Karya ini murni karangan author sendiri ya guys 😘 maaf bila ada kesamaan nama tokoh, atau banyak typo 🙏
Karya ini lanjutan dari novel "Ku Penuhi Janjiku"
Kisah percintaan Bara dan Gala yang cukup rumit, rasa enggan mengenal yang namanya 'CINTA' membuat Bara memutuskan untuk menyendiri dan fokus bekerja.
akankah Bara menemukan cinta yang bisa menggetarkan hatinya?
Apakah Gala dapat menemukan kembali belahan jiwanya yang mampu menyembuhkan lukanya?
Yuk, simak terus ceritanya sampai habis ya😘
HAPPY READING 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan sikap Gala
Saking asyiknya mengobrol, mereka sampai lupa waktu. Ramdan melihat jam di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan waktunya untuk istirahat. Bara memerintahkan Ramdan untuk menyiapkan makan siang di ruangannya, ia malas untuk keluar karena pasti banyak perempuan gila yang terobsesi dengannya maupun Ramdan dan juga Gala.
*
*
Sore Hari.
Saat selesai makan siang, Violetta dan Azrio pulang ke mansion terlebih dahulu. Bara kembali melanjutkan pekerjaannya hingga jam pulang pun tiba, Gala sendiri kembali ke perusahaan miliknya yang letaknya berjarak satu jan dari perusahaan Bara.
"Ram, jadwal besok?" Tanya Bara.
"Besok ada meeting dengan perusahaan Makropionophella, pertemuan dengan client dari Jepang. Setelahnya, tidak ada pertemuan lagi." Jawab Ramdan.
"Makropionophella? Lah, kak Azrio katanya mau pergi ke makam besoknya sama kak Vio? Terus besok siapa yang gantiin kak Azrio?" Tanya Bara heran.
"Makropionophella, memang punya kak Rio. Tapi kalau kamu lupa, dia juga punya asisten kali boss." Ucap Ramdan. Dia memutar bola matanya malas, jika kepala Bara sudah mengepul sudah bisa di pastikan kalau majikan sekaligus sepupunya itu ngelag.
"Emang kak Vano ikut?" Tanya Bara.
"Ingin sekali menjawil mulutmu boss, kalo majikannya ikut tentu saja assisten pribadinya ikut ege. Mumpung gak ada orang, gue gak mau bersikap formal sama lu ege. mending loe dinginin dulu tuh kepala, jangan banyak nanya dulu soalnya gue gak mau kepancing emosi." Kesal Ramdan.
"Mentang-mentang umurnya lebih tua, bisa seenaknya gitu? Padahal cuman nanya doang." Ucap Bara memberenggut.
"Iya, habisnya loe selalu aja ngeselin setiap kali masuk jam pulang. Gue nyuruh loe dinginin kepala, soalnya masih ada yang mau gue bahas soal kerjaan lusa yang pastinya kita harus persiapkan dari sekarang." Jelas Ramdan.
Bara pun beranjak dari duduknya, dia masuk ke dalam kamar mandi guan mencuci wajahnya yang lelah. Setelah selesai, dia kembali duduk di kursi singgasananya seraya melonggarkan dasinya yang terasa mencekik.
"Lusa, kita akan meninjau proyek yang ada di Bandung." Ucap Ramdan menyodorkan map berwarna merah pada Bara.
"Berapa lama kita disana?" Tanya Bara melihat map yang di berikan oleh Ramdan, dia membacanya dengan seksama.
"Kurang lebih, lima hari." Jawab Ramdan.
"Hmm." Ucap Bara singkat.
Mereka berdua membahas pekerjaan untuk lusa nanti, setelah semuanya beres, keduanya lun keluar bersamaan. Bara masuk kedalam mobilnya, dia menyalakan mesin mobilnya kemudian melaju menuju sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi, jika pikirannya tengah lelah pastinya dia akan menengkan dirinya sejenak.
Satu jam kemudian.
Bara memarkirkan mobilnya di samping jalan, dia berjalan menuju sebuah kursi yang terletak di tengah hamparan rumput hijau. Dia menatap bunga yang bermekaran dengan warna cerah di depannya, satu hal yang tidak di ketahui oleh orang lain adalah, dia menyukai bunga. Terkesan aneh, tetapi itulah Bara. Baginya, melihat bunga segar memberikan ketenangan untuk dirinya, bahkan rasanya ia enggan beranjak jika melihat hamparan bunga luas dengan warna yang mencolok serta harumnya menguar di indera penciumannya.
"Hufft, Gala. Maafkan aku, aku tidak bisa memberitahukan semuanya sekarang. Aku takut kau hancur Gal, walau bagaimanapun kita itu satu." Gumam Bara menatap lurus kearah depan.
Hari ini, Bara bukan lelah karena pekerjaannya yang setiap harinya menumpuk. Dia tengah resah, memikirkan bagaimana nasib adiknya jika suatu saat ia menyampaikan kabar Seora yang sebenarnya. Entah kapan waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya, Gala terlihat berantakan sampai ia tak tega menumpuk kembali lukanya.
Triingg.
Terdengar suara notifikasi pesan masuk kedalam hp-nya. Bara merogoh saku jasnya, dia mengeluarkan benda pipih canggih itu kemudian membuka pesan masuk.
[Bar, biar aku yang menjelaskan pada Gala. Aku bertanggung jawab atas Seora, setelah pekerjaanku selesai aku janji akan datang langsung kesana ]
[Kalau bisa, kau datanglah secepatnya. Aku tidak mau melihat saudara kembarku berantakan, jika kau tidak menepati janjimu. Maka, aku tidak akan tinggal diam!]
Bara mematikan ponselnya dan kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya, ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju mobilnya.
*
*
Mansion Bramasta.
Violetta dan juga Azrio tengah berkumpul di ruang keluarga bersama Bram dan juga Renata, Gala berlalu begitu saja tanpa menyapa ataupun sekedar mengucap salam pada semua orang yang tengah menatapnya dengan aneh.
"Tuh anak kenapa? Gak biasanya nyelonong gitu?" Heran Renata menatap punggung Gala yang kian menjauh.
"Dia lagi galau bun, biarin aja." Ucap Violetta.
Tampak Renata menghela nafasnya panjang, dia lupa kalau anak bontotnya itu tengah menunggu kabar dari Seora. Gala anak yang paling dekat dengannya, meskipun ia tidak bercerita banyak mengenai kabar Seora, tetapi naluri seorang ibu mengatakan bahwa tengah terjadi sesuatu pada Seora.
Tak lama kemudian, Bara masuk ke dalam mansion dengan mengucapkan salam. Semua yang ada di ruang keluarga menjawabnya dengan serempak, Bara menghampiri kedua orangtuanya, meraih tangan kanan keduanya untuk ia salimi.
"Bara duduk." Titah Bram.
Bara duduk di sofa tunggal, dia menyandarkan tubuhnya yang terasa begitu remuk karena pekerjaannya.
"Apa kau tahu kabar Seora?" Tanya Bram.
"Enggak dad, kak Jay juga lagi nyari keberadaan Seora." Jawab Bara.
"Daddy tidak suka di bohongi!" Tekan Bram.
Bara menghela nafasnya panjang, dia menatap ke sekeliling rumah memastikan tidak ada Gala disana. Setelah dirasa aman, Bara memberikan isyarat dengan bicara tanpa suara dan memperagakan kedua tangannya untuk menjawab keraguan ayahnya. Tampak Bram dan juga Renata terdiam setelah mencerna isyarat Bara, Violetta bahkan membulatkan matanya tak percaya.
"Haiishh, kau tahu darimana Bara?" Tanya Violetta memastikan.
"Biar lebih jelasnya, nanti akan ada yang datang menjelaskan semuanya secara langsung. Aku gak mau ngasih tahu Gala sendirian, aku takut dia membenciku karena menyembunyikan semuanya, walaupun sebenarnya aku baru tahu seminggu belakangan ini." Jawab Bara.
"Anakku, Gala." Lirih Renata.
"Desak dia untuk datang, aku tidak mau melihat Gala semakin murung. Aku ingin dia kembali seperti Gala yang kita kenal, rasanya ada banyak yang hilang dari dalam dirinya, terlebih lagi dia kehilangan berat badannya dan daddy khawatir dia jatuh sakit." Ucap Bram.
Walaupun Bram tipikal ayah yang tegas, dia tetap mengkhawatirkan ketiga anaknya terutama Gala. Si bontotnya itu paling sensitif dan juga manja, tetapi kali ini dia berubah menjadi pendiam dan juga dingin, sungguh itu bukanlah Gala. Mereka merindukan sosok Gala yang berisik dan pecicilan, terlebih lagi mereka khawatir Gala jatuh sakit karena bisa di pastikan ia akan terus merengek takut jarum suntik.
Di dalam kamar Gala.
Tampak Gala menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, ia menatap kearah langit-langit kamar dengan sendu. Biasanya, sepulang kerja selalu ada seorang gadis virtual yang menyambutnya. Entah kemana perginya gadis pujaannya, sungguh dia ingin menemuinya dan memeluknya dengan sangat erat.
"Sebenarnya, kau ini kemana Seora? Sampai kapan kau menyiksaku seperti ini? Kau bilang mencintaiku, tetapi kau seakan memberikan harapana besar padaku. Lalu, kau dengan mudahnya menjatuhkan harapan itu bak gelas yang di lemparkan sampai pecah, hancur seketika." Gumam Gala.
Kepalanya seakan berdenyut, ia merasakan pusing memikirkan gadisnya. Tak terasa, matanya perlahan memejam tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Gala tertidur dengan posisi terlentang, pikirannya terlalu berisik sehingga ia memutuskan untuk meredamnya dengan cara tidur.
*
*
Keesokan harinya.
Gala masih tetap diam, bahkan dia juga tak merawat dirinya. Renata menatap sendu kearah putra bungsunya, benar apa yang dikatakan Bram, anaknya itu terlihat kehilangan banyak berat badannya.
Bara berjalan sambil memainkan ponselnya, satu notifikasi pesan yang cukup membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya.
[Aku akan datang, mungkin aku sampai disana sore hari.]
[Oke, aku tunggu kedatanganmu. Jelaskan semuanya dengan rinci, jangan sampai Gala tahu dari orang lain.] - Bara.
Setelah selesai membalas pesan yang masuk kedalam ponselnya, Bara bergabung dengan yang lainnya untuk sarapan. Gala yang berubah menjadi pendiam, membuat suasana sarapan yang biasanya hangat, kini menjadi hening dan hampa.