Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cobaan di Awal Berumah Tangga
Hidup mandiri dalam berumah tangga itu memang terasa sangat menyenangkan. Rheina sangat bahagia dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ia memiliki suami yang baik dan romantis, orang tua yang sangat menyayanginya dengan sepenuh hati, mertua yang begitu perhatian, dan kakak ipar yang sudah menganggapnya sebagai adik sendiri.
Kebahagiaan wanita cantik tersebut semakin sempurna, saat ia dinyatakan hamil setelah dua bulan menjalani pernikahan. Orang tuanya sampai menangis haru saat mengetahui kabar kehamilannya.
"Rheina jaga calon cucu Mama baik-baik, ya," pesan Marni yang memang sudah sangat ingin menimang cucu.
Ia dulu harus menunggu lama agar bisa hamil. Saat itu, ia sudah hampir putus asa karena sepuluh tahun pernikahannya, Allah masih belum menitipkan janin di rahimnya. Ia sudah lelah ke sana ke mari, mengikuti anjuran orang, hanya sekedar untuk bisa hamil. Sudah cukup banyak biaya yang dikeluarkan untuk itu. Namun, di tengah kepasrahannya, Allah menitipkan janin tersebut di rahimnya, di tahun kesebelas pernikahan mereka. Marni sangat bahagia, dan menjaga kandungannya dengan sangat hati-hati. Di usianya yang ke tiga puluh lima, lahirlah Rheina--bayi yang sangat diharapkan kehadirannya.
"Iya, Ma," jawab Rheina sambil merangkul pinggang wanita yang sangat ia cintai itu.
"Hmm ... bagaimana kalau kalian balik lagi tinggal di sini, agar Rheina tidak kecapekan?" saran Marni.
"Rheina, nggak apa-apa, kok, Ma. Mama jangan khawatir, ya." Rheina berusaha meyakinkan mamanya.
Setelah berdiskusi cukup lama, ditambah dengan janji Adnan yang akan bersungguh-sungguh menjaga Rheina, akhirnya Marni mengalah. Wanita paruh baya tersebut mengizinkan Rheina untuk tetap tinggal di rumah miliknya, tetapi ada beberapa syarat yang diajukannya dan harus disetujui oleh Rheina dan Adnan.
Namun, seminggu setelah dinyatakan hamil, Rheina harus ikhlas mendengar vonis dokter kalau kehamilannya lemah, dan sedikit bermasalah. Ia tidak bisa menerima makanan sedikit pun. Apa pun yang ia makan, pasti akan dikeluarkannya lagi. Oleh sebab itu dokter menganjurkan untuk bedrest, agar kandungannya bisa bertahan.
Agar orang tuanya tidak cemas, Rheina tidak memberi tahu kabar buruk ini. Ia yakin mamanya akan memaksa balik ke rumah, jika tahu kandungannya sedang bermasalah. Ia memahami kondisi suaminya yang tidak begitu nyaman, jika harus tinggal lagi di rumah keluarganya, tetapi hal inilah yang akhirnya menjadi masalah dalam rumah tangga mereka yang baru seumur jagung.
Adnan yang pada dasarnya anak manja, tidak sanggup mengurus Rheina. Jangankan untuk melayani keperluannya, untuk mengambil nasi kepiringnya saja laki-laki tersebut tidak mau. Selama ini Rheina selalu malayani segala keperluan suaminya itu dengan sabar. Namun, saat ini kondisinya sudah berbeda. Rheina yang tengah hamil, sangat membutuhkan seseorang untuk membantu segala keperluannya.
"Sayang, aku lemas banget. Boleh tolong ambilin minum, ya," pinta Rheina yang saat itu terlogek lemah di tempat tidur. Sejak pagi, ia sudah beberapa kali muntah dan mengeluarkan semua makanan yang ia makan sebelumnya.
"Manja amat, sih, Yang. Kak Dina aja yang udah punya anak dua, waktu hamil nggak gini amat," ujar laki-laki tersebut dengan nada tinggi.
Hati Rheina sangat sakit mendengar ucapan Adnan barusan. Sejak Rheina hamil dan sering muntah-muntah, laki-laki yang ia perjuangkan untuk menjadi pendamping hidupnya itu, terlihat menjauhinya. Namun, untuk menghindari pertengkaran, Rheian memilih bangun dari tempat tidur dan berjalan perlahan ke dapur untuk mengambil air minum sendiri. Air mata jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya.
Bahkan yang membuat ia merasa lebih sakit adalah saat ia menangkap kekesalan dari wajah Adnan, melihat ia menangis. Sepertinya laki-laki bertubuh atletis itu berpikir, kalau Rheina cuma pura-pura.
Sejak kejadian itu, Rheina mendiamkan Adnan, dan selama itu pula, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah maminya. Sedangkan Rheina, terpaksa mengurus segala keperluannya sendiri, walaupun saat itu ia sedang dalam kondisi yang sangat lemah.
--
Rheina membuka matanya perlahan, ia heran karena ruangan tempat ia terbaring saat ini sangat asing untuknya. Ia mencoba berpikir, kenapa ia bisa berada di rumah sakit ini? Siapa yang telah membawanya ke sini? Diedarkannya pandangan ke sekeliling kamar tersebut. Tampak mamanya sedang duduk di atas kursi yang tidak jauh dari ranjangnya.
"Ma ...." panggilnya pelan.
Lamunan Marni langsung buyar mendengar Rheina memanggilnya. Wanita paruh baya tersebut menyulut air mata yang jatuh perlahan di sudut matanya yang sudah memiliki beberapa kerutan.
"Pa, Rheina sudah sadar," pekiknya senang.
Papanya dan Adnan yang tadi duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan tersebut, berjalan mendekat ke arah ranjang tempat Rheina tergolek lemah.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Haris-papanya khawatir.
Rheina berusaha untuk mengingat kejadian terakhir, sebelum ia bisa berada di rumah sakit ini.
"Rheina, tadi mau mengambil nasi ke dapur, Ma, Pa. Badan Rheina terasa lemah sekali dan kepala Rheina pusing. Baru beberapa langkah berjalan, Rheina jatuh karena kaki Rheina terasa sangat lemas. Setelah itu Rheina tidak ingat apa-apa lagi," jawabnya pelan. Ia tadi merasa sangat lapar karena sejak pagi ia selalu memuntahkan semua makanan yang ia konsumsi. Namun, badannya terasa sangat lemah untuk sekadar berjalan ke dapur.
"Kenapa kamu yang mengambil nasi sendiri? Adnan kemana? Kejadiannya, kan, sudah malam?" tanya Ramli dengan nada tinggi.
Sejak tadi ia mencoba menanyakan hal yang terjadi pada Rheina pada laki-laki yang saat ini menjadi suami putri semata wayangnya itu, tetapi Adnan tidak bisa menjawab. Ia beranggapan kalau menantunya itu sedang panik dan tidak sanggup menjelaskan apa pun juga. Makanya Ramli memilih diam dan menunggu Rheina sadar.
Rheina hanya diam. Ia dapat melihat wajah Adnan yang tampak pucat mendengar pertanyaan papanya. Laki-laki itu selalu pulang larut malam, sejak kejadian Rheina meminta tolong mengambilkan air minum beberapa hari yang lalu. Sesampai di rumah, ia segera tidur dan paginya langsung berangkat lagi ke toko. Tidak sedikit pun ia menanyakan keadaan Rheina dan bayi mereka.
"Jawab, Adnan!" Pak Haris tampak sangat emosi.
"Adnan tadi lagi ada kerjaan di toko, Pa," sahutnya pelan.
"Sejak kapan toko kamu buka sampai tengah malam, ha?" hardik Haris lagi.
Adnan hanya diam, ia menunduk dan tidak berani menatap wajah mertuanya itu. Ia menyesal telah menelantarkan Rheina. Semua karena ia menuruti ucapan maminya yang mengatakan kalau wanita yang lagi hamil itu banyak maunya. Maminya juga melarang mengikuti semua kemauan istrinya karena itu cuma akal-akalan untuk minta diperhatikan.
Namun, malam itu, saat sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam, ia tidak menemukan istrinya di kamar. Adnan yang saat itu memang sedang diam-diaman dengan Rheina mulai khawatir Rheina pulang ke rumah orang tuanya. Dengan amarah yang mulai memuncak karena Rheina pergi tanpa pamit, ia mencoba mencari di dalam rumah terlebih dahulu. Alangkah kagetnya ia, saat melihat Rheina terbaring tidak sadarkan diri di dapur. Dengan kondisi panik, ia membawa Rheina ke rumah sakit dan menelepon orang tua Rheina.
"Sepertinya kamu tidak bisa mengurus putri saya dengan baik. Sebaiknya setelah pulang dari rumah sakit ini, Rheina kami bawa balik ke rumah." Marni pun terlihat mulai emosi melihat Adnan hanya diam.
"Jangan, Ma. Jangan pisahkan Rheina dari Adnan," mohonnya. Laki-laki yang biasanya terlihat sangat bersahaja tersebut, mulai meneteskan air mata. Ia tidak sanggup membayangkan, jika harus berpisah dari Rheina--wanita yang sangat ia cintai.
"Saya tidak rela, putri semata wayang saya kamu sia-siakan," lanjut mamanya, masih terdengar berang.
"Adnan janji, hal ini tidak terulang lagi, Ma," mohon Adnan penuh harap.
"Kasih Adnan kesempatan lagi, ya, Ma," pinta Rheina tiba-tiba. Ia tidak tega melihat wajah memelas suaminya. Ia berharap, setelah kejadian ini Adnan bisa berubah.
"Baiklah, tapi mulai besok, Bi Ijah akan tinggal bersama kalian." Marni kembali mengalah. Rheina menghela napas lega, mendengar keputusan mamanya. Semoga Adnan Bersungguh-sungguh dengan janjinya untuk berubah.