Lahir, dan besar, di negara yang terkenal karena budaya tolong menolong terhadap sesama, tanpa sengaja Reina menolong seseorang yang sedang terluka, tepat ketika salju tengah turun, saat dirinya berkunjung ke negara asal ayah kandungnya.
Perbuatan baik, yang nantinya mungkin akan Reina sesali, atau mungkin justru disyukuri.
Karyaku yang kesekian kalinya, Jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duka Menyapa
Reina hanya menatap kosong, orang-orang yang tengah sibuk mengurus prosedur kepengurusan jenazah mendiang Satoshi.
Entah sudah ke berapa kali, bulir bening itu, tanpa dia sadari mengalir dari sudut netranya. Reina tengah dirundung kesedihan mendalam.
Lelaki yang dia panggil Papa, meregang nyawa, hanya beberapa saat setelah mereka bertemu, setelah hampir sepuluh tahun mereka berpisah.
'Maaf' Kata terakhir yang diucapkan Papa padanya. Satu kata perpisahan, yang justru membuat Reina menyesal, pernah membenci lelaki itu.
Sepeninggal Papa semalam, Aiko menceritakan jika selama sakit, Satoshi berkali-kali menyebut nama putri bungsunya, dan meminta maaf, karena tak mendampingi masa remajanya.
Komunikasi yang dilakukan Reina, hanya sebatas dengan Aiko, dan kakak kembarnya. Reina akan langsung mematikan panggilan, jika suara Papanya terdengar ingin berbicara dengannya.
Dan Reina menyesal, tak memberi kesempatan Papanya untuk berbicara dengannya, saat lelaki itu masih sehat. Tapi kini, penyesalan itu, terasa sia-sia, tangisnya tak akan mengembalikan Papa kembali. Tak kuat menahan kesedihan, Reina akhirnya tumbang, dia hilang kesadaran.
***
"Rei," panggil Reiko, "Ayo bangun," pinta wanita yang saat ini, mengenakan pakaian serba hitam itu.
Reina membuka matanya, dia menatap kakak perempuannya, Reina bisa melihat wajah sembab Reika. Lagi, tanpa aba-aba, air matanya mengalir lagi, "Papa, kak!"
Keduanya berpelukan, kembali menumpahkan tangis, dan berusaha saling menguatkan, juga mengikhlaskan lelaki yang paling berharga di hidup mereka.
Puas menangis, Reiko mengajak adiknya, menuju ruang kremasi, dimana jenazah Satoshi berada. Reiko bilang, akan ada pemindahan tulang belulang usai kremasi, ke dalam sebuah guci, dan setelah itu, nantinya akan dibawa ke sebuah pemakaman, yang sudah ditentukan keluarga.
Ditengah kesedihannya, Reina hanya bisa mengikuti semua prosedur, yang sangat berbeda dengan keyakinannya. Benar-benar sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Reina tau, jika sejak kembali ke negara asalnya, sang Papa kembali menganut keyakinan leluhurnya. Hal itu juga yang membuat Reina kecewa.
Tapi seiring berjalannya waktu, dia berusaha menerima kenyataan itu, walau belum bisa berdamai dengan Papanya.
***
Sudah seminggu Papanya meninggalkan dunia ini. Kini Reina tinggal bersama Aiko, hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Rita yang memintanya, agar menemani mama tirinya, karena selama ini, Aiko hanya tinggal berdua dengan Satoshi. Kedua anak kembarnya, tinggal berbeda kota.
Reino tinggal di kota, yang jaraknya satu jam dari rumah orang tuanya, sementara Reiko tinggal bersama suaminya, di pulau yang berbeda.
Beberapa kali, Reina mendapati Aiko menangis, dan dia hanya bisa memeluk mama tirinya, walau sebenarnya ingin rasanya ikut menangis.
Masa cuti habis, Aiko kembali bekerja sebagai guru, salah satu sekolah dasar di sana. Alhasil Reina sendirian di rumah.
Bosan, tentu saja tidak, Reina justru menikmati keheningan, karena dengan begitu dia bisa menulis ribuan kata, pada laptopnya.
Sejak lulus setahun lalu, selain bekerja sebagai buruh pabrik, Reina menyalurkan hobi menulisnya. Dia menjadi penulis di beberapa platform kepenulisan.
Reina tidak berkuliah, tak berminat juga, meskipun Rita, dan kedua kakak kembarnya menawarinya, untuk melanjutkan pendidikannya. Reina beralasan, ingin langsung bekerja dan memiliki uang hasil jerih payahnya sendiri.
Kontrak kerjanya sebagai buruh pabrik, berakhir beberapa Minggu lalu, saat hendak melamar ke pabrik lain, Reino memintanya, untuk datang menjenguk Papa mereka.
Niat hati, hanya dua pekan berada di negara empat musim ini, tapi musibah, membuatnya tertahan lebih lama.
Ponselnya berdering, Mama kandungnya menghubunginya, Reina menutup laptopnya, setelah menyimpan hasil ketikannya.
"Ya Ma,"
"Lagi apa nih anak Mama?"
"Biasa Ma, ngetik. Ada apa Ma?" Reina menuruni tangga, menuju dapur, guna mengisi gelasnya yang kosong.
"Jangan lupa batalkan tiket pesawatnya, jangan sampai hangus, sayang uangnya."
Sebelum berangkat, Reino memesankan tiket pulang-pergi untuknya, hanya selang dua Minggu, sesuai permintaan Reina.
"Udah tadi,"
"Syukur deh, terus gimana keadaan istri Papa mu?"
"Mama Aiko baik, baru tadi pagi mulai berangkat ngajar."
Terdengar dari seberang sana hembusan nafas, "Mama, lega dengarnya, kasihan dia, sendirian. Kamu temani, dan ajak ngobrol kalau di rumah."
"Iya Ma," sahut Reina, "Jadi menurut Mama, kapan aku pulang ke Indo?" tanyanya.
"Kamu kan pengen lihat salju, ya udah sekalian aja, sampai bulan depan, sekalian tahun baruan di sana."
"Apa nggak kelamaan, Ma? Emang Mama nggak apa-apa, aku tinggal lama-lama?"
"Ya berat sih, tapi kan dari kecil kamu pengen banget lihat salju, ya mumpung lagi disitu, sekalian aja, lagian belum tentu kamu kesitu lagi, apalagi Papa udah nggak ada, Ingat Reina, tiket pesawat mahal, apalagi pesawat yang kamu naiki, nggak pake transit."
"Iya juga sih, dua tahun lagi, umurku dua puluh satu tahun, mumpung masih bebas ya, Ma!" Saat ini Reina masih memiliki dua kewarganegaraan.
"Nah itu pinter. Tapi ingat ya, Reina, kalau mau jalan-jalan, jangan sendiri, nunggu istri Papa libur, atau kedua kakak kamu datang, Ngerti kan?"
"Iya Ma, lagian di sini aman kok, aku keluar juga kalau siang doang, itupun cuman ke minimarket."
"Pokoknya, jaga diri aja, ingat disitu ada mafia, jangan sampai kamu ketemu mereka,"
Reina terkikik, "Ma, Jepang itu luas, nggak mungkin juga, ujug-ujug aku ketemu orang kayak gitu,"
"Ya siapa tau kan? Pokoknya hati-hati. Ya udah Mama mau jemput Riki dulu,"
"Emang Riki kemana? Bukannya biasanya pulang jam sepuluh? Ini kan udah jam dua belas Ma,"
"Di sini masih jam sepuluh, Reina, kamu lupa perbedaan waktu?"
Reina memukul dahinya sendiri, dia lupa, jika perbedaan waktu mereka, sekitar dua jam lebih cepat. "Ya udah, tanyain Riki sekalian, mau minta dibawain apa dari sini, entar kakaknya yang paling cantik, beliin."
"Masih lama, entar aja, lagian disitu mahal-mahal, sayang uangnya."
"Aku dikasih uang sama kak Reino kok, jadi tenang aja,"
"Entar Mama tanya ke Riki, udah dulu ya Reina, Mama tutup."
Panggilan berakhir, Reina bernafas lega, walau hanya mendengar suara ibunya, itu sudah cukup mengobati rasa rindunya. Meski terkadang cerewet, tapi Reina tau, Mamanya begitu menyayanginya.
***
Suhu semakin turun, Reina yang memang sedari lahir berada di negara tropis, sempat terkejut, dengan perubahan suhu, yang menurutnya ekstrim.
Meskipun pemanasan selalu menyala didalam rumah, tapi tetap saja rasanya dia belum terbiasa.
Mendekati natal, Reino, dan Reiko beserta suaminya datang, mereka berkumpul, selain untuk menjenguk Aiko, mereka juga memperingati hari kematian Satoshi. Sama seperti di Indonesia, yang biasa di sebut Tahlilan, hanya saya ritualnya berbeda.
Meski berbeda, tapi Reina menghargainya, di lingkungan tempatnya dibesarkan, juga terdapat beberapa agama, dan budaya berbeda. Sehingga dia sudah terbiasa dengan perbedaan.
Sebelum kedua kakaknya kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing, Reina sempat diajak berjalan-jalan, mengunjungi beberapa tempat wisata di kota itu.
kak knp bukam Ryu aja yg ngidam biar tau rasa...
tp yaa sdhlah, Next kak💪🏻💪🏻🥰🥰