BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menuju Tasik
"Ami, makasih ya. Mang Kirman, makasih ya." Ucap Kia begitu mobil berhenti saat lampu merah menyala. Dari lampu merah, ia hanya butuh berjalan sekitar 50 meter di trotoar, lalu masuk ke dalam gang. Di situlah rumahnya.
"Sama-sama, Kia. Awas turunnya kaki dulu ya!" Ami memperhatikan teman sebangkunya yang bersiap membuka pintu mobil. Mang Kirman yang menyahut sapaan Kia terdengar terkekeh.
"Nggak. Mau ngegelinding aja." Kia menanggapi guyonan Ami yang setiap hari selalu menciptakan tawa itu. Ia melambaikan tangan begitu sudah di luar mobil.
"Neng Ami, langsung pulang atau jajan dulu?" Tanya sopir yang sudah mengabdi di keluarga Ibu Sekar lebih dari setahun itu. Kegiatannya terutama mengantar belanja ke pasar induk atau mengantar pesanan konsumen Dapoer Ibu.
"Langsung pulang aja, Mang. Aku udah punya donat. Nanti Mang Kir dibagi deh." Ami beralih membuka akun medsosnya selama perjalanan menuju rumah.
Tiba di rumah langsung menuju lantai dua karena ibunya belum pulang dari pengajian. Ami sudah mempunyai kamar sendiri. Menempati kamar bekas kakak pertamanya. Kamar yang paling luas yang ada di rumah itu. Dengan jendela menghadap pemandangan jalan raya. Karena semua orang belum pada pulang, ia memutuskan mandi saja sekalian lanjut menunaikan sholat ashar.
"Amiiiii." Itu teriakan Aul yang baru pulang menyurvei bangunan baru. Ia membuktikan kecintaannya pada usaha kuliner dengan mengelola usaha rintisan yang ada sehingga mampu menabung laba yang banyak. Akan menjadi penerus ibunya mengembangkan sayap Dapoer Ibu. Sebentar lagi Dapoer Ibu 2 dengan konsep cafe, akan segera grand opening. Masih berlokasi di Ciamis, sebelum kawasan Alun-Alun.
Ami membuka pintu masih dengan berbalut mukena. "Apa, Teh?"
"Ada titipan dari Kak Angga, kan?" Aul menaikkan satu alisnya.
"Eciee, tau aja ada hadiah dari Ayang." Goda Ami sembari masuk lagi ke dalam kamar dan membuka mukenanya diikuti oleh Aul.
"Mi, jangan bilang gitu. Entar keceplosan di depan Kak Panji jadi teteh yang nggak enak." Tegur Aul.
"Makanya teteh buruan pilih atuh kasian. Jangan...kau menggantungkan hubungan ini, kau tinggalkan aku tanpa sebab, maunya apa, ku harus bagaimana. Kasih....." Ujung-ujungnya Ami malah bernyanyi dengan penuh penjiwaan di hadapan Aul yang duduk di tepi ranjang.
Aul tidak merasa dinasehati, malah tertawa-tawa. Geli dengan tingkah si bungsu yang tetap saja kelakuannya tidak berubah. Sejak Zaky kuliah di Singapura dan kini masuk semester tiga dengan biaya 100% dari Papi Krisna, penghuni rumah hanya tinggal tiga perempuan saja. Ditambah satu orang ART.
"Diam ya, bocah mah mana paham urusan orang dewasa." Aul siap beranjak keluar dengan menenteng paper bag pemberian Anggara itu.
Ami merentangkan tangan, menghalangi jalan. "Eit, kata siapa bocah. Bentar lagi aku sweet seventeen. Itu artinya bocah udah bisa bikin bocah," ujarnya sambil terkikik.
"Hus, belajar dulu yang bener. Awas ya kalau pacaran!" Aul menyentil kening Ami. Sekali menggelitik pinggang adiknya itu, jalan keluar pun terbuka.
"Teteh, Ibu udah pulang belum?" Teriak Ami menatap Aul yang mulai menuruni tangga.
"Udah." Suara Aul terdengar sudah jauh.
"Ih, kenapa gak bilang. Kan aku pengen oleh-oleh snacknya." Gerutu Ami bicara sendiri. Bergegas menyusul menuruni tangga sambil bernyanyi-nyanyi,
Engkau masih anak sekolah, satu SMA
Belum tepat waktu tuk begitu begini
Anak sekolah datang kemari
Dua atu tiga tahun lagi
Ami mencari Ibu Sekar yang ternyata ada di kamar sedang berganti pakaian. Ia langsung saja berguling di ranjang yang dulunya dipakai tidur berdua dengan ibunya itu.
"Bu, dapat snack nggak? Aku liat di meja nggak ada." Ami menatap ibunya yang sedang menyisir rambut di depan meja rias. Sudah berganti baju daster. Sejak dulu, berburu buah tangan ibunya tiap pulang pengajian adalah kesenangan tersendiri. Suka penasaran dengan isinya.
"Tadinya dapet. Tapi ada nenek yang nggak kebagian, punya Ibu dikasihkan aja. Kasian. Nenek itu juga buat oleh-oleh cucu, katanya sampe suka nungguin di teras. Ami mah nggak dapat snack masih mampu beli, kan?" Bu Sekar duduk di tepi ranjang menatap Ami.
"Iya nggak apa-apa. Aku punya donat madu dari Kak Angga. Tadi pulang sekolah ketemu di parkiran. Kak Angga nitip hadiah buat Teh Aul." Ucap Ami santai. Rambut panjangnya diuraikan ke samping bahu agar tidak kusut.
"Ibu kenapa liatin aku senyum-senyum gitu?" sambung Ami menatap heran ibunya.
"Ibu masih nggak nyangka, Ami udah gede aja. Perasaan baru kemarin segini, sekarang udah segini." Bu Sekar memperagakan ketinggian badan dengan tangan ke bawah lalu berganti naik mendongak.
"Kurang, Bu. Cantik dan imutnya harus disebutin juga." Protes Ami yang berguling hingga beralih tiduran di pangkuan Ibu. Tetap saja masih suka bermanja.
"Iya. Anak bungsu Ibu makin cantik dan selimut. Hati-hati dalam bergaul ya, Neng. Harus pintar pilih teman. Jangan sampe kebawa arus." Ibu mengusap-usap rambut Ami penuh sayang.
"Asiap, Bu komandan." Ami memberi hormat dengan mengangkat tangan. "Eh, nyebut komandan jadi ingat Pak Happy. Bu, Pak Happy masih ada? Perasaan udah lama nggak datang lagi ke sini," sambungnya mendadak terkenang pernah menjahili dengan memberi tebak-tebakan.
"Hm, Ibu dengar sih tinggal di Jerman." Dada Bu Sekar mendadak berdesir. Gara-gara pertanyaan Ami. Nama yang sudah dikubur itu malah tergali lagi. Padahal sudah lama putus komunikasi. Pergi pun tanpa pamit. Hanya tahu informasi dari orang lain saat tak sengaja menguping obrolan saat menghadiri acara di gedung Bupati.
***
Akbar menuruni tangga dengan menenteng koper kecil. Mengenakan hoodie serta celana pendek yang terkesan santai. Rencana kunjungan kerja ke Tasik selama dua hari. Ingin memantau hotelnya secara langsung. Sekaligus memenuhi undangan ke sekolah SMA IT Al Barkah, sebagai motivator.
Sudah ada Leo menunggunya di ruang tengah. Sedang berbincang dengan Mama Mila. Sudah pasti sedang membicarakan seleksi calon pacar, tebaknya.
"Mam, Akbar berangkat ke Tasik sekarang." Akbar sengaja mempersingkat waktu agar pembahasan yang membuat panas kuping itu disudahi.
"Nanti dulu, Akbar. Duduk!" Perintah Mama Mila.
Mau tidak mau Akbar menurut. Duduk di samping Leo yang kentara melirik sambil tersenyum tipis.
"Leo bilang CV belum dibaca semua. Kenapa? Dilihat aja dulu fotonya, Bar. Orang tuh pertama kali bisa tertarik karena visual. Dari tertarik jadi suka, lalu jadi cinta. Mama kan janji nggak akan jodohin lagi. Gantinya ya itu. Masa sih dari semua CV nggak ada satu pun yang menarik. Anak Mama yang ganteng ini normal, kan?" Mama Mila mulai ceramah.
Akbar menyikut pinggang Leo yang kentara membekap mulut menahan tawa. "Iya, Mam. Pulang dari Tasik, Akbar akan pelajari lagi ya. Boleh pamit sekarang, Mam? Biar nggak terlalu malam," ujarnya diiringi memasang senyum manis agar ibunya itu selesai merepetnya.
"Rama anaknya udah mau dua. Adikmu bentar lagi nikah. Kamu kapan, Bar?" Mama Mila rupanya belum puas menceramahi anak pertamanya itu. Jawabannya di luar ekspektasi.
"Kalau Mama kapan mau pulang ke Singapore? Kasian Papa kesepian. Mana di sana ceweknya seksi-seksi. Mama nggak takut Papa ada yang godain?" Tanya Akbar dengan memasang wajah dan senyum jahil. Ibunya itu sudah seminggu ini mengunjunginya. Rumah besar dua lantai ini adalah rumah keluarga. Bahkan rencananya masa tua kedua orang tuanya itu akan kembali tinggal di Jakarta.
"Issshh, Akbar. Kalo orang tua ngomong tuh dijawab." Mama Mila menggeram gemas. Tangannya mencakar bantal sofa yang ada di pangkuannya. "Papa nggak mungkin selingkuh. Udah Mama ancam bakal disunat lagi. Udah ah, Mama mau vc an sama Papa. Sana kalau mau berangkat. Mudah-mudahan ada mojang Tasik yang nyantol." Ia akhirnya ketakutan juga karena ucapan Akbar. Teringat hari ini belum berkomunikasi dengan Papanya anak-anak.
Akbar tersenyum lebar. Menang. Ia beranjak pindah dan memeluk Mama Mila penuh sayang, meskipun akhir-akhir ini ibunya itu menjadi cerewet. Ia maklum. Kekhawatiran sang ibu sebagai bukti rasa sayang padanya.
"Hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut." Mama Mila mengecup kening Akbar.
Leo pun berpamitan dengan mencium tangan Mama Mila.
Pintu garasi bergeser dengan sendirinya hanya dengan menekan tombol. Tiga mobil mewah dan dua motor gede terparkir rapih. Sepeda terpajang di dinding menggunakan pengait khusus. Lengkap mulai dari jenis mountain bike, road bike, juga sepeda lipat.
"Kita pakai mobil mana, Bro?" Tanya Leo. Semua mobil terlihat bersih dan kinclong.
"Si kuning aja. Sekalian test drive di tol Cipularang." Sahut Akbar sambil mengambil kunci Lamborghini di kotak khusus yang menempel di dinding. Dan hanya bisa dibuka dengan password. Mobil sangar yang sangat kinclong itu baru dibelinya dua bulan yang lalu.
" Sini kuncinya!" Leo membuka tangan menunggu lemparan kunci.
"Gue yang nyetir. Pengen gas pol di tol." Tegas Akbar. Tak ingin dibantah.
"Gue aja yang nyetir, Bar. Karna tau lo bakal ngebut. Kalo nggak ngasih itu kunci, gue nggak jadi ikut!" Leo keukeuh memaksa diiringi ancaman.
Akbar menatap dengan sorot protes. Mendengkus kesal. Tak urung melemparkan kunci yang sigap ditangkap Leo.
"Gue ngerasain mental after married itu beda. Udah nggak pengen nongkrong sampe malam, lebih senang quality time berdua. Termasuk nggak berani lagi kebut-kebutan karena ada yang tercinta di rumah, nunggu kita pulang dengan selamat." Ucap Leo begitu mobil sudah melaju di jalan raya terdengar bijak.
"Begitukah?" Akbar menoleh dengan tatapan keraguan.
Leo mengangguk. Pandangannya tetap fokus ke depan. Cukup menyetir dengan kecepatan sedang. Tak dipungkiri godaan ingin mengggeber mobil sport dengan kecepatan maksimal 345 km/jam itu sangat kuat. Tapi bisa dikalahkan oleh mental yang menjadi ciut, takut. "Entar deh lo bakal ngalamin sendiri," ujarnya dengan yakin.
"Beda nih calon Bapak. Lo sekarang jadi dewasa kalo ngomong. Biasanya besok gimana nanti." Akbar tertawa meledek.
Leo hanya nyengir. Teringat kelakuan nakalnya dulu.