Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikhlas
Satu Minggu sudah dokter Hendra mencari Seira disela-sela kesibukannya sebagai pelayan masyarakat. Selama itu juga ia tak menemui Zafran, baik di rumah ataupun langsung ke gudang berasnya. Terlalu enggan bersitatap dengan laki-laki pecundang itu.
Beberapa hari yang lalu, ia bahkan mendengar kabar tentang rencana pernikahan Zafran dengan gadis selingkuhannya. Tak acuh, dokter Hendra bahkan enggan mendatangi rumahnya lagi meskipun diminta secara langsung.
"Ah, sial! Kemana lagi aku harus cari Sei? Seluruh tempat udah aku datangi, tapi nggak ketemu juga. Ya Allah ... di mana Seira? Dia sendirian di kota ini," umpat laki-laki berkacamata tebal itu seraya membenturkan kepala pada kemudi yang dipegangnya.
Sore itu, lembayung senja memayungi bumi. Di sebuah taman yang dulu sering didatangi Seira, Hendra menepi tepat di depan sebuah pohon dengan danau buatan di bawahnya. Di sanalah Seira seringkali duduk sambil memberi makan ikan-ikan hias yang sengaja ditabur di dalamnya.
Matanya sendu, menatap sedih pada sebuah batu besar yang sering dijadikan tempat duduk oleh gadis itu. Jantungnya berdenyut nyeri, dikala gadis pujaan menolak cinta yang disuguhkannya tepat di bawah pohon tersebut.
Katanya, "Maaf, Mas, tapi aku cinta sama Mas Zafran. Dia juga udah datangin Ibu dan melamar aku. Maaf. Ibu juga udah nerima lamaran Mas Zafran dan bulan depan kami akan menikah."
Setetes air jatuh kala mengingat kalimat penolakan yang merdu lagi syahdu itu. Waktu itu, Hendra melihat pancaran kebahagiaan di matanya. Mencoba yakin bahwa gadis pujaan akan bahagia bersama pilihannya. Ia tersenyum dalam kepahitan, menerima meski hati ingin memaksa.
Memang benar, Hendra sempat merasakan kebahagiaan mereka meskipun setelah lima tahun pernikahan Seira belum juga hamil. Setidaknya sebelum badai itu datang dan Seira menghilang bak ditelan bumi.
Hendra yang tengah larut dalam kenangan masa lalu, dibuyarkan oleh getar ponsel di sakunya. Panggilan dari rumah sakit, pastilah keadaan mendesak dan darurat. Ia lekas mengangkatnya dan mendengarkan.
"Dokter, ada pasien darurat dan membutuhkan penanganan khusus. Segeralah ke rumah sakit, Dokter!"
Hendra tidak menyahut, ia mematikan ponsel dan menjalankan mobilnya meninggalkan taman penuh kenangan itu. Bagaimanapun, panggilan itu adalah sebuah tanggung jawab untuknya.
Tak lama setelah mobil Hendra pergi, dua wanita berbeda usia muncul. Langkah mereka beriringan, dan salah satunya duduk di atas batu tempat biasa ia menikmati senja hari.
"Udah lama aku nggak dateng ke sini, nggak kerasa ikan-ikannya udah pada gede," celetuk wanita yang mengenakan daster dengan motif bunga mawar sambil memainkan air danau yang terasa sejuk. Sesekali akan menyelipkan anak-anak rambut yang nakal ke belakang telinga.
"Itu karena Non terlalu sibuk mengurus rumah, sampe-sampe nggak ada waktu buat main," sahut wanita lainnya yang lebih tua.
Wanita itu tersenyum mengingat semua kenangan yang pernah dilalui di danau tersebut. Ada satu kenangan yang masih melekat dalam ingatan hingga saat ini, dan seringkali membuatnya bingung sendiri.
"Dulu, mas Hendra melamar aku di danau ini, tapi aku menolak karena cinta sama Mas Zafran. Bukan ... bukan aku menyesal karena memilih Mas Zafran, tapi aku cuma heran aja. Kenapa sampe sekarang Mas Hendra belum juga nikah, ya, Bi? Padahal, umurnya udah lebih dari cukup," ucapnya sembari menghela napas berat.
Bi Sari melangkah, berdiri di sisinya. Ia menjatuhkan pandangan pada sekelompok ikan yang saling berebut roti dari Seira.
"Yah, mungkin belum ada jodohnya, Non. Orang baik kayak Dokter Hendra pasti dapat perempuan yang baik juga. Mudah-mudahan Non juga dapat pengganti yang lebih baik lagi dari Tuan," ujar Bi Sari sambil melempar lirikan pada majikan yang mengulas senyum manis.
"Bibi bener, Mas Hendra emang baik. Sama kayak Mas Zafran dulu, makanya waktu itu aku yakin menikah sama dia. Ya, kalo sekarang Mas Zafran berubah, bukan berarti dia nggak baik. Cuma mungkin aku yang harus introspeksi diri buat ke depannya. Belajar dari setiap kejadian, supaya kesalahan yang pernah aku lakukan nggak terulang lagi," ucapnya sambil terus menyemat senyum di bibir.
Bi Sari menggelengkan kepala, rasa di hatinya mengharu-biru. Sungguh ia bersyukur mendapat majikan yang baik hati seperti Seira.
"Non emang hebat, hati Non nggak pernah dendam sama siapa pun. Bibi rasanya malu, sempat mengutuk Tuan di hati. Maafin Bibi, Non," ungkap Bi Sari sembari berjongkok di samping Seira duduk.
Wanita lembut itu menundukkan pandangan, tangannya dengan lembut menyentuh kedua bahu Bi Sari seraya memintanya untuk bangun.
"Kita nggak seharusnya menyimpan dendam, yang udah terjadi emang itu yang harus kita jalanin. Nggak perlu menyesal karena kita nggak pernah tahu cerita apa yang menunggu kita di depan nanti," tuturnya benar-benar membuat hati Bi Sari sadar sesadar-sadarnya.
Helaan napas lembut terhembus dari arahnya, sambil menengadah ia berkata, "Udah mau Maghrib, Bi. Kita pulang, yuk!"
Ia menurunkan pandangan, tersenyum pada wanita paruh baya yang tak lepas dari menatapnya itu. Bi Sari mengangguk patuh, dan membantu Seira berdiri. Dengan penuh kehati-hatian, keduanya meninggalkan taman yang dipenuhi dengan kenangan itu.
Sementara di rumah Zafran, keadaan dipenuhi sanak saudara, baik yang jauh maupun yang dekat. Kesibukan terlihat jelas di rumah besar itu menghadapi acara pernikahan kedua Zafran dengan Lita bahkan keluarga mempelai wanita pun turut hadir membantu kelancaran acara tersebut.
"Kamu hebat banget, Lita. Bisa dapet suami kaya kayak begini, Ibu bangga sama kamu," ujar wanita paruh baya dengan wajah sumringah lantaran senang bisa berbesan dengan orang kaya.
"Iya, Bapak jadi nggak perlu susah-susah kerja bangunan lagi. Tinggal minta duit aja sama kamu, masa kamu nggak mau kasih orang tua," sahut suara laki-laki dengan rambutnya yang beruban. Riak wajahnya tak jauh beda dengan si wanita tadi.
"Iya, udah, Bapak sama Ibu tenang aja. Nanti aku kirimin uang tiap bulan, tapi jangan boros-boros, ya. Aku nggak enak soalnya sama Mas Zafran," ucap Lita menatap pantulan kedua orang tuanya di dalam cermin.
"Iya, iya, kamu tenang aja. Ibu sama Bapak nggak bakal boros, kok. Yang penting, kita ini nggak usah capek-capek kerja. Udah tua," jawab sang Ibu sumringah.
Keduanya memeluk Lita, anak kesayangan sekaligus kebanggan mereka berdua.
"Tapi, aku jadi mikirin nasib Sei. Gimana, ya? Dia, kan, udah nggak punya siapa-siapa di sini. Rumahnya juga udah dijual, sekarang dia di mana coba?" racau Lita seolah-olah peduli pada nasib mantan sahabatnya.
Ibu dan Bapaknya menjauhkan diri dari tubuh Lita, menatap tak suka pada wajah sendu sang anak di cermin.
"Halah, udah biarin aja. Ngapain juga kamu mikirin perempuan yang nggak bisa hamil itu. Pikirin aja diri kamu sendiri sama anak yang ada di dalam kandungan kamu. Biar sehat terus, supaya kamu juga bisa dapat warisan yang banyak dari suami kamu," balas sang Ibu setengah berbisik di telinga Lita.
Senyum jahat tercetak jelas di wajah cantik Lita, kedua mata memicing tajam, dalam hati bertekad akan menuruti semua ucapan sang Ibu.
"Kamu harus banyak istirahat, besok akad nikah kamu. Jangan sampe kelihatan loyo akibat kurang tidur. Ibu sama Bapak juga mau turun ke kamar tamu, tidur yang nyenyak, ya." Ia mengusap bahu Lita sambil tersenyum.
Keduanya meninggalkan kamar sang anak yang sebenarnya masih berada di deretan kamar tamu. Berbaur dengan memasang wajah ramah di hadapan semua orang.