NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesona Koko-Koko Manis

Tiba di rumah, aku diserbu pertanyaan penuh cemas dari Bapak.

“Hari Rabu kok jam segini baru pulang, Nduk?”

“Pulang sejak tadi, Pak. Tapi hujan, jadi berteduh dulu,” jawabku lirih seraya melepas sepatu.

“Kok nggak bilang? Tau gitu kan Bapak jemput.”

Aku terkekeh seraya membuka pintu kamar. “Bilang gimana?” gumamku lirih.

Bapakku tuh aneh. Waktu itu, kami belum memiliki handphone. Lantas dia menyuruhku memberi kabar bahwa aku sedang kehujanan di jalan. Bagaimana caraku mengabari coba? Teriak dari jalanan depan, gitu? Atau pulang dulu, memberitahu kalau sedang terjebak hujan, lalu setelah itu balik lagi ke depan nungguin Bapak datang? Kan nggak mungkin.

Tapi itulah Pak Warno, orang tua yang luar biasa istimewa. Keluguannya kadang di luar logika. Saking lugunya sebagai lelaki sekaligus suami, untuk merokok saja dia tidak berani. Soalnya Ibu pasti marah besar kalau tahu Bapak mengisap lintingan tembakau tersebut. Dulu pernah merokok diam-diam, ketahuan, lalu Ibu murka. Semenjak itu Bapak tidak pernah berani melanggar, kecuali sedang berada di acara hajatan atau tengah ngumpul sama kawan-kawannya.

Bapak dan Ibu asli orang kampung, berasal dari satu desa yang sama, dan menikah karena dijodohkan. Bukan murni perjodohan juga sebetulnya. Bapak yang menginginkan pernikahan tersebut, lebih tepatnya. Dia pernah sekali waktu melihat foto Ibuku di rumah kawan mainnya, lalu jatuh cinta.

Sementara Ibu merupakan tipikal gadis penurut, yang mengikuti apapun perintah orang tua. Ketika Bapak melamar dirinya, dan Nenekku menyuruh dia menerima lamaran tersebut, tanpa banyak membantah dia pun bersedia. Padahal, saat itu Ibu belum kenal Bapak sama sekali sebab dia sudah pergi merantau sejak usia 10 tahun.

Ibu bekerja sebagai pelayan toko milik keluarga etnis Tionghoa yang tinggal di Madiun. Sebagai anak sulung dari seorang single parent, dia terpaksa tidak menuntaskan pendidikan dasar dan lebih memilih bekerja demi membantu perekonomian keluarga serta membiayai adik-adiknya.

Pada tahun 2000, Ibuku sudah 25 tahun bekerja di tempat tersebut. Maka tak heran apabila bosnya menganggap kami layaknya keluarga sendiri.

Bapak bekerja sebagai penarik becak semenjak aku masih kecil. Tepatnya kapan, aku sendiri tidak tahu. Seingatku, sejak aku mulai memahami pekerjaan orang tua, Bapakku sudah menjadi penarik becak. Menurut cerita Ibu, Bapak juga pernah kerja di toko. Tapi dia tidak bisa kerja di bawah tekanan, sehingga sering sakit. Akhirnya memilih resign dan membeli becak sebagai sumber mata pencaharian.

Rumah yang saat itu kami tempati, sebetulnya adalah milik Bos Ibu. Beliau mengelola usaha PJTKI. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor. Bapak dipercaya untuk menjaga, merawat dan membersihkannya—intinya tukang kebun, sehingga kami diberi satu kamar untuk ditempati sehari-hari.

“Nduk! Ikut ke tempat Ibu nggak!?” Terdengar teriakan Bapak dari teras belakang.

“Ikut!” jawabku  panik seraya menghambur keluar kamar. Takut ditinggal. Aku ada janji dengan Ibu, mau beli tas sekolah baru. “Tapi mandi dulu.”

“Lah kan nggak sekarang,” sahut Bapak dengan lempengnya seraya memberi makan ikan-ikan di kolam samping kamar mandi. “Bapak juga belum mandi.”

“Hadeh!” gerutuku kesal. “Kirain sudah mau berangkat.”

Bapak hanya menyeringai kocak.

Aku pun mengeloyor masuk kamar mandi dengan handuk tercangklong di pundak. Ngeselin memang Bapakku tuh. Itu belum seberapa. Kadang dalam satu kesempatan bisa lebih menjengkelkan dari Cak Lontong. Berbicara dengan Bapak, bawaannya tensi naik melulu.

Meski begitu, Bapak adalah lelaki tersabar yang pernah aku kenal di dunia ini. Setidaknya, sabar terhadapku.

 

💜💜💜

 

Malam itu, aku bercerita pada Ibu perihal pertemuan dengan cowok-cowok yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Memang sudah menjadi kebiasaan, aku lebih senang berbagi cerita dengan Ibu dibanding dengan orang lain. Sahabat sekalipun.

Terus terang, diajak kenalan oleh cowok sekelas Raga dan kawan-kawannya membuatku merasa sedikit spesial. Mungkin ini terkesan norak. Seolah aku gadis kuper yang tak memiliki teman. Padahal, waktu SMP aku dikenal lumayan supel, memiliki banyak kenalan, walaupun sikapku tomboi sekaligus bar-bar.

Berkawan dengan lawan jenis bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga remaja, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, aku memilih pencak silat. Penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, Ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya anak kesayangannya ini bisa lebih feminin. Itu pun harus melalui proses tawar-menawar yang lumayan alot. Awalnya aku ingin sekolah di STM—SMK putra—karena tertarik mempelajari elektro.

“Dia anaknya kawan Ibu, kali! Atau kawan Bapak.” Dengan gaya ceriwis, aku bercerita mengenai peristiwa sore itu.

Ada sedikit pecahan memori masa kecil yang tertinggal dalam ingatanku. Waktu kecil, aku sering dibawa ke Madiun. Beberapa anak dari teman Ibu—yang kebetulan tetangga kontrakan, sering menemaniku bermain. Kebetulan mereka semua lelaki. Perempuannya hanya aku.

Di antaranya, hanya dua yang lumayan akrab sejak kecil hingga dewasa. Sementara yang lain, pada akhirnya terhapus seiring waktu. Aku curiga Raga merupakan salah satu di antara mereka yang terlupakan.

“Masa dia tahu nama lengkapku,” lanjutku penuh antusias.

“Dia siapa, sih?”

Ibu mulai tertarik untuk menanggapi ocehan anak gadisnya yang tengah memasuki masa pubertas.

“Apanya?”

“Namanya siapa?”

“Raga.”

Perempuan 35 tahun itu berpikir sebentar. Aku menunggu dengan sabar ketika dia berusaha mengumpulkan ingatan.

“Nggak ada nama Raga,” cetusnya tak berapa lama kemudian.

“Yang dulu sering main sama aku waktu kita masih di Podang itu?”

“Akbar?”

“Ck, bukan!”

Mengenai Akbar, tidak mungkin aku lupa. Kami masih sering bertemu, meski tidak lagi bersapa seperti masa kecil dulu. Kadang berpapasan di jalan walau hanya saling pandang.

Terus terang, aku malu jika harus mengakui hal ini. Aku pernah menyukai dia, dulu waktu masih kecil. Memang hanya perasaan suka anak-anak, tapi tetap saja malu kalau ingat. Sebab itulah, aku memilih untuk pura-pura tidak kenal setiap bertemu dengannya.

“Itu lho, Bu! Yang dulu tinggal di sebelah rumah kita, yang hanya berdua dengan Mamanya,” uraiku menjelaskan.

“Itu Ringga, bukan Raga!”

“O iya.” Kutepuk kening sembari terkekeh geli.

Sekonyong-konyong, sosok Ringga muncul dalam ingatan. Orang tuaku pernah menyewa sepetak rumah kayu di Jalan Podang. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Srindit, hanya bersebelahan gang. Bedanya, di sana kawasan padat penduduk. Suasananya lebih ramai, banyak tetangga.

Suatu kali, dalam sebuah liburan aku berkenalan dengan anak lelaki seusiaku yang tinggal bersama Ibunya di rumah sebelah. Kami sering main bareng—dengan teman-teman lain juga. Hingga libur berakhir, aku pulang ke kampung dan berpisah dengan anak tersebut.

Pada liburan tahun berikutnya, ketika aku ke Madiun lagi, dia dan Ibunya sudah tidak tinggal di sana. Entah ke mana mereka, aku tak pernah berusaha mencari tahu. Seiring berlalunya waktu, semua tentang Ringga terlupakan begitu saja. Namanya pun tak lagi kuingat. Padahal, dulu kami sangat akrab. Hampir tiap hari aku ikut dia nyari ikan di selokan.

Aku pikir Ringga adalah Raga. Walau sedikit ragu, sebab secara fisik sangat jauh berbeda. Raga berkulit putih, sementara Ringga—seingatku—kulitnya hitam legam. Raga memiliki sepasang mata sipit, sedangkan Ringga matanya belo. Wajahnya juga bagai bumi dan langit.

“Memangnya kenapa? Kok nebaknya ke Ringga?” Ibu mulai kepo.

“Namanya mirip.”

“Banyak orang yang namanya mirip di dunia ini, Naaaad.”

“Kalau anak tadi bukan salah satu teman kecilku, dari mana dia tahu namaku? Nama lengkap pula dia sebut,” gumamku, seakan bertanya kepada diri sendiri.

“Katanya kenalan.”

“Aku belum nyebutin nama, Bu. Dia sudah nebak duluan. Nama kamu Zenaida Asmaya, 'kan? Gitu.”

Ibu diam, lantas melanjutkan pekerjaannya mencuci piring. Kami tengah mengobrol di dapur rumah bos Ibu yang baik hati. Malam itu hanya ada kami berdua. Si Bos sekeluarga sedang ibadah ke Gereja.

“Bu!”

“Hm?”

“Raga punya teman yang namanya Kevin. Anaknya cakep banget.”

“Alah, kamu! Kambing itu lho dipakein baju juga kamu bilang cakep.” Jawaban Ibu menyebalkan sekali. Otomatis bibirku maju sepuluh senti. “Rio yang kayak pantat panci saja kau bilang ganteng.”

“Ish, Ibu nggak asyik banget. Bawa-bawa Rio pula,” sungutku kesal.

Sambil merengut, aku kembali ke ruang keluarga, meneruskan garapan PR dari sekolah yang kutinggal begitu saja.

 

💜💜💜

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!