"Namaku ya..."
Siapa nama dari tubuh gadis yang Kumasuki ini? Apa maksud dari semua mimpi buruk sebelum aku masuk ke tubuh ini? Lalu suara yang memanggilku Himena sebelumnya itu, apakah ada hubungannya denganku atau tubuh ini?
"Vıra...panggil saja aku Vıra." Jawabku tersenyum sedih karena membayangkan harus menerima kenyataan yang ada bahwa aku di sini. Benar, inilah Kenyataanku sekarang.
Semua tentangku, dia, dan tragedi pengkhianatan itu, akan terkuak satu-persatu. PASTI....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RiesSa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Bahasa Tangan
“Ok! Segini cukup kali?”
Sebagai penghormatan terakhir kepadanya, aku membuat satu batu nisan tulang sisa dari hiu seminggu kemarin. Sedangkan bagian lain yang tajam aku ubah menjadi belati-belati kecil sederhana. Tentu saja yang tetap utama adalah daging kering asin untuk bekal perjalanan.
Lalu dari jas yang kutemukan ternyata berisi beberapa batu mulia yang indah dan berkilau. Semoga bisa kujual nantinya untuk membeli pakaian yang lebih pantas daripada yang kupakai sekarang.
Aku potong rambut panjang hitam kecoklatanku hingga sebahu dan diikat dengan tali benang sulur kecil ke arah belakang.
Untuk arah perjalanan aku memilih melawan aliran sungai, yaitu ke arah barat. Dimulai dengan berjalan saat pagi, dan beristirahat saat malam. Beristirahat dengan memanjat pohon dan tidur di atasnya, dengan mengikat tali sulur ke perut dan batang pohon agar tidak langsung jatuh.
Yaa... syaratnya memang tidak boleh tidur nyenyak sih. Tapi dengan begitu aku tak perlu khawatir serangan binatang darat, kecuali ular mungkin? Terutama nyamuk sialan yang selalu balapan di tepi telingaku untuk minum di café kulitku. Sial.Tiga hari berlalu dan rutinitas ini berlangsung normal tanpa ada kendala. Hingga hari keempat…
Seseorang di dalam zirah rusak hanyut di tengah sungai. Refleks aku langsung melepas jas dan melompat ke air, menariknya keluar dan membawa orang itu ke tepian. K-kemudian menidurkannya di bawah pohon.
“Haaah... antara karena tubuhku ini kecil atau orangnya yang berat, staminaku.... haaah... hah... hah...”
Setelah tenang, aku segera membuka zirahnya dan mengecek tubuhnya. Ada luka iris yang cukup dalam tepat di bagian perut kiri, beberapa bekas tusukan di lengan, dan sisanya hanya luka ringan saja. Lukanya terhitung masih baru dan segar. Untungnya tidak semuanya buruk, karena…
“D-dia masih hidup! Tapi, luka separah ini...”
Tanpa pikir panjang aku langsung menyusuri hutan untuk mencari tumbuhan yang sekiranya bisa berguna sebagai obat. Sebelum aku berhenti karena melihat seekor beruang cokelat dari kejauhan. Benar-benar diam membatu.
“Dari semua situasi, kenapa selalu muncul masalah di waktu yang tidak tepat sih?!” Gerutuku bersembunyi di semak-semak.
Penciuman dan penglihatan dari beruang terbilang cukup tajam terutama besarnya dia juga tiga kali tubuhku. Untungnya angin berhembus dari arah beruang ke tempatku sehingga aku aman untuk sekarang. Hewan itu juga sibuk mencakar-cakar sarang lebah.
Le…bah? Itu dia! Madu!
Kuremas beberapa daun hingga hancur dan mengoleskannya ke seluruh tubuh ditambah beberapa colekan lumpur hitam. Aku bersiap mengambil ancang-ancang melempar tombak, sekiranya tepat ke leher atau kepala Si beruang. Sekali mengayuh perahu, dua tiga pulau terlampaui dengan target dapat madu dan kulit beruangnya. Lagipula batu yang kupakai senjata ini adalah obsidian yang terkenal tajamnya.
‘Tapi apa aku bisa benar-benar menjatuhkannya?’ Batinku ragu.
Beruang itu meraung kesal karena sibuk dengan kawanan lebah yang marah setelah sarangnya jatuh. Dia menghiraukan area di sekitarnya.
Tunggu dulu, bukankah ini kesempatanku?
Baiklah. “Huft…” Aku bersiap melempar… jarak sekitar sepuluh meteran, dan pengalaman menombakku hanya beberapa kali saat masih di dojo. Sasarannya adalah kepala atau leher, tidak boleh yang lain. Hasilnya buram, seburam hidupku.
‘Ah! Sekarang atau tidak!’ Batinku yakin.
Hanya orang bodoh yang menolak sebuah permata di depannya, meski Ia tahu dirinya bisa mengatasi semua jebakan dan hambatan yang ada di sekeliling permata itu.
Benar! Aku hanya butuh waktu yang pas saja... Percaya!
1...2...
‘Sekarang...!!!’
Kulemparkan tombak sekuat mungkin dan langsung bersembunyi lagi dalam semak-semak. Mengintip seje-
GRAAOW! Suara raungan keras terdengar memecah keheningan hutan. Aku bergidik ngeri mengintip dari balik semak-semak. Berhasil?
“…”
Berhasil dong? Yeaah…! Tombak itu berhasil menancap cukup dalam di bagian lehernya! Dia meraung keras kesakitan dan menoleh-noleh garang mencari dalang yang menyerangnya. Jadi sebelum posisiku ketahuan.... “Maaf.”
Jleb!
Tombak kedua berhasil menusuk telinganya, membuat Ia mati di seketika. Ini memang terbilang aneh, antara aku memang sekuat itu melemparnya atau… Ah sudahlah. Aku menggeleng tidak memikirkannya, masih ada yang lebih penting untuk dipikirkan.
Pertama-tama cek situasi sekitar? Kosong. Cuma suara angin beserta kawanan lebah di hutan yang remang. Aku segera mengambil sarang yang ditinggalkan kawanan lebah itu dan lari menceburkan diri ke sungai. Hingga lebah-lebah itu pergi barulah aku kelua-
“Tunggu, bukankah kalau ada sarang lebah berarti ada bunga juga dong di dekatnya?”
Ternyata benar dugaanku, rimbunan bunga-bunga tumbuh lebat tidak jauh dari tempat tadi. Mulai dari hias, herbal, hingga untuk obat keras. Kupilih beberapa bunga yang berguna untuk luka iris pereda nyeri, dan bius. Meski kalau kebanyakan malah bahaya sih… tapi sekarang adalah darurat! Selama tidak berlebihan tidak apa-apa! Begini-begini aku juga pernah ikut Ibuku ke laboratorium untuk belajar peracikan obat dulu di sekolah kedokterannya.
“J-jadi kumohon Tuhan, jangan hukum aku kalau ini gagal dan mengambil nya-nyawa… uuh… pokoknya aku mohon jangan hukum aku Ya Tuhan!” Pintaku pasrah.
Setelah meracik obat dengan takaran yang (semoga saja) pas, aku kembali lagi ke orang tadi. Tidak ada yang menjamin apakah obat ini manjur, tapi setidaknya berusaha lebih baik daripada menunggu nasib. Benar bukan?
“Seorang pria. Tapi wajah dan rambut ini…” Komentarku saat membuka pelindung kepalanya. Pria yang terlihat berusia tiga puluh tahunan dengan rambut coklat bergelombang. Rahangnya tegas, hidung besar mancung dan dahi cukup sempit. Kulitnya putih pucat karena kehilangan banyak darah dan kehilangan suhu.
Setelah memberikan obat dan pertolongan pertamaku, sekarang tinggal menutup lukanya dan tinggal menunggu takdir pergi ke mana.
“Semoga ke arah baik! Semoga ke arah baik! Semoga ke arah baik!” Ucapku berkali-kali gugup.
Tak terasa satu malam telah lewat. Aku kembali masuk ke dalam hutan lagi untuk mengambil kulit dari mayat beruang kemarin. Beruntung tidak ada hewan lain yang mendatangi tubuhnya. Tetapi ada satu masalah, yaitu aku belum pernah menguliti beruang. Perasaaan saat menguliti beruang itu…
“Hoek...!” Muntahku saat baru selesai di bagian tangan. Aku benar-benar tidak suka dengan bau kuatnya, tapi… kulitnya pasti berguna nanti. “Uh, bertahan! Berta- Hoek!”
Lima jam kemudian....
“Satu kulit beruang siap, juga beberapa cakar dan gigi taring. Ha...”. Akhirnya selesai juga, tinggal mencuci dan mengeringkan kulitnya saja.
Setiap pagi dan sore hari aku selalu merawat Si pria itu dengan hati-hati. Hingga tiga minggu kemudian pria itu akhirnya siuman dengan sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dimulai saat aku baru keluar dari hutan dengan membawa beberapa buah tanpa melihat kiri-kanan, langsung mencuci buah-buah itu di sungai dengan senang karena dapat makanan yang manis. Buah pertama, kedua, dan...
Blub! Buah ketigaku jatuh hanyut mengikuti aliran sungai. Pasrah begitu saja! Mau bagaimana lagi, belati tulang yang kubuat kini malah menyentuh leherku. Tidak terlalu tajam memang, tapi cukup bila ingin membunuhku sekarang juga.
“Segðu mér að þú sért það!?”
Ha? “M-maaf aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Rödd kvenna? Hvað ertu að gera hér og hvaða tungumál er það?” Katanya lagi.
“Maaf Tuan! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau katakan. Bisakah kau turunkan belati ini dan kita bicarakan baik-baik?” Pintaku spontan gemetaran meski dia pasti tidak mengerti.
Dia menurunkan belatinya dan berjalan mundur. Ah! Dia mengerti maksudku rupanya. Ia mengacungkan belati tulang ke arahku meski masih kesakitan memegangi perutnya. Mimik muka itu, terasa penuh waspada dan menyelidiki
“Kamu tak akan sembuh bila terus bergerak seperti itu tahu!” Aku mengajaknya duduk ke bawah pohon sambil menawarkan buah yang sudah dicuci. Satu alisnya terangkat sebentar, tapi sepertinya Ia mengerti maksudku. Kami melanjutkan pembicaraan kami dengan cara seadanya. Apabila salah satu dari kami tidak mengerti dengan gerakan isyarat yang dimaksudkan, kami menggantinya dengan gambaran sederhana di atas tanah.
Pria itu adalah salah satu dari orang penting. Dia memerintah suatu wilayah dan mengabdi ke seorang pemimpin negeri, dengan kata lain dia adalah seorang Gubernur?
“Nei nei. Það er ekki það...” Tolaknya sambil menggelang kepala.
“Bukan? Kalau bukan berarti...” Aku mengganti gambar struktur pemerintahan sebelumnya menjadi sebuah struktur pemerintahan lain di atas tanah.
“Bangsawan?”.
“Já, þessi!” Ia mengangguk dan melingkari gambaran strukturku yang baru. Bangsawan?
Ini di negara mana kok sampai ada sistem pemerintahan monarki? Inggris? Saudi Arabia? Malaysia? Di mana ini....
“Ef litla daman hvaðan?” Ia membuat gambar anak perempuan dan satu panah yang mengarah ke suatu lingkaran yang berantakan. Di atas panah itu ada tanda yang hampir mirip seperti tanda pertanyaan.
Apa ini? Hmmm… Nona kecil... dari... wilayah... mana?
Nona kecil?
“…” Minta disumpal pakai batu sungai mulut ini orang.
Aku menghela nafas dan mulai menggambar satu-persatu kejadian yang kualami. Mengarang cerita seadanya tentang ingatanku yang hilang sebelum datang ke hutan. Jadi dia tidak akan menanyai apa-apa tentang kehidupanku sebelumnya.
Ada beberapa poin yang membuatnya terkejut. Ia menanyaiku tentang melawan hiu seakan tak percaya. Aku menunjuk ke belati yang digunakan untuk menggambar dan daging kering yang kita makan. Ia kembali menanyaiku tentang cerita membunuh beruang yang kujawab dengan menunjuk jemuran kulit coklat di pohon. Kulit beruang itu telah kucuci dan dikeringkan berulang kali, bahkan sampai menggunakan lumpur! Agar bau kuat menyebalkannya hilang total.
Terakhir, Ia bertanya tentangku yang menyelamatkannya dari sungai dan membuat obat untuknya.
Aku berbicara dalam bahasa isyarat dan menggambar lagi. Sebuah gambar berbentuk awan kecil yang di dalamnya ada gambar lain. Gambar di dalam awan itu ada yang disilang dan ada pula yang tetap utuh. Di luar awan kugambar lagi seorang gadis kecil yang duduk. Gadis kecil yang berjalan sendirian di tempat yang asing dan kebingungan. Salah satu gambar di dalam awan yang tidak kusilang adalah seorang wanita dewasa yang mengenakan jubah. Gambar wanita itu kulingkari dan kutambahkan arah panah ke wujud gadis kecil yang sebelumnya. Di garis panah tersebut kubuat lagi gambar sebuah buku, matahari, bulan, dan tumbuhan.
‘Setidaknya aku tidak berbohong.’
Arti dari gambarku adalah ‘Aku masih ingat beberapa hal, tapi ada juga yang tidak. Aku tiba-tiba berada di tempat asing tanpa tahu alasannya. Untungnya wanita berjubah yang dulu kukenal mengajari beberapa cara dan bahan pengobatan sehingga aku tahu sedikit ilmunya.’
Ia bertanya lagi dengan menggambar wanita berjubah dan menambahkan tanda tanya.
Aku membalasnya dengan gambar dua kotak yang saling berimpitan. Di dalam kotak pertama ada gambar gadis kecil, sedangkan di kotak kedua ada gambar wanita berjubah itu. Di antara kedua kotak itu kutambahkan garis vertikal yang memisahkan keduanya.
‘Aku tidak bisa bertemu dengannya.’ Arti dari gambarku ini.
Pria itu segera meminta maaf karena mungkin mengira wanita di dalam kotak adalah Ibuku yang telah mati. Salah paham dia, tapi aku sendiri enggan untuk membenarkan. Jadi biarlah.
Aku menggeleng pelan mencoba mengatakan tidak apa-apa, kualihkan topik ini dengan memberinya apel segar. Hingga tak terasa bulan semakin meninggi di langit. Ia menawari untuk berjaga dan membiarkanku tidur. Padahal dirinya belum sembuh total, tapi ya sudahlah. Lagipula akhir-akhir ini aku juga kurang tidur.
Aku segera beranjak ke atas pohon yang cukup pas untuk tidur dan melakukan hal rutinan. Mengikatkan tubuh dengan tali sulur ke pohon agar tidak jatuh. Lalu menutup mataku.
...
“Bangun Vi.... Himena.”
“Siapa?” Responku ngantuk. Mengusap mata beberapa kali terkena siluet sinar matahari.
“Oh! Sudah bangun Nona kecil?” Tanya pria yang kutolong menggunakan bahasa isyarat. Aku segera bertanya kepadanya apa ada orang selain dirinya di sini tadi.
“Tidak ada. Kenapa memangnya?” Tanyanya balik dengan bahasa isyarat.
Aku menggeleng dan segera turun dari atas pohon dan membasuh mukaku di air sungai. “Brr...! Dingin sekali.”
“Hei! Setelah ini kamu mau ke mana Nona kecil?” Tanyanya dengan isyarat tangan.
Aku terdiam. Benar. Setelah tiba di hutan belantara ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup tanpa ada tujuan lain. Semisal kalau tiba di kota atau desa nanti, apa yang kulakukan selanjutnya? Pakaianku yang sebatas jas kulit tua dengan dalaman daun saja terlihat seperti makhluk jadi-jadian. Rambutku yang acak-acakan, tidak tahu bahasa di sini, dan...
“Aku akan pulang ke rumahku, bagaimana kalau kamu ikut saja denganku. Setidaknya aku bisa membalas kebaikanmu karena telah menyelamatkanku.” Tawarnya langsung dengan isyarat tangan.
Aku menggeleng pelan menolak. Bagaimana kalau nanti malah terjadi apa-apa, lagipula kami baru kenal.
Seperti tahu apa yang kupikirkan dia langsung membuat bahasa isyarat yang... ya… memang betul sih. Aku tidak bisa menyangkalnya sama sekali. ‘Kalau memang berniat buruk sudah pasti Ia lakukan sejak awal.’
Setelah dia menyampaikan itu sadarlah betapa cerobohnya aku. Dia benar! Dahiku mengkerut serius memikirkannya. Aku terlalu ceroboh.
“Hahahaa...!” Dia tertawa.
Ada hal yang lucu kah?
“Maaf-maaf, saat kamu berpikir dengan dahi mengkerut tadi aku teringat putriku.” Katanya dengan banyak gerakan dan membuat kerutan di dahi.
“Kamu punya anak?” Ucapku spontan tanpa bahasa isyarat.
Dia mengangguk sekali, padahal barusan aku bicara dalam bahasaku sendiri. Segera kubenarkan dan bertanya lagi, kali ini dengan bahasa isyarat. Jawabannya juga masih sama, anggukan.
Ah! Aku kelupaan sesuatu yang penting.
“Bicara tentang keluargamu, kenapa kamu bisa hanyut di sungai dengan luka parah seperti itu? Apa terjadi sesua- Haatchi…!!!” Gerakan tanganku terhenti seketika karena bersin.
Pria itu lalu duduk bersandar di bawah pohon dan mengajakku agar duduk juga. Rasanya ini akan jadi cerita yang berat dan panjang. Kutarik kulit beruang yang telah kujemur dan berselimut. Benar saja firasatku, ini akan jadi cerita yang cukup panjang. Inti yang dapat kuambil dari ceritanya adalah Ia dikhianati oleh bawahannya sendiri.
“Drama harta, tahta, wanita...” Gumamku tak sadar.
“...?” Pria itu menunjukkan raut muka bingung dengan apa yang kukatakan.
“Ah...! Maaf, aku hanya berbicara sendiri.”
Keluarganya tidak dalam bahaya, tapi yang paling mengkhawatirkan adalah situasi. Bawahannya menjual negerinya sendiri ke negara yang paling adikuasa saat ini. Dia ditipu saat di perjalanan untuk negosiasi. Di waktu siang saat keretanya pulang melewati hutan, Ia dan pengawalnya dikepung oleh gerombolan bandit. Bandit-bandit itu berhasil di tahan hingga hal itu terjadi. Bawahannya yang ikut bernegosiasi diam-diam menusuk dirinya dari belakang. Diikuti beberapa pengawalnya yang lain.
Sesaat sebelum pria ini pingsan, Ia melihat bawahannya memberikan sesuatu ke pemimpin bandit itu sambil tersenyum puas. Kemudian kisah berlanjut ke pertemuan kami. Selesai.
Tapi hebat juga Pak tua ini tidak tenggelam dengan zirah logam seperti itu. Negaranya dengan negara tetangga yang adikuasa sudah bersitegang sejak pemimpin baru di sana naik tahta dulu. Tahun ini sudah yang ketiga sejak wilayahnya terus diserang karena tepat di perbatasan.
“Maka dari itu aku harus segera pulang, sayang aku tidak tahu ke arah mana harus pergi.” Ia terlihat sedikit kecewa setelah mengatakan hal itu dengan bahasa tangannya.
“Aku tahu!” Ucapku spontan. Tanganku mahir menggambar dua garis ular yang beriringan di tambah dua orang yang berjalan melawan arah garis ular tersebut.
Pria itu tersenyum mengangguk.
Ya, kami bisa mengikuti sungai ini ke arah berlawanan dari arah dia hanyut. Setidaknya hingga sampai ke suatu pemukiman. Dia menyetujui ide yang kuberikan dan kembali bersemangat. Hanya saja luka di punggungnya memaksa kami menunda selama dua minggu, baru setelahnya kami bisa berangkat.
Tapi cukup menakjubkan juga regenerasi tubuhnya, padahal hanya sebulan lebih sudah sudah menunjukkan hasil yang signifikan. Mengingat lukanya dulu sangat parah.
“Ingat! Kalau tidak kuat bilang saja, kita langsung berhenti.”
“Oke-oke aku mengerti Nona kecil.” Pria itu menjawab dengan gerakan tangan dan menyengir menganggapku candaan. Dasar pak tua bebal.
Kami berjalan mulai dari pagi dan berhenti saat mulai gelap. Untuk seorang pejabat penting ternyata dia cukup berpengalaman saat menjelajah hutan. Beberapa kali dia menutup lubang ular dan menemukan sarang hewan buas, sehingga kami bisa tidur dengan aman.
Namun untuk urusan memasak, aku bersikeras memonopoli penuh semuanya. Alasannya cuma karena ada satu kejadian.
“Apa ini?” Tanyaku datar.
“Ikan bakar, cobalah!” Ia menambahkan satu jempol untuk buatannya.
Gulp... Hitam. Besar. Kaku. Gosong. Iiih... bagaimana ya… jujur saja, menjijikkan. Ternyata itu adalah kali pertamanya dia memasak. Maka dari itu aku yang selalu bertugas di bidang ini demi kemakmuran bersama.
“Oh ya! Ada yang kulupakan. Siapa namamu Nona kecil?” Tanya pria itu dengan gerakan yang membingungkan. Serius dah! Aku harus segera tahu bahasa yang digunakannya.
“Sefani Viraka.” Ucapku dengan mulut.
“Cevanhi Firaca?”
“Sefani Viraka!” Ulangku langsung membetulkan.
“Cefanii Viraca?”
Terserahlah...
“Vira. Oh, Vira!” Ucapnya senang, rupanya nama panggilanku telah ditetapkan. “Looqe Ar Wooseman fi Oevin, Looqe...” Lanjut pria itu memperkenalkan namanya.
“Looqe?”
Pria itu mengangguk membetulkan ucapanku. Di saat-saat luang Ia juga menceritakan beberapa cerita hidupnya. Dirinya bukanlah seorang bangsawan yang asli, melainkan seorang anak dari panti asuhan yang diadopsi oleh ayahnya yang sekarang ini di kerajaan. Sejak kecil dirinya selalu menyelinap pergi berpetualang ke hutan sendirian. Lagipula Ibu angkat dan semua saudaranya tidak ada yang peduli, kecuali ayah angkatnya saja.
Selanjutnya Pak Looqe menceritakan bagaimana Ia bertemu dengan istrinya di tepi danau, dan beberapa kejadian kecil lainnya. Sampai di mana Ia dikaruniai dua orang anak, yang sulung perempuan dan yang bungsu laki-laki.
“Siapa nama mereka berdua Pak Looqe?” Potongku sesaat.
“Sithra Hellena Ar Wooseman, Yhurnomghan Ar Wooseman.” Ucapnya lisan.
Sithra putri pertamanya sekarang berumur tiga belas tahun, Ia mempunyai tanda lahir berbentuk api di wajah sebelah kiri. Sithra adalah anak yang minder dan sedikit berhati-hati. Tapi meski begitu Ia bersikeras menjelaskan bahwa Sithra adalah anak yang baik.
“Hahahaa...”
Aku tertawa kecil melihatnya ngotot sekali meyakinkan poin itu. Lalu kemudian ada Si bungsu Yhurnomghan yang lima tahun lebih muda dari Kakaknya, Sith. Dia anak yang sedikit pendiam dan suka sekali membaca. Bahkan kata Pak Looqe, Ia lebih pintar dibandingkan anak seusianya. Sayang sifat pendiamnya membuat dia sedikit dijauhi oleh anak-anak lain.
Dari apa yang tergambar dan raut muka dari Pak Looqe, Ia pasti sangat mencemaskan Si Yhurno itu. Pak Looqe terdiam beberapa saat yang juga membuat aku jadi kehabisan kata.
“Tidak usah khawatir Pak Looqe, aku bisa menjadi temannya ketika kita sampai di rumahmu nanti. Akan kuajak dia bermain keluar hingga lelah. Ah! Akan kuajak Sith sekalian agar ikut kami.”
Pak Looqe menatapku dengan raut muka lega. “Vira... terima kasih.”
“Tidak apa-apa. Baiklah! Lebih baik kita segera makan saja sambil bercerita lebih jauh, Ok!”
Malam itu kami lewati tanpa ada masalah berarti, dan hari ini hampir dua bulan penuh sejak aku tiba di hutan antah berantah.
Setelah semua yang terjadi, apa aku masih bisa menyebut ini mimpi?