Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Wina saat melihat Nada hendak duduk bergabung untuk sarapan.
"Iya Buk, Nada mau berangkat kerja," katanya sembari duduk setelah Pandu membantu menarikkan kursinya untuk Nada.
Wina berdesis melihat putranya begitu perhatian kepada menantunya. Perlakuan manis Pandu kepada Nada disalahartikan. Justru Wina mengangap anaknya itu lemah karena mau disuruh-suruh oleh menantunya.
"Kamu dandan cantik seperti itu mau menggaet siapa?" cibir Wina sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.
Nada menoleh ke arah Pandu, tapi sang suami pura-pura tidak melihat. Dia lebih asyik dengan sarapannya.
"Nada kan dari dulu dandan seperti ini, Buk." Nada membela diri sendiri setelah tidak mendapatkan pembelaan.
"Itu kan dulu sebelum kamu menikah, kamu sengaja mau menggoda laki-laki lain?" tuduh wanita paruh baya itu kepada Nada.
"Astaghfirullah, Buk, kenapa ibu bisa berpikiran seperti itu?" Nada menggelengkan kepalanya pelan.
Dia tidak menyangka ibu mertuanya berpikiran jelek tentangnya. Padahal selama ini dia kerja tidak pernah macam-macam.
"Ya, siapa tahu," katanya dengan memainkan bola matanya. "Perempuan yang sudah menikah itu baiknya di rumah. Merawat anak dan suami tak perlu kerja," cibirnya.
Dia tidak suka melihat menantunya bekerja, ia lebih senang dengan menantun yang menuruti semua kemauan dirinya.
"Memangnya gaji suamimu kurang? Atau kau sengaja ingin lebih unggul dari suamimu?" cibirnya Wina. Dia terus mendesak menantunya itu.
Nada beranjak dari kursinya, dia langsung pergi tanpa pamit kepada suami dan mertuanya.
"Dikasih tahu malah kabur, lihat itu istrimu!" kesal Wina merasa tidak dihargai oleh menantunya.
Pandu menghembuskan napas kasar, dia menaruh sendok. "Buk, jangan terus mengomel. Nada memang selalu dandan seperti itu."
"Pandu, kamu jangan mau kalah sama perempuan. Kalau Nada terus dandan seperti itu, uangmu akan habis buat make upnya," cerocos Wina tidak mau kalah.
Ketentraman rumah Nada mulai menghilang dengan kedatangan ibu mertuanya.
"Kamu harus tahu pengeluaran apa saja dari istrimu, jangan mau dirugikan," ujar ibunya kembali.
Pandu beranjak meninggalkan meja makan menyusul Nada.
"Nada, tunggu." Pandu mengetuk-ketuk kaca mobil yang ditumpangi Nada.
"Ada apa? Aku sudah buru-buru Mas," kata Nada sembari menurunkan kaca mobilnya.
"Maafkan ibu, dia tidak bermaksud seperti itu," kata Pandu, dia merasa bersalah kepada sang istri karena perkataan ibunya yang menyakitinya.
Nada mematikan mesin mobil, lalu keluar. "Iya, mungkin ibu belum terbiasa dengan penampilanku saat kerja."
Nada masih berpikir positif tentang ibunya yang terus nyinyir kepadanya. Dia masih berusaha menjadikan ibu mertuanya seperti ibu kandungnya.
"Kamu jangan ambil hati omongan ibu, tapi omongan ibu jangan diabaikan juga. Kamu tidak boleh merayu laki-laki," katanya dengan mengusap kepala Nada.
Nada orang yang ramah, temannya tak hanya perempuan. Sehingga Pandu menjadi was-was, takut istrinya tergoda kepada lelaki yang lebih kaya daripada dirinya.
"Iya aku mengerti batasanya, aku berangkat dahulu," katanya kembali masuk ke mobilnya.
...----------------...
Sepulang kerja Nada tidak langsung pulang ke rumah, dia memilih untuk mampir ke rumah orang tuanya.
"Assalamualaikum," sapa Nada sembari berjalan menuju ibunya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Waalaikumsalam, Nada, tumben sore-sore ke sini sama siapa?" tanya Ranti ibunya.
"Sendiri Buk, mampir aja dari kantor," katanya sembari mencium punggung tangan ibunya.
Nada malas cepat-cepat pulang ke rumah karena ada ibu mertuanya. Rumah yang adem ayem berubah menjadi panas.
Nada tidur di pangkuan ibunya, setelah menikah dia jarang datang ke rumah. Dia sibuk dengan pekerjaan dan suaminya.
"Kamu ada masalah?" tanya Ranti sembari mengelus kepala Nada.
"Tidak Buk, aku hanya kangen saja sama ibu," katanya sembari memejamkan matanya. Nada hanya ingin terlelap dengan tenang saja dipangkuan ibunya.
Ranti menatap putrinya lekat, insting seorang ibu jarang meleset. Dia merasa saat ini putrinya sedang ada masalah. Namun, sebagai orang tua dia tidak mau bertanya lebih banyak jika putrinya tidak menceritakannya.
Sudah hampir satu jam Nada terlelap di pangkuan ibunya, ia menggeliat pelan-pelan membuka matanya.
Ranti tersenyum, "Kamu mau pulang atau tidak?" tanya Ranti.
Ranti mengatakan jika dia ingin menginap segera menghubungi suaminya.
"Pulang Buk," jawabnya sembari duduk.
Kalau dia tidak pulang pasti ibu mertuanya akan mengatakan hal yang tidak-tidak.
Nada mencium tangan Ranti saat hendak pulang, Ranti mengusap kepala Nada.
"Jika ada masalah sama suamimu, obrolkan baik-baik ya," kata perempuan tua berparas manis.
Nada mengangkat kepalanya, ia keget ibunya mendadak mengatakan hal seperti itu.
"Aku sama Mas Pandu baik-baik saja kok," kayanya dengan senyuman hambar.
"Syukurlah kalau baik-baik saja," kata Ranti dengan mengusap punggung anaknya.
Dia mengantar Nada sampai ke mobil, rasanya kali ini dia berat melepas putrinya pulang ke rumahnya.
"Kamu hati-hati ya," ucap ibunya sembari melambaikan tangan.
"Ibu jangan jaga kesehatan, ya," pesan Nada sembari menjalankan mobilnya.
Sepanjang perjalanan ke rumah Nada terus berpikir, dari mana ibunya tahu kalau dia sedang bermasalah dengan suaminya.
Dia bahkan belum bercerita kepada siap pun, dia masih menyimpan masalah keluarga kecilnya.
"Assalamualaikum," sapa Nada saat memasuki rumahnya.
Tak ada jawaban dari salam Nada, dia langsung berjalan menuju ke kamarnya. Dia pikir suaminya belum pulang bekerja.
"Bagus, ya, jam segini baru pulang," kata Wina sembari berkacak pinggang.
"Biasanya juga pulang jam segini Buk, " ucapnya pelan, ia sudah sangat capek jika harus berdebat dengan ibu mertuanya.
"Makanya jangan dibiasakan, kamu sekarang sudah punya suami. Urusi dia, nanti ada orang lain yang mengurus kamu marah," cibirnya dengan menarik salah satu ujung bibirnya.
"Maksud ibu apa?!" Kedua mata Nada melebar mendengar ucapan mertuanya.
"Tidak perlu kau bersuara keras, kenyataanya kau tidak bisa mengurus suamimu!" Wina melotot ke arah Nada.
Nada meninggalkan ibu mertuanya yang terus bicara melantur.
"Ada apa? Kok pulang-pulang kerja manyun?" tanya Pandu yang baru selesai salat magrib.
Nada mendengus lalu duduk di tepi ranjang, "Ibu, ngomong aneh-aneh terus sama aku."
Wajah Nada terlihat capek, ia merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya.
"Aneh-aneh bagaimana?" tanya Pandu naik ke ranjang di sebelah Nada. Ia memijat kaki istrinya karena tampak lesu.
"Ibu bilang kalau kamu akan diurus orang lain, kalau aku bekerja," ujaranya dengan dengusan keras.
"Maksud ibu bukan seperti itu, mungkin ibu mau, kamu lebih banyak di rumah. Kandungan mau juga sudah besar," kata Pandu sembari mengusap perut Nada yang sudah membesar. Hanya beberapa bulan lagi akan lahiran.
Nada menepis tangan Pandu, dan berlalu pergi "Kamu selalu saja membela ibumu, ibumu, ibumu, capek aku."