Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Pesan
Bertahun-tahun berlalu, aku saat ini duduk di bangku SMA. Aku masih ingat dengan sangat jelas, saat itu aku duduk di bangku SMA kelas satu. Waktu itu, liburan semester datang, Ringa dan orangtuanya datang ke kotaku, mereka berlibur ke kotaku.
Saat tahu Ringa akan datang, aku menunggunya dengan sangat bersemangat. Aku menyiapkan perlengkapan berkebun, karena aku akan mengajak Ringa ke kebun apel milik keluargaku.
Ringa akhirnya datang, saat ini dia sudah hampir lulus SD. Ketika Ringa turun dari mobil, hangat senyumannya sangat cantik, dia sudah tak terlihat seperti anak kecil lagi. Dia terlihat lebih dewasa, walaupun tetap saja terhitung dari usianya, dia masih anak-anak.
"Ringa!" panggilku ketika dia turun dari mobil.
"Abang Ryu, udah lama gak ketemu, abang sehat?" tanyanya.
"Sehat, aku mau ngajak kamu ke kebun apel nanti? Mau?" tanyaku.
"Mau, tapi Ringa laper," jawabnya sambil memegang perutnya.
"Yaudah kita makan dulu."
Kami segera masuk ke rumah dan bergabung dengan keluargaku yang sudah menyiapkan makan siang. Selama makan, Ringa bercerita tentang sekolahnya dan berbagai kegiatan yang dia ikuti. Aku merasa senang mendengar cerita-ceritanya, dia tampak begitu antusias dan ceria.
Setelah makan siang, kami memutuskan untuk pergi ke kebun apel. Aku membawa tas yang berisi perlengkapan berkebun, dan Ringa terlihat sangat bersemangat. Kami berjalan bersama menuju kebun yang tidak terlalu jauh dari rumah. Selama perjalanan, kami berbincang-bincang dan mengenang masa-masa liburan sebelumnya.
"Abang Ryu, ingat gak waktu kita pertama kali kita makan apel bareng?" tanya Ringa.
"Ingat banget. Waktu itu kamu masih kecil banget, dan kita beli apel di depan gang rumah kamu," jawabku sambil tersenyum.
"Iya, aku juga ingat. Rasanya baru kemarin kita beli apel bareng di toko buah, eh ini udah mau ke kebunnya aja," kata Ringa dengan mata yang berbinar-binar.
"Hehe, iya."
Kami pun segera menuju kebun apel, sesampainya di kebun apel, kami langsung mulai bekerja. Aku mengajarkan Ringa cara merawat pohon apel dengan benar, mulai dari memangkas ranting hingga memetik buah yang sudah matang. Ringa belajar dengan cepat dan tampak sangat menikmatinya.
"Abang, ini gimana caranya?" tanya Ringa sambil menunjuk ke arah ranting yang sulit dijangkau.
"Biarkan abang yang urus, kamu perhatikan aja ya," jawabku sambil menunjukkan cara yang benar.
Setelah selesai berkebun, kami duduk di bawah pohon apel, menikmati angin sepoi-sepoi yang sejuk. Aku mengeluarkan beberapa apel yang sudah dipetik dan membaginya dengan Ringa. Rasanya manis dan segar, membuat kami merasa puas dengan hasil kerja kami.
"Enak banget ya apelnya," kata Ringa sambil menggigit apel.
"Iya, ini salah satu yang terbaik dari kebun kita," jawabku sambil tersenyum.
Kami terus berbincang-bincang, mengenang masa lalu dan berbagi cerita tentang masa kini. Aku merasa sangat nyaman berada di dekat Ringa, ada perasaan hangat yang selalu muncul ketika kami bersama. Waktu berlalu begitu cepat, dan tanpa disadari matahari mulai terbenam.
"Ringa, sudah sore. Kita harus balik ke rumah," kataku.
"Iya, abang. Ayo kita pulang," jawab Ringa sambil mengangguk.
Kami berjalan kembali ke rumah, menikmati suasana sore yang tenang. Sesampainya di rumah, Ringa langsung bercerita kepada orangtuanya tentang kegiatan kami di kebun apel. Mereka tampak senang mendengar cerita Ringa dan memuji hasil kerja kami.
Hari-hari berikutnya, kami terus menghabiskan waktu bersama. Kami pergi ke tempat-tempat wisata di kotaku, mencoba berbagai makanan lokal, dan tentu saja, sering kembali ke kebun apel. Aku merasa semakin dekat dengan Ringa, dan perasaan yang dulu hanya sekadar sebagai saudara mulai berubah.
Suatu malam, setelah makan malam, kami duduk di teras depan rumah, menikmati malam yang tenang. Ringa tampak lebih diam dari biasanya, dan aku merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
"Ada apa, Ringa? Kamu kok kelihatan diam aja malam ini," tanyaku dengan lembut.
"Abang Ryu, aku mau bilang sesuatu," jawabnya dengan suara pelan.
"Apa itu? Bilang aja, abang dengerin kok," kataku sambil menatapnya.
"Aku... aku senang banget bisa liburan di sini sama abang. Rasanya kayak pulang ke rumah kedua," kata Ringa dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku juga senang, Ringa. Kamu selalu membawa kebahagiaan ke sini," jawabku dengan tulus.
"Abang, aku mau tanya. Apa abang masih suka apel?" tanyanya tiba-tiba.
"Tentu aja, apel itu buah favorit abang. Kenapa nanya gitu?" tanyaku dengan sedikit bingung.
"Aku juga suka abang," jawabnya dengan jujur.
"Eeeeh, maksudnya?" aku mulai panik ketika Ringa mengungkapkan isi hatinya.
"Kan abang suka apel, berarti abang suka Ringa," katanya.
Aku terdiam sejenak, merasa terharu mendengar kata-katanya. Ringa, yang dulu hanya seorang gadis kecil, kini telah tumbuh menjadi seseorang yang sangat berarti bagiku. Perasaanku padanya semakin jelas, bukan lagi sekadar perasaan sebagai kakak-adik.
"Ringa, abang juga mau bilang sesuatu," kataku dengan hati-hati.
"Apa itu, abang?" tanyanya dengan mata yang penuh harap.
"Abang juga merasa hal yang sama. Kamu selalu membuat abang bahagia, dan abang merasa sangat beruntung bisa ketemu kamu di hidup abang. Abang ingin kita selalu bersama, apapun yang terjadi, saat kamu besar, abang berniat mau nikahin kamu," jawabku dengan penuh keyakinan.
Ringa tersenyum, dan matanya bersinar dengan kebahagiaan. Kami duduk berdampingan, merasakan kehangatan yang luar biasa. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, aku merasa bahwa cinta kami akan selalu tumbuh dan berkembang, seperti pohon apel di kebun kami.
Liburan itu menjadi momen yang tak terlupakan. Ketika liburan berakhir, Ringa dan keluarganya harus kembali ke kota industri. Namun, kami berjanji untuk selalu tetap berhubungan dan saling mendukung. Kami sering berkirim pesan dan menelepon, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari.
Hingga suatu hari, aku mendapatkan pesan dari Ringa, tapi isi dari pesan itu benar-benar berbeda dari ekspektasiku.
[Kalian masih kecil, kalian juga saudara! Jauhin Ringa sekarang, mulai dari sekarang, jangan deketin Ringa lagi, ini mamanya.]
Aku terdiam sejenak, membaca pesan itu berulang kali untuk memastikan bahwa aku tidak salah paham. Hati rasanya seperti dihantam palu besar, hancur berkeping-keping. Pesan dari mama Ringa benar-benar menghantamku dengan keras. Aku mencoba memahami maksud dari pesan itu, namun kebingungan dan kekecewaan melingkupi pikiranku.
Aku segera mencoba menghubungi Ringa, tapi panggilan teleponku tidak dijawab. Aku kirim pesan, namun tidak ada balasan. Ketidakpastian semakin membuatku gelisah. Aku tahu betul bahwa hubungan kami selalu dijalani dengan penuh rasa cinta dan penghormatan, tanpa ada niat buruk atau melanggar batas moral.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Aku terus mencoba menghubungi Ringa, namun semua usahaku sia-sia.
Aku terus menghubungi Ringa dengan perasaan campur aduk. Akhirnya teleponku di angkat, tapi ini bukan suara Ringa. Ayah Ringa yang mengangkat telepon. Suaranya tampak serius, tidak seperti biasanya.
"Paman, saya ingin bicara," kataku dengan suara gemetar.
"Ryu. Saya juga mau bicara," kata ayah Ringa singkat.
Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Tak lama kemudian, mama Ringa yang berbicara dari balik telepon.
"Ryu, ada yang perlu kita bicarakan," mulai mama Ringa dengan nada serius.
"Saya menerima pesan dari mama yang mengatakan bahwa saya harus menjauh dari Ringa. Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," tanyaku dengan penuh harap.
"Kami tahu bahwa kamu dan Ringa sangat dekat, bahkan mungkin lebih dari sekadar saudara sepupu. Kami khawatir hubungan ini akan membawa masalah di kemudian hari. Kalian masih muda, dan kita adalah keluarga. Kami tidak ingin ada kesalahpahaman atau konflik di masa depan," jelas mama Ringa dengan tegas.
"Tapi tante, kami tidak pernah bermaksud untuk menyakiti atau membuat masalah. Kami hanya saling mencintai dan ingin bersama," jawabku dengan penuh perasaan.
"Kami mengerti perasaanmu, Ryu. Tapi ini demi kebaikan kalian berdua. Kalian perlu fokus pada masa depan kalian masing-masing. Jarak mungkin akan membantu kalian melihat situasi ini dengan lebih jernih," kata ayah Ringa dengan suara yang lebih tenang dari balik telepon.
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata mereka. Rasanya seperti ada dinding besar yang menghalangi cintaku pada Ringa. Aku tahu niat mereka baik, namun hati ini tetap saja tidak bisa menerima.
Akhirnya, dengan berat hati, aku memutuskan untuk menerima permintaan mereka. Aku tidak ingin membuat situasi menjadi lebih sulit bagi Ringa dan keluarganya. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap mencintainya, meski harus menjalani hidup tanpa kehadirannya di sisiku.
Hari-hari berikutnya terasa hampa. Aku fokus pada studiku dan mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa sakit kehilangan Ringa. Namun, setiap kali melihat pohon apel atau merasakan aroma segarnya, kenangan indah bersama Ringa selalu kembali.
Aku tahu bahwa waktu akan membantu menyembuhkan luka ini, namun cinta kami tetap abadi dalam hati. Mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kami kembali, di bawah pohon apel yang selalu menjadi saksi bisu cinta kami. Hingga saat itu tiba, aku akan terus menjalani hidup dengan harapan dan cinta yang tersimpan rapi di sudut hati.