“Mbak, saya tidak pernah merebut suami Mbak. Seharusnya Mbak tanya Mas Devan kenapa dia mengaku belum menikah,” sahut Karin membela diri.
“Eh, kamu malah mengajari saya.” Renata kembali mengayunkan tangannya, refleks Karin memejamkan matanya. Tiba-tiba suasana hening dan tidak ada tangan yang mendarat di wajahnya. Karin pun perlahan membuka matanya
“P-Pak Arga,” ucapnya.
“Arga.” Renata terkejut dengan kehadiran Arga diantara mereka.
“Ka-kamu kenal dia?” tanya Renata pada Arga.
“Tentu saja, dia tunanganku. Calon istri Arga Sadewa,” jawab Arga.
***
Karin Amanda, tidak menyangka jika kekasihnya sudah menikah. Akhirnya dia memilih menikah dengan Arga Sadewa yang memiliki masa lalu dengan istri mantan kekasih Karin.
Rumah tangga yang Karin jalani tidak mudah, karena mereka menikah tanpa cinta dan diganggu dengan kehadiran para mantan.
Apakah Karin harus menyerah dengan cintanya atau berusaha mendapatkan hati Arga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hm ... apa ya ?
Karin mengirimkan pesan dan mengatakan jika dia sedang tidak sehat dan tidak memungkinkan untuk tetap esok berangkat.
[Minum obat dan istirahat, ditunggu kehadirannya di kantor]
“Argggg,” pekik Karin sambil mengacak rambutnya. Kesedihannya menguap entah kemana, karena membaca pesan yang mengultimatum untuk besok agar tetap hadir.
Keesokan hari.
Karin sudah berada di kubikelnya, membaca dan memahami kembali bahan yang akan dipresentasikan. Sementara masalahnya dengan Devan seakan ter-skip karena kepanikan urusan pekerjaan untuk saat ini lebih penting. Meskipun hanya karyawan magang tapi penting untuk kelanjutan kuliahnya. Dia tidak akan bisa melanjutkan skripsi jika hasil magangnya dinyatakan tidak baik.
“Gimana, udah siap?” Bu Ella, pimpinan divisi marketing sudah berdiri di depan kubikel Karin. Bukan menjawab Karin malah mencibir.
“Tidak terima penolakan dengan alasan apapun kecuali besok kiamat. Untuk saya, ini seperti kiamat, Bu,” jawab Karin, sedangkan Bu Ella malah terkekeh.
“Nggak begitu Karin, Pak CEO dan yang lain pasti sudah bosan melihat presentasi dari karyawan lama. Kalau kamu yang maju anti mainstream. Nggak usah khawatir ditolak produk kita akan ditolak. Produk ini sudah siap produksi, kita hanya mengajukan untuk bahan promosi. Semangat ya, ingat surat keterangan magang kamu akan dibuat sesuai rekomendasi dari saya,” ungkap Ella. Kalimat yang berisi motivasi tapi ada ancaman di akhirnya.
“Tapi Bu, kalau presentasi saya buruk gimana?”
Ella menepuk bahu Karin, “Semangat Karin, masa depan divisi ini ada di pundakmu,” ujar Ella menambah beban Karin lalu berjalan meninggalkan kubikel Karin.
“Yah, si Ibu.”
Karin mengusap wajahnya kasar termasuk mengacak rambutnya.
Rekan kerja Karin yang berada di sebelah kubikelnya ikut bicara, “Tenang aja, dunia nggak bakal kiamat kalaupun presentasi kamu nggak bagus.”
“Ini apa sih, kenapa semua bahas kiamat. Kak, bantuin dong,” rengek Karin.
“Fighthing.”
“Ahhh, rese.”
Setelah jam makan siang, semua perwakilan divisi sudah berada di ruang meeting, begitu pun Karin yang duduk di samping Bu Ella. Semua peserta rapat berdiri, termasuk Karin saat Ceo hadir di ruangan. Karin menoleh sekilas dan mengernyitkan dahinya.
Masih muda, aku pikir Pak CEO itu sudah tua, mukanya garang dan perutnya buncit. Ini mah sebelas dua belas sama Ji Chang Wook, batin Karin. Bu Ella menarik tangan Karin membuyarkan lamunannya, ternyata semua peserta rapat sudah duduk kembali.
“Ganteng ‘kan? Kalau saya belum punya suami juga mau deh dekat-dekat sama Pak CEO,” bisik Bu Ella.
Karin menghela nafasnya, karena kembali gugup mengingat dia akan bicara di depan. Tidak bisa membayangkan jika presentasinya buruk, malunya pasti pake banget.
Karin menyimak presentasi dari divisi lain yang menjelaskan mengenai rencana jangka pendek di tiap divisi. Karin benar-benar menyimak sebagai bahan masukan untuknya nanti bicara di depan. Akhirnya tiba divisi marketing.
Bu Ella berdiri, “Selamat siang, yang terhormat Pak Arga selaku CEO Diamond Success, dan rekan-rekan sekalian yang berbahagia. Presentasi dari tim marketing akan dibawakan oleh Karin Amanda, karyawan magang dimana dia adalah mahasiswa dengan jurusan public relation. Silahkan Karin,” ujar Bu Ella lalu kembali duduk.
Karin sempat melihat sekeliling, semua menganggukkan kepalanya mendengar Bu Ella bicara, tapi Pak Arga menoleh pun tidak. Wajah datarnya hanya fokus pada dokumen di tangannya, entah dokumen apa. Padahal walaupun dia sibuk, untuk apa diadakan rapat sedangkan dia selaku pimpinan malah asyik sendiri.
Karin pun memulai presentasinya. Awalnya terlihat sekali jika dia gugup, tapi melihat Pak Arga seperti tidak menyimak malah membuat Karin percaya diri dan presentasi berakhir dengan baik. Sama seperti divisi lain yang mendapatkan applause ketika salam penutup.
Hahh, lega. Batin Karin.
“Jangan senang dulu. Air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan,” bisik Bu Ella.
“Hahh, maksudnya apa Bu?” tanya Karin kembali berbisik. Bu Ella tidak menjawab karena terlihat Pak Arga akan bicara.
Semua presentasi divisi dikomentari dengan detail oleh Pak Arga, artinya dia menyimak semua yang disampaikan meskipun tatapannya tidak mengarah ke depan.
“Untuk divisi marketing, produk yang kalian bahas ini sedang diproduksi dan siap launching. Materi promosi yang kalian buat untuk berbagai media pada dasarnya sudah oke, tapi kita butuh slogan untuk produk baru ini. Yang tidak biasa dan bisa diterima. Ingat ini kosmetik, konsumennya perempuan. Hubungkan dengan kekhawatiran perempuan dengan produk ini. Slogan yang kalian buat itu biasa saja, tidak membuat produk baru ini berharga atau memang kerja kalian biasa saja?”
Karin menelan salivanya mendengar tutur kalimat dari Pak Arga. Sesaat pandangan mata Karin dan Arga terpaut, Karin pun menunduk.
Wajahnya datar tapi omongannya tajam, batin Karin.
“Hey, kamu karyawan magang,” panggil Arga.
Bu Ella menyenggol tangan Karin, membuat Karin menoleh.
“Apa masukan slogan dari kamu tentang produk ini? Kalau tidak bisa menjawab, lebih baik kamu cari tempat magang lain!”
Karin terkejut dan bingung, benar-benar merasa di ujung tanduk. Otaknya nge-lag dan tidak mampu berpikir.
“Hm, itu … apa ya….”