Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2
"Abang tenangin diri dulu okey, biar Nefa yang bikin perempuan itu mundur." Ujar Nefa dengan sangat percaya diri.
"Emang kamu tahu siapa perempuannya?" Tanya Airil yang dijawab gelengan kepala oleh Nefa.
Pria itu menatap pendar cahaya yang berkilauan, menampilkan keindahan kota Jakarta di malam hari.
"Tapi Nefa tahu siapa orang yang bisa memberi tahu kita," ujar Nefa bersemangat. Berlari ke ruang tengah, menarik paksa tangan Arraz yang sedang duduk di sana ke balkon.
Tentu saja Arraz yang membawa dua orang ini hingga bisa sampai ke apartemen.
"Abang pasti tahu kan siapa perempuan yang dijodohkan dengan Bang Airil?" Todong Nefa pada Arraz.
Pria itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Bertengger pada pagar pembatas balkon menerawang ke langit.
"Mungkin Bang Airil bisa pertimbangkan lagi permintaan Om Zaky. Dan mau ditolak bagaimanapun juga mereka sudah mempersiapkannya."
"Siapa?" Tanya Airil dingin, tidak butuh basa-basi lagi.
"Annasya Atthallah."
"Kak Nasya?" Pekik Nefa menciut.
Dengan wajah penuh rasa bersalah pada Airil ia ingin mengatakan kalau tidak bisa memukul mundur wanita yang berada diatasnya dalam hal segala-galanya itu.
Airil semakin memijat pelipisnya pusing. Bagaimana bisa dia bertindak kurang ajar untuk menggagalkan perjodohan ini. Sedang keluarga perempuan itu sangat dikenal baik oleh keluarganya.
Kalau anak sahabat-sahabat papa yang lain mungkin ia masih bisa membangkang. Tapi ini, Oh Tuhan. Airil rasanya ingin tenggelam ke dasar lautan saja.
"Kalau begini, dengan sangat menyesal Nefa mendukung perjodohan Abang. Ayo kita pulang," cicit Nefa membujuk.
Tung
Satu ketukan pelan mendarat di kepala Nefa. Arraz pelakunya.
"Kalau mau jadi pahlawan lihat situasi dan kondisinya dulu. Jangan sok jagoan jadinya memperumit keadaan," omel Arraz.
Padahal mereka bisa membicarakan ini baik-baik di rumah tanpa perlu jauh-jauh ke apartemen hanya untuk membuang waktu.
"Aku kan gak tahu, Abang juga gak spill-spill. Jangan salahin Nefa dong," protes Nefa cemberut.
"Abang mau istirahat, kalian pulang." Airil memotong perdebatan keduanya, menjalankan kursi roda ke kamar. Dia perlu menenangkan diri sebelum menerima keputusan besar ini.
"Tapi siapa yang ngurusin Abang disini!!" Teriak Nefa sebelum pintu kamar Airil terkunci.
"Abang bisa urus diri sendiri, kalian pulang!" Usir Airil tidak ingin di debat.
Keesokan siangnya Airil minta dibuatkan janji untuk bertemu Nasya. Dia akan membuat kesepakatan dengan gadis itu, memilih menolak lamaran orang tuanya atau ingin hidup tersiksa bersamanya.
Nasya tersenyum sambil melakukan satu tarikan napas pelan.
"Kalau ingin membatalkan pernikahan ini jangan hanya aku yang berjuang." Ujarnya yang tidak merasa perlu menjaga ucapan karena pria di depannya ini masih belum sah menjadi suaminya.
"Sama sepertimu aku pun tidak setuju dengan pernikahan ini. Bahkan aku tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan." Lanjut Nasya sambil mengetuk-ngetuk bibir gelas untuk menahan emosinya.
"Aku hanya melakukan penawaran. Tapi kalau kau menolak, itu artinya kau siap hidup tersiksa bersamaku." Balas Airil, tidak ada lagi senyuman di bibir yang dulu selalu ramah itu.
Setahu Nasya pria di depannya ini, hangat, humble dan murah senyum. Tapi saat ini berubah mengerikan, Nasya menelan saliva susah payah. Bagaimana dia bisa menjelaskan pada keluarganya kalau ingin menolak perjodohan ini.
Bukannya dijanjikan kebahagiaan yang ada malah diancam dengan kesengsaraan. Nasya tidak bisa membayangkan bagaimana rumah tangganya nanti.
Gadis itu tidak beranjak ketika Airil membawa kursi rodanya pergi. Dalam gamangnya Nasya memperhatikan pria yang duduk di kursi roda itu sampai menghilang dari pandangannya.
"Harusnya dulu aku tidak menyelamatkanmu," gumam Nasya kesall.
Kembali ke kantor Nasya kesulitan berkonsentrasi. Perkataan Airil menghantui pikirannya.
"Argh!!" Teriak gadis itu frustasi. Mengusap wajah gusar untuk yang kesekian kalinya.
"Tidak, tidak boleh. Aku tidak boleh terprovokasi oleh ucapannya. Kalau pernikahan ini tidak bisa dibatalkan, maka aku akan bisa meruntuhkan tembok pertahanan yang dibangun olehnya."
Nasya meyakinkan hatinya, karena sulit untuk membuat Abi membatalkan perjodohan ini.
Tidak jauh berbeda kacaunya dengan Nasya, Airil meluapkan kekesalan setiba di kantor.
"Aaarrrggghhh!!!" Pria itu memukul meja sekuat tenaga. Menyingkirkan benda-benda yang ada di atasnya dengan kasar.
Buukk!! Prank!!
Suara benda berjatuhan terdengar sampai keluar ruangan.
"Abang!!" Pekik Nefa panik.
Gadis yang menjabat sebagai sekretaris Airil itu langsung berlari masuk ke ruangan direktur. Pasca kecelakaan abang sepupunya memang jadi lebih temperamen. Emosinya sulit terkontrol.
"Abang jangan begini!!" Nefa mendorong kursi roda ke arah jendela.
Membiarkan saja ruangan itu berantakan dan menunggu sampai Airil lebih tenang baru bicara.
"Orang bilang setelah hujan badai akan terbit pelangi," Nefa menatap ke arah luar jendela. Menyaksikan langit biru yang sedang bersinar cerah dihiasi gumpalan awan putih.
"Nefa mengerti perasaan Abang, dunia Abang sedang berantakan saat ini. Tapi itu bukan berarti akan membuat masa depan Abang jadi ikut berantakan. Masih ada harapan yang bisa Abang gapai di depan sana."
Nefa menarik kursi, duduk di samping Airil. Walau tidak merespon, pria yang ada di sampingnya ini pasti mendengarkan ucapannya.
"Abang lihat, Nefa masih bisa tersenyum walau Opa berulang kali mematahkan impian Nefa. Kalau Abang merasa bisa menghindari perjodohan ini, harusnya Nefa yang lebih dulu berhasil mengejar impian Nefa. Namun nyatanya tidak semudah itu. Itu artinya, mau tidak mau Abang harus menikah dengan Kak Nasya."
Airil menoleh ke arah sang adik yang tersenyum manis, "pernikahan ini akan saling menyakiti kedua belah pihak."
"Tergantung bagaimana nanti Abang menempatkan diri. Setahu Nefa, Kak Nasya itu orangnya lembut. Tidak sulit untuk Abang jatuh cinta padanya."
"Ini bukan masalah cinta, Abang hanya akan menjadi beban untuknya. Masa depannya masih indah, bersama Abang kehidupannya akan terhambat."
"Belum tentu Kak Nasya berpikir seperti itu. Mungkin itu hanya pemikiran Abang saja. Daripada kalian saling menyerang, lebih baik membangun kerja sama dari hati ke hati." Nefa tersenyum meyakinkan.
"Lalu apa kerjasama kalian yang dari hati ke hati itu berhasil!!" Sindir Airil dengan senyuman tipis.
"Au ah, Abang urus diri sendiri. Beresin ruangan sendiri, jangan minta Nefa yang beresin!" Kesal Nefa meninggalkan ruangan direktur.
"Hey, lupa kalau kau itu sekretarisku disini," teriak Airil.
Nefa berhenti tepat di depan pintu, menoleh dengan jari telunjuk yang digoyang-goyangkan. "Untuk kali ini Nefa bukanlah sekretaris Abang," jawabnya kemudian melenggang pergi.
Airil terkekeh kecil melihat Nefa yang merajuk. Suasana hatinya sekarang sudah lebih baik.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat