NovelToon NovelToon
Queen Of Melody

Queen Of Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Fiore

Luna selalu tidak percaya diri jika tampil di depan banyak orang, padahal ia memiliki suara indah. Cita-cita Luna sebenarnya ingin menjadi seorang penyanyi tetapi ditentang oleh orang tuanya. Suatu hari Luna mendapatkan tawaran kerja menjadi seorang penyanyi oleh temannya, Mona. Namun, tempat kerja itu merupakan tempat terlarang. Hingga akhirnya ia kabur dari tempat kerja itu, dan bertemu dengan sahabatnya, Adi. Rasa jatuh cinta Luna kepada Adi itu semakin nyata, namun ia tak bisa mengungkapkannya. Adi dan Hani yang merupakan sahabat Luna menyarankan untuk mendaftar audisi menyanyi. Luna pun diterima di audisi itu, dengan perjuangan dan pengorbanannya selama di karantina, Luna berhasil menjadi juara 1 di audisi menyanyi itu, hingga akhirnya kedua orang tua Luna menyadari kalau mereka telah mementingkan egonya bukan masa depan Luna. Cita-cita Luna menjadi seorang penyanyi terkenal akhirnya tercapai dan ternyata Adi juga memiliki rasa terhadapnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fiore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mendaki Gunung Harapan

Keesokan harinya aku dan Hani telah siap untuk berangkat ke gunung Harapan itu. Tidak banyak peralatan yang aku bawa, hanya satu tas kamping saja yang berisikan sebuah baju ganti beserta makanan dan minumannya. Kami berdua menghampiri Adi ke rumahnya.

Di teras rumahnya Adi terlihat sedang mengecek mobil bapaknya yang akan digunakan sebagai kendaraan kami untuk berangkat ke gunung Harapan.

“Kalian sudah siap?”, tanya Adi setelah selesai mengecek mobil.

“Sudahhhh!!”, jawabku dan Hani serentak, kami berdua sudah tidak sabar untuk berangkat ke gunung Harapan.

Adi lalu memasukkan tas-tas kami ke dalam bagasi mobilnya. Aku melihat bapaknya Adi sedang berdiri di depan rumahnya.

“Om, kami pinjam mobilnya ya”, kataku mencoba meminta ijin kepadanya.

“Iya, pakai saja. Bilang kepada Adi kalau menyetir mobil jangan ngebut-ngebut”, balasnya.

“Terimakasih, Om”, aku pun merasa senang.

“Cepat kalian masuk ke mobil”, perintah Adi yang sudah siap duduk dibalik kemudinya.

Aku dan Hani pun segera masuk ke mobil itu, kami berdua memilih duduk di belakang.

“Kenapa tidak ada yang menemaniku duduk di depan?”, tanya Adi mengernyitkan dahinya dan menolehkan kepalanya ke arah aku dan Hani yang duduk di kursi belakang.

“Aku tidak suka duduk di depan”, jawab Hani, aku ikut menganggukkan kepala dan tertawa.

“Benar-benar ya kalian,, aku jadi seperti pak sopir”, keluh Adi. Aku dan Hani terus tertawa di kursi belakang.

Waktu perjalanan untuk menempuh perjalanan dari rumah ke gunung Harapan itu kira-kira sekitar 4 jam. Adi menjalankan mobilnya dengan santai dan tidak terburu-buru.

“Na... Lunaa...”, terdengar suara Adi yang memanggil namaku.

“Eh, iya”, jawabku saat tersadar dari lamunan.

“Ada apa, Na?”, tanya Adi yang melirikkan matanya sesekali ke arah ku lewat kaca spion yang berada di dalam mobil. Adi seperti mengetahuiku kalau aku sedang ada masalah.

“Tidak ada apa-apa kok”, jawabku mencoba menutupi rasa sedih itu dari balik senyum ceria ku.

“Iya, ada apa Luna? Kalau ada masalah ceritakan saja semuanya pada kami”, kata Hani yang duduk di dekatku.

“Benar, tidak ada apa-apa”, jawabku.

Ku lihat mata Adi masih sesekali melirik ke arahku dari kaca spion, sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi, dari raut wajahnya pun terlihat rasa penasarannya itu.

Akhirnya kami pun tiba di gunung Harapan itu, jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, sehingga suasana disana pun sudah semakin gelap. Sebelum melakukan Pendakian, kami bertiga harus melapor dan registrasi terlebih dahulu ke petugas gunung Harapan.

Selesai registrasi, kami bertiga pun siap untuk memulai pendakian. Tidak hanya kami saja yang akan mendaki gunung itu, ada satu kelompok juga yang berjalan di depan kami bertiga.

Hani berjalan paling depan mengikuti kelompok tadi dan Adi paling belakang, sehingga aku berada di tengah-tengah mereka. Kami memegang senter masing-masing yang digunakan sebagai penerang jalan kami saat mendaki. Jalan yang dilaluinya pun tidak begitu terjal.

Gunung ini memiliki tinggi yang tidak begitu tinggi sehingga waktu kami untuk menempuh perjalanan menuju puncaknya tidak terlalu lama.

Setelah kami menempuh setengah perjalanan, udara di hutan itu berubah drastis menjadi sangat dingin. Pohon dan semak belukar yang ada juga semakin banyak dan rapat, jalanannya juga udah bukan jalan setapak yang mudah kami lalui. Kadang terdapat batang-batang pohon yang tumbang menghalangi jalan kami.

Saat aku sedang mencoba untuk melewati batang pohon besar yang tumbang itu, tiba-tiba saja kakiku terpeleset.

“Ahhhh......”, teriakku saat kaget dan merasakan tubuh ini akan terjatuh.

Ku coba untuk memejamkan mata saja, namun terasa seperti ada yang menampani tubuhku saat sudah hampir mengenai tanah.

Ku buka mataku, dan ternyata Adi telah menopang tubuh ku dengan kedua tangannya. Deg.... Tatapan dari kedua bola mata itu membuat jantung ini berdegup kencang.

“Hati-hati jalannya, Na”, Adi membantuku berdiri dengan memegangi tubuhku.

“Ii..iyaaa... Batang pohon itu terasa licin sekali”, jelasku.

Saat aku mencoba berdiri dengan kedua kakiku, salah satu kakiku terasa sakit sekali seperti ada yang terkilir.

“Aduhhh.... duhh...”, rasa sakit itu begitu terasa saat kaki ini mencoba menopang tubuh ini.

“Ada yang terkilir ya, Na? Ayo aku bantu jalan, nanti baru akan diberi perban setelah sampai di puncak”, kata Adi.

Tangan kanan ku diletakkan di pundaknya, sementara tangannya diletakkan di pinggang ku. Tercium bau aroma parfum yang menjadi ciri khasnya. Adi pun memapah ku berjalan hingga puncak gunung Harapan.

Entah mengapa seperti ada perasaan aneh yang muncul di hatiku, padahal aku kan sudah biasa bersamanya. Perasaan apa ini? Lagipula Adi juga sahabatku sejak kecil, kenapa aku baru merasakan perasaan ini sekarang? Aku menjadi bertanya-tanya kepada diriku sendiri.

“Adii,, Luna kenapa?!”, Hani terlihat cemas dan berlari ke arah kami, saat melihat kami sudah tiba di atas puncak.

“Tadi dia terpeleset hingga salah satu kakinya terkilir”, jelas Adi.

“Ya ampunn,, pantas saja kalian berdua aku tunggu sudah 3 jam tapi belum sampai”, kata Hani.

“Han, tolong berikan obat dan perban agar bisa mengurangi rasa nyeri di kaki Luna. Aku yang akan mendirikan tendanya”, kata Adi.

“Iya”, Hani pun segera membantuku untuk bisa duduk lalu mengambil kotak p3k yang berada di tasku.

Setelah dibalut perban, rasa nyeri di kaki itu menjadi sedikit berkurang. Karena hari sudah malam, kami bertiga memutuskan untuk makan malam bersama terlebih dahulu. Hani yang telah menyiapkan makan malamnya, karena kakiku sakit sehingga aku tak bisa membantunya.

Rasanya semua rasa sedih itu menjadi hilang, jika sudah berkumpul dengan mereka. Kami bercerita dan bercanda hingga tengah malam. Tiba-tiba turun rintik hujan, Adi pun langsung mengajak aku dan Hani segera masuk ke dalam tenda.

“Semoga hujannya tidak deras”, ucapku.

“Sudah malam, sebaiknya kita tidur saja yukk.. Biar besok kita bisa lihat sunrise”, kata Hani yang memilih tidur di pinggir.

Aku mendapat tempat tidur di tengah, di sebelah ku ada Adi yang tidur di dekat pintu tenda. Ku coba untuk memejamkan mataku, tapi entah mengapa sepertinya pikiranku masih melayang-layang. Selain itu, udara dingin pun semakin terasa menusuk ke dalam tulang.

Sudah satu jam berlalu tapi aku belum juga bisa tidur, udara yang semakin dingin itu juga menjadi salah satu penyebabnya. Aku putuskan untuk duduk saja, saat ku tengok kanan kiriku, Hani dan Adi sepertinya sudah tertidur pulas.

Tubuh Adi yang tadinya membelakangi ku, tiba-tiba berbalik ke arah ku.

“Luna, kamu belum tidur?”, kata Adi yang ikut bangun dan duduk bersamaku.

“Wajahmu pucat, Na. Tanganmu juga dingin sekali”, kata Adi setelah menatap wajahku dan memegang tanganku.

Adi melepaskan jaketnya yang tebal lalu memakaikannya ke tubuhku.

“Tidak usah Adi. Nanti kamu kedinginan”, ucapku.

“Aku sudah biasa dengan udara dingin. Sudah sana kamu tidur, dengan jaket itu pasti kamu akan terasa lebih hangat”, kata Adi.

Aku pun mencoba untuk membaringkan tubuhku, rasa dingin yang menusuk kulitku itu sudah tidak terasa lagi. Dengan tubuh yang hangat secara perlahan aku bisa memejamkan mataku.

Tak terasa hari sudah menjelang pagi, Adi membangunkan aku dan Hani.

“Sudah pagi, katanya mau lihat sunrise”, kata Adi, lalu ia beranjak keluar dari tenda.

Aku pun segera bangun namun aku lupa kalau kakiku yang satu sedang terkilir.

“Aduhhhh....”, kaki ku masih terasa sakit saat akan beranjak keluar dari tenda.

Melihat aku, Adi pun segera menolongku.

“Hati-hati, Na”, ia memapahku berjalan ke tempat dimana sunrise itu bisa dilihat.

Seperti ada yang berbeda, saat yang berada disini hanya kami berdua, Aku dan Adi.

“Aku masih mengantuk”, ucap Hani yang datang menyusul.

Tak lama kemudian, sinar matahari mulai muncul dari balik persembunyiannya, pemandangan terlihat begitu indah sekali. Aku menoleh ke arah Adi, lalu Adi juga pun menoleh ke arahku.

“Pemandangannya cantik kan?”, katanya dengan tersenyum.

Suasana saat ini terasa begitu istimewa dan berkesan, kami bertiga tidak lupa untuk mengabadikan foto-foto yang bisa dijadikan kenangan.

“Oh iya. Dimana tempat kita menulis harapan itu?”, tanya Hani.

“Disana”, Tangan Adi menunjuk ke sebuah batu besar.

Kami pun berjalan menuju batu itu. Batu itu sudah dipenuhi dengan berbagai macam tulisan yang merupakan cita-cita atau mimpi dari setiap para pendaki gunung Harapan.

Disana kami bertiga menuliskan mimpi kami masing-masing. Hani ingin menjadi seorang desainer, Adi ingin menjadi pengusaha, sementara aku ingin menjadi penyanyi.

Mungkin ini sebuah cita-cita yang mustahil untukku tapi aku sangat berharap cita-cita itu dapat terwujudkan, padahal saat ini saja aku masih belum tahu harus memulai darimana, ditambah kedua orang tua ku tidak menyetujuinya, jika mengingat itu rasanya ingin menangis.

“Ayo disini kita berjanji kalau kita bisa menggapai mimpi kita!!”, kata Adi dengan semangat.

Kami bertiga pun menyatukan tangan kami bertiga di atas baru itu. Setelah selesai menuliskan mimpi kami di batu itu. Kami bertiga membereskan perlengkapan kami untuk kembali pulang.

Adi yang membantu memapahku sepanjang perjalanan menuruni gunung. Suasana di hutan itu tidak begitu menyeramkan seperti malam tadi, karena ada sinar matahari yang menerangi perjalanan kami.

1
♥\†JOCY†/♥
Kaya gak kerasa udah lama banget aku terkena dampaknya. Sukses terus, thor!
Inari
Author jago bener bikin cerita, sukses terus! 🙌
Beerus
Wah seru banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!