy bukan pendaki pemula. Dari usia remaja, ia sudah terbiasa mendaki. Gunung bagi Ferdy adalah rumah kedua, tempat ia bisa menemukan ketenangan, kedekatan dengan alam, dan terkadang, pelarian dari kehidupan yang begitu keras di kota.
---
Keesokan Hari, Pagi yang Dingin
Saat fajar menyingsing, Ferdy sudah bersiap. Dengan tas gunung besar yang tergantung di punggungnya, ia berjalan keluar rumah dan menuju halte bus. Jalanan masih sepi, embun pagi menggelayuti daun-daun di tepi jalan. Ferdy melangkah mantap menuju halte, tempat bus yang akan membawanya ke kaki gunung menunggu.
Setibanya di halte, ia bertemu beberapa pendaki muda yang juga hendak mendaki gunung yang sama. Ferdy mengenali beberapa wajah mereka. Sejak lama, nama Ferdy sudah cukup dikenal di kalangan pendaki, baik yang senior maupun junior. Ia sering kali diminta menjadi porter, pemandu yang membantu membawa barang-barang berat bagi pendaki pemula.
Di halte, seorang pendaki muda bernama **Gilang** menyapanya.
**Gilang:** "Eh, Mas Ferdy, mau naik ke gunung juga nih?"
Ferdy tersenyum tipis dan mengangguk.
**Ferdy:** "Iya, Gilang. Sudah lama nggak mendaki. Mau cari udara segar sedikit."
**Gilang:** "Wah, kebetulan banget, Mas. Aku sama temen-temen juga mau naik. Kita berangkat bareng aja kalau Mas Ferdy nggak keberatan."
**Ferdy:** "Boleh aja, nggak masalah."
Meski ia berencana mendaki sendirian, Ferdy tak menolak ajakan Gilang dan teman-temannya. Mereka adalah pendaki muda yang penuh semangat, tapi masih butuh banyak bimbingan. Ferdy merasa sedikit tanggung jawab untuk menjaga mereka selama pendakian nanti.
Setelah beberapa menit menunggu, bus datang dan membawa mereka ke kaki gunung. Sepanjang perjalanan, Ferdy tak banyak bicara. Ia lebih banyak duduk diam, menikmati pemandangan alam yang semakin hijau dan asri saat bus perlahan meninggalkan hiruk-pikuk kota. Rasa damai mulai menyusup ke dalam hatinya, meski sesekali bayangan Syahida, anak perempuannya yang ia cintai, melintas di benaknya.
---
**Di Kaki Gunung**
Bus berhenti di basecamp pertama, tempat para pendaki biasa memulai perjalanan mereka. Ferdy turun dan menyapa beberapa pendaki senior yang mengenalnya. Salah satunya adalah **Pak Manto**, seorang penjaga basecamp yang sudah bekerja di sana selama puluhan tahun.
**Pak Manto:** "Wah, Ferdy! Lama nggak keliatan, nak. Mau naik lagi ya?"
**Ferdy:** "Iya, Pak. Udah lama nggak naik, kangen udara gunung."
**Pak Manto:** "Bagus, bagus. Gunung memang tempat terbaik buat nenangin pikiran. Kau tahu sendiri, gunung ini udah banyak ngeliat orang datang bawa beban berat, tapi selalu pulang dengan pikiran yang lebih ringan."
Ferdy tersenyum tipis. Kata-kata Pak Manto seolah menggambarkan apa yang ia rasakan. Gunung memang selalu menjadi tempat pelariannya setiap beban hidup terasa terlalu berat untuk dipikul.
Setelah mengurus administrasi dan registrasi pendakian, Ferdy dan rombongan Gilang mulai bersiap mendaki. Matahari mulai naik perlahan, dan udara di kaki gunung masih terasa sejuk. Ferdy memimpin perjalanan, seperti biasa ia berjalan di depan, memastikan jalur pendakian yang aman.
---
Jalur pendakian yang mereka lewati hari itu cukup curam. Beberapa dari teman-teman Gilang mulai kelelahan, sementara Ferdy melangkah mantap tanpa ragu. Pengalamannya sebagai porter membuatnya terbiasa menghadapi medan yang berat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan semua orang baik-baik saja.
**Gilang:** (terengah-engah) "Mas Ferdy… kuat banget ya. Kita udah ngos-ngosan dari tadi, Mas masih santai aja."
Ferdy tertawa kecil, berhenti sejenak untuk menunggu mereka.
**Ferdy:** "Ya, biasa aja. Kalau udah sering naik, lama-lama badan terbiasa sama medan. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Kita naik pelan-pelan aja, yang penting sampai puncak dengan selamat."
Teman-teman Gilang mengangguk. Mereka terlihat terkesan dengan ketangguhan Ferdy, dan sejak saat itu, mereka lebih banyak diam, mengikuti jejak langkahnya dengan penuh hormat.
Sore harinya, mereka mencapai pos peristirahatan pertama. Ferdy memasang tendanya dengan cekatan, sementara Gilang dan teman-temannya masih berjuang mendirikan tenda mereka sendiri. Setelah semua tenda berdiri, mereka duduk mengelilingi api unggun kecil yang mereka nyalakan untuk memasak.
**Ferdy:** "Besok kita lanjut lebih awal. Kalau mau lihat matahari terbit di puncak, kita harus bangun sebelum subuh."
**Gilang:** "Siap, Mas Ferdy. Wah, nggak sabar nunggu lihat sunrise di puncak. Kata orang-orang, pemandangan di puncak sini luar biasa."
**Ferdy:** "Benar. Pemandangannya memang indah. Tapi yang lebih penting dari itu, perjalanan ke puncak yang biasanya bikin orang merasa lebih tenang."
Suara gemerisik dedaunan dan angin malam yang dingin menemani mereka sepanjang malam. Ferdy terbaring dalam tendanya, tapi pikirannya masih melayang ke tempat lain. Kenangan tentang Syahida dan Yuni terus muncul di benaknya. Malam itu, Ferdy memutuskan bahwa pendakian kali ini bukan hanya tentang menenangkan diri, tapi juga tentang menemukan jawaban. Jawaban tentang apa yang harus ia lakukan setelah ini.
---