Queen Of Melody

Queen Of Melody

Cita-cita yang Mustahil

Aku kumpulkan kepercayaan diriku sebelum tampil di panggung dan membawakan lagu perpisahan untuk guru dan teman-teman sekolahku.

Beberapa hari sebelumnya Bapak Kepala Sekolah sudah memberitahukan kepada seluruh siswa-siswi sekolah, jika ada yang memiliki karya lagu ataupun puisi, maka karyanya harus ditampilkan di panggung untuk meramaikan acara perpisahan sekolah ini.

“Hei anak cupu, kamu mau menyanyikan lagu apa?”, kata temanku si Mona yang duduk disampingku menunggu giliran tampil di panggung.

Memang sudah biasa dipanggil seperti itu oleh beberapa teman sekolahku karena penampilan ku.

“Hemm... Aku ingin menyanyikan lagu terimakasih guru”, jawabku.

Mona dan kedua temannya saling bertatapan lalu mereka tertawa menertawakanku.

“Wahh... Percaya dirimu tinggi sekali yaa? Jelas-jelas kamu tidak punya suara indah dan penampilanmu saja wong deso”, kata Mona yang terus mengejekku.

“Luna... Luna... Sebaiknya kamu batalkan saja, daripada membuat telinga semua orang sakit karena mendengar suaramu”, kata Dina.

Lalu mereka bertiga menertawakan ku kembali. Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya, lagipula kata-kata ejekan itu sudah biasa terdengar di telingaku.

“Ayo Kak Luna, sekarang giliranmu”, salah satu siswa adik kelasku yang bertugas sebagai panitia acara perpisahan sekolah datang menghampiriku.

“Iya”, aku pun mengikutinya untuk naik ke atas panggung.

Sebenarnya aku memang orang yang tidak memiliki kepercayaan diri tinggi jika tampil di depan banyak orang. Entah mengapa hari ini aku ingin sekali tampil di atas panggung, karena aku ingin berterima kasih pada semua guruku yang telah membimbingku hingga saat ini.

Tangan ku mulai terasa dingin saat berada di atas panggung, aku menjadi semakin gugup dan tegang. Aku melihat ada beberapa orang temanku yang tertawa, mereka seperti tidak yakin dengan suaraku, namun kedua sahabatku Hani dan Adi terus meneriaki namaku di kursi penonton untuk memberikan semangat padaku. Sebelum memulai bernyanyi, aku mencoba untuk menenangkan diriku dan mengambil nafas panjang.

Awalnya terdengar jelas suaraku yang gemetar karena tegang pada saat menyanyi, namun akhirnya sedikit demi sedikit aku berhasil menghilangkan suara gemetar itu. Terdengar suaraku yang menyatu dengan alunan musiknya, membawa semua guru dan beberapa siswa yang duduk di kursi penonton ikut terhanyut dalam alunan laguku dan ikut serta menyanyikannya. Melihat hal itu membuat rasa gugup dan tegang itu hilang dengan sendirinya, sampai tak terasa lirik lagu itu berhasil ku selesaikan.

Plok... Plok... Plok... Plok... Plok...

Suara gemuruh tepuk tangan itu terdengar dari kursi penonton. Aku pun ikut senang bercampur haru karena mereka semua menikmati lagu yang telah aku bawakan.

“Lagumu itu tadi bagus sekali”, puji Hani yang datang menghampiriku saat aku turun dari panggung.

“Terimakasih Hani”, aku tidak bisa menyembunyikan rasa haruku.

“Kamu cocok sekali jadi penyanyi”, saran Hani.

“Apanya yang bagus?! Lihat saja laguku lebih bagus!”, kata Mona yang sengaja menabrak tubuh saat akan naik ke atas panggung.

Bahuku jadi terasa sedikit sakit akibat ditabrak tubuh Mona tadi.

“Sombong sekali”, kata Hani terlihat kesal.

Suara gemuruh dari kursi penonton sudah terdengar saat Mona baru akan menaiki panggung. Yaa... Mona memang bintang sekolah di sekolahan ini, ia adalah siswi tercantik dan selalu menjadi juara kelas. Ia pun mengikuti beberapa kegiatan sekolah sehingga semua orang pasti sudah mengenalinya.

“Aku benar-benar tidak menyangka kalau kamu punya suara yang indah”, puji Adi yang tiba-tiba datang menghampiri aku dan Hani.

“Terimakasih”, jawabku tersipu malu.

Sejak kecil aku memang hobi menyanyi, hanya saja aku tidak punya rasa percaya diri jika tampil di depan banyak orang. Aku merasa suaraku tidak bagus, tapi untung saja pada penampilan ku di panggung sekolah saat ini, banyak orang yang memberikan tepuk tangan untuk ku.

“Rencananya kita mau pergi kemana ini untuk merayakan perpisahan sekolah?”, tanya Adi.

“Benar juga yang dikatakan Adi, pasti setelah selesai sekolah ini kita akan disibukkan dengan kegiatan masing-masing, entah itu kuliah atau kerja”, kata Hani.

“Hemm.... Bagaimana kalau kita naik ke gunung Harapan? Setelah sampai di puncaknya, aku akan memohon cita-citaku. Lagipula untuk naik ke puncaknya kan hanya butuh waktu 5 jam tidak sampai seharian”, aku memberikan saran.

Dengar dari cerita orang-orang, siapa saja yang menulis impiannya saat datang ke puncak gunung Harapan itu, maka mimpinya akan terwujud. Aku pun ingin mengukir mimpiku menjadi seorang penyanyi.

“Boleh juga idemu, Na. Selain itu aku juga belum pernah naik gunung”, Hani menyetujuinya.

“Berarti kita akan berangkat siang dan naik ke puncaknya saat malam hari, agar kita bisa melihat sunrise”, kata Adi.

Aku senang karena kedua sahabatku menyetujui saranku.

Tak terasa hari sudah sore, acara perpisahan sekolah itu pun akhirnya selesai. Aku, Hani, dan Adi selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Rumah kami saling berdekatan, sehingga kami sudah menjadi sahabat sejak kecil. Apalagi rumah aku dengan Hani saling bersebelahan, hanya dengan membuka jendela saja kami sudah bisa saling bertegur sapa.

“Jangan lupa besok yaa!”, kata Adi mengingatkan saat tiba di rumahnya terlebih dahulu.

“Iyaa”, balas aku dan Hani.

Rumah Adi terlihat besar dan berlantai dua, ia juga memiliki sebuah mobil dan beberapa motor. Ia merupakan anak dari orang kaya, tapi sejak kecil ia tidak pernah sombong, bahkan ia selalu melindungi aku dan Hani, karena ia mengetahui dirinya lah yang laki-laki dari ketiga sahabat ini. Bapaknya seorang pengusaha pabrik mebel. Mebel-mebel itu akan dikirimkan ke luar kota kepada para costumernya.

Setelah beberapa langkah lagi aku dan Hani baru tiba di rumah. Kami berdua hanya saling melambaikan tangan.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku, ku baringkan tubuhku di kasur untuk melepaskan rasa lelahku, hingga tak terasa aku pun menjadi ketiduran.

Aku tersentak kaget dan bangun dari tidurku, saat mendengar suara adikku Banu yang yang memanggil dan mengetuk kamarku.

“Kaakk... Kakk Lunaaaa... Kakak tidak makan malam”, suaranya terdengar dari balik pintu.

“Iyaa”, jawabku.

Saat aku melihat jam dinding ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku pun bergegas mandi terlebih dahulu setelah itu baru akan bergabung makan malam di ruang makan.

Di meja makan tinggal ada Bapak dan Ibu saja.

“Luna, kamu sudah ikut pendaftaran tes jalur beasiswa di kampus ilmu pemerintahan itu?”, tanya Bapakku.

“Belum, Pak”, jawabku.

“Coba kamu ikut mendaftar saja. Kalau kamu diterima di kampus itu kan kamu bisa dapat beasiswa dan biaya kuliahnya tidak mahal jadi bapak bisa membayarkannya. Lagipula setelah selesai kuliah kamu akan ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan. Kamu tidak perlu pusing untuk mencari kerja”, jelas bapak.

“Pak, Bu. Tapi, cita-cita Luna ingin sekali menjadi penyanyi”, aku mencoba mengungkapkan mimpiku yang selama ini aku pendam.

“Jadi penyanyi itu tidak mudah, suaramu harus benar-benar bisa menarik perhatian para pencipta lagu. Kalau kamu tidak bisa, yaa... selamanya kamu akan jadi pengangguran. Lagipula kita juga harus punya modal untuk beli baju dan lainnya”, kata bapak yang tidak sejalan dengan mimpiku.

“Yang dikatakan bapak itu benar, Na. Kami sangat menginginkan kamu menjadi pegawai negeri seperti bapakmu”, tambah Ibu.

Aku sudah menduganya, pasti inilah yang akan dikatakan oleh kedua orang tuaku. Mereka sangat menginginkan aku menjadi pegawai negeri. Lalu, aku harus bagaimana? Haruskah aku membuang jauh-jauh mimpiku untuk mewujudkan semua keinginan kedua orang tua ku. Lagipula aku tidak mungkin bisa menentang kedua orang tuaku. Rasa putus asa itu tak bisa aku ungkapkan, yang ada hanya bisa ku pendam di dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!