The Final Entity Never Regrets In Reality
Mimpi. Bagaikan bulir-bulir pasir yang jatuh berdesir dari kehendak Sang ilahi. Paham selama masih sedikit, namun buram bila mendapatkan semuanya. Semua arti tetap kembali berputar pada tiga ikatan yang sederhana. Bermakna, tidak bermakna, dan keinginan terdalam.
Untuk apa membahas hal yang tidak penting ini?
Sederhana... semua perjalananku dimulai dari satu kata tersebut. Dimulai ketika pagi hari itu….
Srekk!
Satu sobekan kertas bertuliskan cakar ayam yang membahas daftar belanjaan hari ini aku baca seksama. Mulutku mulai terbuka dan melirik-lirik ke dalam toko. “Permisi! Mau beli!”
Lima menit. Setelah serah-terima uang dan barang sesuai daftar, aku segera pulang. Membawa dua plastik merah besar dengan nafas sedikit terengah namun teratur. Sesekali mendongak ke atas langit, hingga dua kata ‘Semu’ dan ‘Bosan’ terlintas sejenak di kepalaku. Semua terasa monoton. Berangkat sekolah, pulang, aktivitas di rumah, tidur, lalu berangkat sekolah lagi. Tidak, maksudku kurang bersyukur, tapi memang begitulah yang aku rasakan akhir-akhir ini.
Benci kehidupan? Tidak juga aku rasa…
Aku sangat menyukai hidupku. Malah kalau dilihat ke belakang, apa yang kuraih sudah terbilang cukup membanggakan. Menang turnamen kendo, aikido, dan catur tingkat internasional adalah hal yang tiba-tiba terjadi begitu saja padaku. Sayangnya untuk suatu alasan juga, aku serasa hanya melakukan peran dari suatu karakter dalam suatu cerita. Semua terasa asli tapi diwaktu bersamaan palsu.
“Vira, nanti tolong ambilkan baju dinas milik Ibu di penjahit ya!” Seru Ibuku dari arah dapur.
Seorang siswi kelas 1 SMA yang bernama Sefani Viraka. Perempuan berwajah sedikit tirus, kulit kuning langsat, dan tinggi 168 cm. Rambutku hitam lurus sebahu, dan mata hitam yang cukup tajam. Itulah aku.
“Aku berangkat!”
Tepat jam tiga sore, aku selalu pergi ke dojo untuk berlatih. Sekedar menyegarkan kepala setelah tegang seharian menerima mata pelajaran di sekolah. Hanya saja… ‘Membosankan.’ Batinku melepas helm pelindung.
“Mungkin lebih baik hari ini aku pulang saja sudah.” Gumamku mengemas barang ke tas, berpamitan ke pelatih, dan dan berjalan pulang. Tinggal belok di tikungan itu dan…
Brakk!
“Aduh!” Aku menubruk seseorang?
“Kamu tidak apa-apa?”
Pihak yang kutubruk malah menawarkan tangan untuk membantuku berdiri. Pria yang terlihat berumur dua puluhan dengan tatapan sayu?
“Apa ada yang aneh?” Tanya dia mengerutkan dahi.
“T-tidak, saya hanya kaget karena wajah dan penampilan anda terlihat kontras.” Jawabku spontan.
Aku tidak bohong! Gaya pakaian itu seingatku pernah popular di Inggris pada jaman revolusi industri. Bukan gaya pakaiannya yang aneh, malahan pakaian itu terlihat pas sekali kepadanya. Hanya saja aku terkejut masih ada saja orang yang memakainya di fashion pakaian sekarang.
“Hahahaa… apakah ini bentuk godaan anak jaman sekarang? Sekedar info saja aku sudah lebih dari kepala tiga.”
Umurnya juga kontras dengan wajahnya yang terlihat seumuran denganku.
Untuk seseorang yang baru saling kenal, dia punya kharisma unik sendiri yang bisa menutup jarak canggung antara pembicaraan kami. Seorang bule dengan mata biru dan rambut hitam gelap, badannya samar-samar kekar dengan kulit coklat susu.
‘Blasteran?’ Tebakku dalam hati.
Ia mengajakku ke kafe di tepi jalan sebagai permintaan maafnya. Seingatku tadi aku juga salah padahal. Tapi biarlah, kapan lagi minuman gratis, kan? Dia langsung memesan secangkir coklat panas lalu memberikan daftar menu kepadaku.
Teh melati. Singkat, padat, dan jelas.
Sesekali kami tertawa kecil sembari menunggu minuman datang. Namanya adalah Neavan dan katanya dia baru pulang kampung untuk mengurus suatu hal di sini. Benar saja tebakanku, seorang blasteran.
“Ah!? Sudah jam segini? Aku pamit dulu Viraka, sampai jumpa!” Dia pergi begitu saja seolah-olah telat rapat besar.
Neavan, Pak Neavan. Nama panggilannya persis dengan salah satu temanku saat masih SMP dulu. Bagaimana kabarnya sekarang ya? Sudah lama aku tak bertemu Si Dewa Siwa itu. Eh…? Kotak yang dibawa Pak Neavan ketinggalan. Mana aku tidak tanya kontak sama alamatnya lagi tadi.
“Umh…” Oke sudah, aku bawa pulang untuk sekarang. Putusku dalam hati sambil beranjak pulang. Tapi… sepertinya aku kelupaan sesuatu… Apa ya?
Sampai di rumah, pergi ke kamar mandi dan langsung mandi karena kulitku terasa lengket setelah berkeringat dari berlatih di dojo.
Beberapa belas menit kemudian…
Aku meletakkan kotak berbungkus kertas putih di atas kasurku. Menyadari sesuatu yang cukup membuatku kepikiran. Bungkusnya robek. “Apa tadi aku salah bawa posisinya? Haaah…”
Beruntung kertasnya cuma kertas putih tebal biasa sehingga nanti aku bisa memperbaikinya dengan kertas putih yang sama. Aku buka bungkus kotak itu dan menyiapkan bungkus baru. Ternyata isinya sebuah kotak hitam yang berkilau terkena cahaya lampu. Untuk alasan lain kotak ini…
T-terlalu berkilau! Apa ini berlian hitam?!!
‘Pak Neavan, dia tidak melibatkanku ke bisnis dunia bawah ‘kan?’ Batinku was-was khawatir.
Gulp...
Entah tanpa aba-aba tutup dari kotak itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Beruntung isi di dalamnya tidak berisi bom atau sesuatu yang berbahaya seperti di dalam pikiranku yang aneh-aneh. Isinya hanya sebuah jepit rambut biru muda transparan. Benda sepele, untunglah. Sebuah jepit rambut indah yang seperti punya sinar sendiri.
“Sinar?!” Aku melotot kaget.
Kutarik lagi perkataanku, jepit rambut kristal biru ini pasti lebih berharga dari dua rumah mewah sekali pun! Dari penampilannya saja seperti peninggalan artefak kuno. Sontak aku sembunyikan kotak itu agar tidak ada yang tahu.
“Viraka! Baju Ibu sudah diambil tidak?”
Satu, dua, ti-
Ah…! Itu yang kulupakan tadi rupanya! Astaga… alhasil aku langsung pergi lagi tanpa basa-basi daripada mendapat ceramah agama dadakan saat ini juga.
Berlanjut ke hari berikutnya, entah apa yang ada di pikiranku saat nekat membawa benda itu ke sekolah. Aku hanya merasa harus membawanya dan berharap bisa bertemu dengan Pak Neavan lagi meski itu hal yang mustahil. Aku seakan tersugesti untuk selalu fokus ke kotak dan jepit rambut itu, hingga di rumah sekali pun. Entah berapa lama duduk memandang kosong keduanya hingga gelap. Aku ketiduran.
………
“Memang, semuanya gelap. Tapi setidaknya selesaikan yang kamu mulai, Viraka- Tidak… Himena.”
………
“Bagaimana ini Yang Mulia!? Kondisi beliau semakin parah!”
Siapa? Aku tersentak dari tidur mencoba untuk bangun.
“Suhu badannya tinggi! Racunnya telah tersebar!”
‘Ada apa sih ramai sekali? Tunggu seben- AAKH...!!! SAKIT!!? KENAPA INI?!’ Seluruh badanku terasa kram, perih dan kedinginan. Otot dan sendi bagai terjepit belasan gajah tanpa bisa bergerak. Mata dan mulut sama-sama tertutup rapat, bahkan untuk mengangkat jari saja aku tidak bisa!
“Bawa dia ke desa *****, minta bantuan tabib ******! Aku akan menahan para pengkhianat itu di sini!” Suruh suara yang lainnya.
“Tapi, Yang Muli-”
“Cepatlah! Tak ada waktu lagi...!!! Hanya dia satu-satunya harapan kita!”
Tiba-tiba gelap seketika! Hanya warna hitam yang mengelilingi di sekitarku. Sakit luar biasa dan suara tadi juga hilang tanpa bekas. Meninggalkan satu sentuhan dingin yang…
Byuur…! Air dingin mengguyur tubuhku entah dari mana.
“VIRAKA...! BANGUN! SUDAH SIAAANG...!”
Mata ibuku membesar bak hantu siang bolong. Aku melirik sebentar ke jam yang jarumnya membentuk sudut siku-siku. Pukul 6:45 pagi?! Aku terlambat ke sekolah!
“Aah...?!! Hari ini ada ujian matematika lagi!”
Satu, dua... perlahan semua ada yang terasa berubah dari keseharian normalku. Beberapa ada yang mengatakan mimpi adalah sebuah tanda akan sesuatu, atau juga sebuah ingatan lampau. Beberapa lagi mengatakan itu hanya bunga tidur semata, tak berarti apa-apa. Ada juga yang mengatakan mimpi adalah keinginan yang tersembunyi dari lubuk hati kita yang terdalam.
‘Oh tidak! Mimpi ini lagi…’
Satu, dua… tidak. Ini sudah berulang kali aku melihatnya. Seorang gadis kecil berwajah buram itu, rambutnya hitam kecoklatan sebahu dengan pakaian kimono putih. Perangainya menunjukkan Ia adalah seorang anak periang, sesekali dirinya berlari kecil dengan mulut tersenyum hangat.
Mimpi berikutnya adalah peristiwa yang sangat suram. Berlatar pada padang rumput merah gelap, tumpukan tubuh yang tergeletak berantakan, badai hujan mengguyur deras tempat ini tanpa henti, disertai sahutan kilat-kilat tanpa henti di dekat telinga. Aku yang sendirian bertumpu pada sebuah pedang patah sambil melihat ke atas bukit. Ada tujuh orang berdiri di sana dan satu orang bersayap putih nan terbakar api. Badanku yang terasa lelah hanya diam sambil sempoyongan mencoba tetap tak terjatuh. Namun semua berakhir saat satu tombak merah menembus dadaku, saat itulah aku terbangun.
Sepertinya mimpi tadi pun tidak berbeda seperti sebelum-sebelumnya. Bagai kaset perekam kuno yang rusak dan diulang-ulang terus.
“Ukh…! Kepalaku.”
Masa bodoh sudah. Aku segera berangkat sekolah meski kepala serasa dipalu. Ada ujian yang tidak bisa remidi hari ini, makanya tidak bisa kutinggal. Hingga sampai waktu istirahat...
“Kenapa Vira? Kok lesu gitu?” Tanya temanku yang duduk di sebelah, Si Ali.
“Aa... cuma pusing karena telat sarapan aja, tidak apa-apa. Ngomong- ngomong tentang lukamu waktu itu sudah mendingan?” Tanyaku balik.
“Sudah mendingan, lagian sudah seminggu juga. Lalu soal pusingmu itu... apa perlu kuminta obat ke Bu Ita?”
“T-tidak usah, paling makan habis ini juga langsung sembuh. Oh iya! Tadi Mila mencarimu minta data observasi. Dia mungkin ada di perpus sekarang.”
“Ah iya! Kelupaan kemarin laporannya. Kalau begitu aku ke sana dulu.” Ia melambai pergi yang aku balas lambaian lemah.
Argh! Sakit kepalaku semakin menjadi-jadi dalam satu menit pertama, menyesal tadi aku menolak niat baik dari Ali. Terpaksa aku berjalan ke UKS sendirian sambil bersandar ke dinding. Sebelum pingsan.
“Permisi Bu I…ta? Tidak ada orang?”
UKS sekolah, ruangan redup dengan jejeran kasur-kasur kuning bau apek. Ditambah kumpulan obat dari berbagai penyakit pasaran yang tertata rapi di dalam lemari kaca.
“Uuuh… tidur saja dulu dah.”
Atau tidak?!!
Tanpa peringatan atau tanda sebuah siluet warna putih muncul dalam mimpiku, pecah mencampur ribuan warna dalam formasi spiral yang berputar cepat sebelum berubah jadi hitam.
Tik… Tik… Tik…
Hujan? Samar-samar beberapa titik sinar membesar dalam gelap ini. Ini… ini?!
“N-neraka!? T-tidak? Ini…!” Kebakaran besar! Mayat-mayat tergeletak di sepanjang jalan. Malam terang yang basah terbasuh hujan. Ya Tuhan!
Pemandangan ini menjauh cepat diganti kerumunan pohon-pohon besar menjulang tinggi. Namun warna Si Jago merah masih terlihat kontras di malam penuh jerit dan rintihan ini.
“*****, selanjutnya ke mana!?” Teriak suara serak dari atas kepalaku.
“Di depan sana, ke sungai kecil!” Sahut suara yang lain.
Sayup-sayup lolongan anjing menyahut di suatu sisi hutan ini, membuat dinginnya situasi sekarang semakin mencekam dan tegang.
“Sial! Mereka sudah sejauh ini?! *******! Misi kita tetap sama, bawa Nona ****** lari ke tempat tabib ******. Ayo cepat!”
“Siap!” Jawab beberapa suara.
Siiiing…! Cahaya spiral keluar menyelimuti semua pemandangan buram tadi. Berputar bagai naik roller coaster hingga hitam kembali. Semua inderaku hilang meninggalkan pikiran saja.
“Tinggal satu kenangan lagi, Himena...”
“Siapa!?” Tanyaku cepat dalam kepala.
Dari kejauhan tampak satu titik sinar jingga yang redup yang perlahan membesar hingga selaras dengan inderaku yang mulai terasa. Mula-mula terdengar suara bisik-bisik angin, hingga rasa menggigil kedinginan dan... sakit?
Bunyi air hujan.
Dentingan besi-besi.
Disambut tawa keras, mereka…
“HAHAHAA...!!! Lihat siapa yang telah bangun?”
Aku diikat di atas tiang.
“Terima kasih! Berkatmu Nona, aku- Tidak! Kami semua bisa melaksanakan rencana ini dengan sangat sempurna!”
“A… ah… aa…” Bahkan untuk sekedar berbicara aku tak bisa.
“Tidak usah repot-repot berkhutbah, efek dari racunnya masih ada bukan? Hahahaa!”
Siapa orang-orang ini?
Di mana aku sekarang?
Dan kenapa aku dirantai?
Bukannya mendapat jawaban, pria itu malah menarik busur panah dan arahnya ke…
Dat...!
“Aaaaaakh...... aakh....” Rintihku pelan, sakit sekali. Apa ini!? K-kenapa sakitnya nyata?
“Ah… maaf bidikanku meleset. HAHAHAA...!!!”
‘Pengkhianat, dasar pengkhianat…!!’ Batinku tiba-tiba tanpa bisa dikontrol, semuanya lepas dari kendaliku.
Dat...! Anak panah keduanya menancap ke bahu kananku.
“Ah! Maaf meleset lagi rupanya. Biaaar!!! Kucoba lagi.” Ucapnya dengan nada bermain tapi muka serius.
Dat....! Paha kiri. ‘Ukh! Bedebah ini!’ Batinku kesal. Jelas-jelas dia ingin membuatku menjadi sasaran hidup. Gigiku saling bersitegang menahan sakit dan amarah.
“Maaf Nona, aku rasa kualitas anak panah ini jelek. Biaaar!!! Kutembakkan dua langsung. Hahahaha!!! Satu memakai ekstrak racun ular kepala delapan, dan yang satunya... terbakar api Raja Oni!”
Dua bidikan melesat tak terlihat mengenaiku, satu panah racun sekian senti di bawah leher, satunya lagi ke jantung.
Rasa sakit dari panah sebelumnya bahkan tak berarti apa-apa daripada yang kali ini! Aku memejamkan mata, menggigit keras-keras gigi, dan menggenggam rapat jemari! Merintih tanpa bisa berbuat apa pun.
“Ah...!! Kali ini aku tepat sasaran rupanya. Hahahaaa!!!”
Mimpi buruk! Orang biadab! Dan perasaan apa ini!? Semua… kenapa terasa nyata?
Kesadaranku mulai menghilang diganti tempat hitam yang sama seperti sebelumnya. Mendengar suara langkah kaki yang mendekat perlahan-lahan.
“Maaf untuk hal ini, tapi itu adalah syarat yang kamu ajukan sendiri dulu.” Ujar satu suara. Nada yang lembut dan sedikit berat, mirip suara pria muda yang terasa berwibawa. Dia berkata kembali… “Apa yang engkau rasakan tadi adalah memori yang telah tercatat oleh waktu. Hanya soal percaya atau tidak, bila engkau ingin kebenaran yang hakiki.”
“…” Percuma, aku tidak bisa berkata. Hanya pikiran dan pendengaranku saja yang bisa kugunakan.
“Sesuai kontrak yang ada, engkau akan dikembalikan ke realita. Aku akan berusaha membantu semampuku nanti. Terima kasih dan selamat berjuang, penerus Luvius Arista.”
Luvius Arista?
BLAAR! Tempat gelap ini pecah diganti warna putih menyilaukan. Bersamaan dengan adanya dua pintu bermotif beda.
Satu pintu berbalurkan emas nan dipenuhi berbagai batu mulia, bermotifkan garis yang terkesan monoton dan kaku. ‘Kemutlakan.’ Itulah yang bisa kupikirkan. Gagang pintunya terbuat dari kaca yang menyala redup dan ada sebuah simbol yang mirip angka nol di tengah pintu.
Pintu yang lain terlihat alami dengan warna coklat yang masih segar. Motifnya abstrak, dengan satu motif dan motif lainnya saling sambung-menyambung. Gagangnya terbuat dari batu mulia warna hijau tua, dan beberapa sulur hijau disertai daun-dedaunan menjalar di setiap sisi pintunya. Dari semua itu, ada simbol mirip angka satu terukir di tengah-tengah pintu.
Kedua pintu tersebut menyatu membentuk sebuah pintu perpaduan dari dua pintu sebelumnya. Namun tanpa angka 0 dan 1. Aku memberanikan diri dan masuk dengan mata tertutup.
Sruuk…sruuk…
Suara air mengalir? Aku mendapati diri sudah berada di tepi sungai kecil berair jernih yang membelah hutan. Bersama suguhan waktu fajar yang udaranya terasa dingin menusuk tulang.
“Brrr…! H-hutan? D-di mana ini?”
Fakta kedua yang kudapatkan adalah sesuatu yang krusial sekali. Pakaianku hilang!!? Semuanya!!!
Sabar! Tenangkan dirimu Vira. “Huuft… haah… ok.”
Aku lihat tubuhku sekarang mirip anak kecil. Aku segera bercermin di buram dan gelapnya air sungai. Pantulan dibalik air mengalir itu memberi jawaban yang jelas. Ini bukan tubuhku. Wajah yang terlihat masih berumur sepuluh tahunan, bentuknya oval dengan dagu yang sedikit lancip. Mata lebar bagai biji almond dengan tatapan polos. Alis tipis gelap sehingga terkesan serius. Mulut yang manis. Dahi nan normal. Hidung yang standar. Oh! Gadis kecil ini mempunyai lesung pipit lucu di pipinya! Membuatku ingin mencubitnya dan… sakit! Tentu saja! Bodoh sekali aku ini.
“I-ini bukan mimpi, apa yang terjadi padaku?”
Bahkan suaraku jadi sedikit tinggi dan renyah, beda dari suaraku dulu. Aku menggerutu dan duduk di atas batu berdiam diri. Beruntung di sekitarku sangat sepi sekarang.
Pagi harinya, aku memungut daun-daun besar yang berserakan di bawah salah satu pohon. Merubahnya menjadi selembar pakaian ala kadarnya dengan bantuan tali sulur hijau.
Hal berikutnya yang lebih penting adalah makanan dan senjata. Makanan mungkin bisa dicari selama aku tidak pilih-pilih dan hati-hati, tapi kalau senjata... “Bagaimana ya…” Kutelusuri sungai ini berharap menemukan sesuatu, pasirnya yang hitam, beberapa kerang, dan batu-batu keras.
“Kapak batu, itu dia!”
Akhirnya setelah dua jam pembuatan, senjata sederhana selesai! Hasilnya ada lima tombak lempar dan tiga kapak batu. Semua selesai dengan tubuh berkeringat.
“Lengket sekali, uh...” Waktunya mandi.
Byuur!
Aku berenang cukup lama menyusuri tepian sungai hingga sampai di bawah bayangan pohon besar yang rerimbunan daunnya menjorok ke tengah sungai. Aku ambil nafas dan… Huph! Menyelam sekitar lima meteran. Ada karang-karang kecil di bawahku, lalu… ada sesuatu yang meliuk-liuk di depan sana. Benda bewarna hijau kasar dan buram.
‘Buaya!?’ Batinku dengan jantung berdetak kencang. Sesuatu itu meliuk-liuk mengikuti arus air sungai. Ehm… tunggu?
Itu... ternyata bukan seekor buaya, melainkan sebuah jas hijau besar yang menyangkut di karang. ‘Lumayanlah, setidaknya bisa menggantikan pakaian daunku.’ Batinku senang mengambilnya dan berenang ke atas permukaan.
Sayang. Terkadang keinginan berbanding terbalik dengan kenyataan. Saat baru setengah jalan ke permukaan, seekor ikan dari kejauhan berenang mendekat. Ikan biru keabu-abuan yang gesit melawan arah arus sungai. Sejenak aku mengira itu adalah ikan lumba-lumba karena moncongnya yang sedikit lancip. Baru setelah itu aku sadar kalau lumba-lumba hanya berada di laut. Apalagi air sungai di sini juga terasa sedikit asin dan jernih.
Berarti itu... ‘H-hiu Muaraaa…!!?’
Pernah sekali aku mendengar seekor hiu unik karena tempat tinggalnya bukanlah di tengah laut, melainkan di muara sungai yang berhubungan dengan laut. Anehnya hiu yang satu ini kuperhatikan semakin mendekat semakin besar saja!
‘Oi-oi! Kok tambah besar?!’ Sampai seukuran gajah kecil! Gawat!
Kukeluarkan semua tenaga untuk segera berenang menepi ke pinggiran. Sialnya jas yang kupakai malah menghambat lajuku! Tak ada waktu buat melepasnya lagi astaga!
Tidak…
Tidak…
Tidak… Aku tidak boleh mati di sini.
‘YAA TUHAAANN….!!!’
‘EMPAT METER LAGIII…!!!’
Aku tidak berani menoleh ke arah belakang karena sudah pasti hiu seukuran gajah kecil itu masih sangat bergairah mengejarku. Saat tinggal semeter lagi, jasku tiba-tiba tertarik ke belakang! Refleks kutendang kaki sekuat mungkin hingga membuat jas hijau ini robek hingga selutut. Namun berkat itu akhirnya aku sampai ke tepian dan se-
Brukk...
Kakiku tersandung dan jatuh ke tanah berpasir!!?
‘Aaargh! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Hiu itu masih bisa menarikku ke dalam air kalau sedekat ini dengan sungai!’ Balikkan badan! Tendang kedua kaki ke atas!
Ternyata benar saja, hiu itu loncat dan hendak menerkam sebelum perutnya tertendang olehku dan menggeser lintasannya sekian senti ke samping kiriku, menabrak tanah berpasir!
Dengan sigap saja aku berguling ke kanan saat hiu itu mencoba menerkam kepalaku. Lalu mengambil kapak batu melempar keras ke dalam mulutnya yang terbuka. Belum cukup?!! Kuambil lagi tombak batuku dan membidik hiu itu!
“Maaf, jika kau siap membunuh, maka kau juga harus siap dibunuh pula!”
Jleb! Perburuan mendadakku untuk pertama kalinya berhasil di hutan antah berantah. Aku rasa hingga seminggu ke depan aku tidak perlu lagi memikirkan masalah makanan.
Mungkin?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Linda Ika Widhiasrini
lanjut thor
2024-03-23
0
RiesSa
Terima kasih
2024-03-15
0
👑Queen of tears👑
dalam bangettt ini thor /Kiss/
2024-03-15
0