Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2 Ingin Lebih Mengenalnya
Selesai makan malam panjang itu, Rania baru ke kamarnya. Bibirnya dari tadi terus melengkungkan senyuman dengan detak jantung yang cepat. Perasaan ini tentu sangat Ia ketahui, yaitu perasaan ketertarikan. Tetapi Rania harus tahu diri, dirinya hanya seorang pelayan di sini dan Candra adalah Tuannya.
"Tuan Candra sangat baik, kalau begitu aku akan betah bekerja di sini," gumamnya seorang diri.
Sebelum tidur, Rania mandi terlebih dahulu, badannya sangat lengket dan gerah. Melihat waktu yang sudah malam, Ia ke depan untuk mengunci pintu dan mematikan lampu. Tetapi Rania malah tidak sengaja melihat Candra di halaman belakang, entah kenapa Ia pun malah menghampiri.
"Hm sudah dulu, aku ngantuk." Candra segera mematikan ponselnya melihat kedatangan Rania.
"Kok belum tidur?" tanya Candra.
"Iya ini mau, kalau Tuan?"
"Saya belum terlalu ngantuk."
Masa? Tapi tadi Rania mendengar pria itu beralasan ngantuk pada seseorang di telpon. Rania hanya tersenyum tidak mau terlalu ikut campur juga, untuk apa juga Ia menanyakan itu.
"Tuan butuh sesuatu? Kopi mungkin?"
"Boleh deh, bawa kesini ya."
"Baik, saya permisi."
Rania segera ke dapur untuk membuat kopi, mungkin minuman ini akan menemani pria itu bersantai di halaman belakang. Setelah dibuat Rania kembali ke sana dan menghidangkan nya di meja. Candra tidak lupa mengucapkan terima kasih lalu menyeruput nya sedikit.
"Kamu sudah ngantuk belum Rania?" tanya Candra.
"Sebenarnya tidak terlalu, tapi besok saya harus bangun pagi untuk bersih-bersih dan masak."
"Santai saja, lagi pula saya suka bangun siang." Candra lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya, "Duduk, temani saya mengobrol sebentar."
Lagi-lagi Rania tidak berdaya menolak, Ia pun duduk saja di sebelah Candra. Mereka sempat membalas senyuman, tapi Rania langsung menunduk merasa gugup. Ditambah angin malam yang bersepoy, membuat tubuhnya semakin merinding.
"Apa saja yang kamu ketahui dari saya?" tanya Candra.
"Saya dengar anda seorang pengusaha sukses, datang kesini ingin melihat perkebunan teh dalam jangka waktu yang belum tentu berapa lama."
"Begitu ya, lalu status saya bagaimana? "
"Kalau itu saya belum tahu."
Kalau diperhatikan, Candra terlihat menghela nafas lega, "Kalau kamu sendiri, sudah ada pasangan belum? Pasti sudah ada pacar ya?"
"Belum Tuan."
"Masa sih? Kamu cantik loh, pasti di desa ini jadi kembang desa, kan?"
"Tidak Tuan, saya merasa biasa saja. "
"Itu menurut kamu, tapi menurut saya, tidak pasti semua laki-laki juga beranggapan kalau kamu sangat cantik. Saya bahkan merasa kamu bukan orang desa, kalau di kota kamu seperti model dan aktris."
Rania malah terkekeh kecil, "Anda terlalu berlebihan Tuan."
"Hei saya serius loh, kamu pasti sering lihat TV, kan? Artis pemain film itu hampir mirip seperti kamu."
"Sudah Tuan hentikan, saya jadi malu."
Melihat perempuan di sebelahnya yang terus tertawa, membuat Candra ikut tersenyum dan merasa senang sendiri. Sungguh, saat tertawa seperti itu membuat kecantikan Rania semakin bersinar. Walaupun cahaya di sana temaram, tapi Candra masih bisa melihatnya jelas.
"Jangan tersenyum seperti itu terus Rania," ucap Candra tiba-tiba.
Tawa Rania langsung terhenti mendengar itu, Ia kembali menatap Candra di sebelahnya dengan bingung. Setiap pria itu menatapnya dalam, membuat detak jantungnya selalu menjadi cepat. Suasana di sana pun kembali canggung.
"Kenapa?" tanya Rania.
"Karena senyuman kamu bisa mengalahkan cahaya bulan malam ini."
"Ya ampun Tuan, saya kira apa," ucap Rania sambil mengusap dadanya.
Kali ini giliran Candra yang tertawa, "Bagaimana? Gombalan saya terlihat natural, kan?"
"Iya, tadi saya sempat takut. "
"Hm kenapa takut?"
"Saya takut dianggap tidak sopan."
"Tidak, saya malah nyaman bersama kamu."
Tetapi Rania yang tidak nyaman, Ia selalu merasa di antara mereka harus ada batasan karena status sosial. Apalagi sikap Candra yang terlalu terbuka dan baik padanya yang hanya seorang pelayan. Malah membebani Rania.
"Saat pindah tugas kesini, saya merasa di sini akan sangat membosankan. Tetapi ternyata saya ada teman di sini, jadi tidak akan terlalu bosan."
"Teman?"
"Iya, kamu teman saya."
"Tidak Tuan, saya pelayan di sini, bukan teman anda."
"Tapi saya maunya kita temanan saja, bagaimana?"
Rania lalu berdiri, "Maaf Tuan, tapi sepertinya tidak bisa. Bukan apa-apa, tapi saya di sini itu bekerja. Mungkin saya bisa menjadi teman mengobrol anda, tapi.. Tidak lebih dari itu."
"Kamu serius sekali Rania, kamu segan ya pada saya?"
"Iya."
Candra lalu ikut berdiri, sebelah tangannya terulur menepuk-nepuk bahu kiri Rania. Tepukan nya lalu berubah menjadi pijatan pelan, kulit perempuan itu yang Ia sentuh terasa halus dan lembut.
"Sekarang mungkin kamu masih gugup, tapi nanti pasti akan terbiasa. Tidak apa, jangan terlalu dipikirkan. Tapi semoga kamu betah di sini ya Rania."
"I-iya Tuan."
"Sudah malam, ayo tidur. Saya ke kamar duluan ya, kamu juga."
"Hm."
Saat Candra pergi dan tangannya di bahu terlepas, membuat Rania langsung menghela nafas lega. Ia lalu menyentuh bahunya yang terbuka yang sempat pria itu sentuh, pijatan tadi cukup seduktif membuatnya gugup sendiri. Candra tidak sengaja, kan?
"Hah kenapa aku gugup sekali ya saat bersama Tuan Candra? Seharusnya biasa saja," ucapnya bingung sendiri.
Tidak-tidak, jangan sampai perasaan suka itu tumbuh. Rania sebenarnya senang saat Candra terlihat ingin lebih mengenalnya, tapi Rania merasa itu tidak benar karena status mereka. Rania harus bekerja dengan profesional di sini, apalagi Ia sangat membutuhkan uang.
"Lebih baik sekarang aku tidur, besok harus bangun subuh."
Di malam itu entah kenapa Rania bermimpi aneh. Ia merasa ada seseorang memasuki kamarnya, mendekati ranjang yang Ia tiduri. Seseorang yang memiliki tubuh tinggi itu duduk di dekatnya, memperhatikan wajahnya dalam.
Entahlah apa benar itu mimpi atau bukan, Rania juga tidak terlalu ingat kejadian tengah malam itu. Besok paginya pukul empat, Rania sudah bangun dan mandi. Ia pergi ke pasar menaiki sepeda untuk membeli bahan makanan yang akan dibuatnya nanti.
"Selamat pagi," sapa Candra melengokan kepala dari balik dinding.
"Kyaaa!" Rania menjerit karena terkejut.
Candra terkekeh kecil lalu keluar dari tempat persembunyiannya, "Dari mana nih?" tanyanya.
"Saya dari pasar Tuan, belanja untuk makan hari ini."
"Kamu rajin banget, bangun jam berapa memangnya?"
"Jam empat, Tuan juga sudah bangun? Ini masih pukul lima."
"Iya, saya cukup kesulitan tidur di sini. Udara di desa dan kota benar-benar beda, di sini sangat dingin."
"Iya memang benar, tapi nanti anda akan terbiasa."
"Hm, apalagi aku akan tinggal sebulan di sini." Candra melihat jam tangannya, "Saya mau jogging sebentar."
"Oh iya silahkan Tuan, hati-hati."
"Makasih sudah perhatian, saya tidak akan pergi lama kok."
Padahal Rania tidak bermaksud begitu, Candra ini selalu berlebihan. Setelah kepergian pria itu, Rania pun segera ke dapur untuk mulai masak dan membersihkan rumah. Semoga saja nanti saat Candra pulang, sarapan pun sudah siap.