Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2
"Jo, cepetan dikit napa, aku beneran telat!" gerutu Rania kesal.
"Sabar dong, Ra, itu di depan macet," jawabnya santai bin datar.
"Astaga, pasrah lah hari ini aku beneran kesel, itu gara-gara cowok tadi tuh," omelnya dengan kecepatan delapan koma lima kata perdetik.
Jovan langsung ngebut begitu menemukan jalan lengang. Meski sudah berkendara ala-ala pembalap handal, Rania tetap ketinggalan teman-temannya. Ia sedikit berlari menuju ruang Dekan yang sialnya Pak Wardana sudah tidak ada di ruangannya.
"Pak, Pak Dana ke mana ya?" tanya Rania gusar. Menemukan staf lain di sana.
"Beliau 'kan hari ini cuma bimbingan sebentar, hari ini ada seminar sampai sore," jelasnya membuat Rania menganga.
"What! Jadi maksudnya saya harus nunggu sampai beliau pulang gitu."
"Kalau mau menunggu ya begitu prosedurnya, tetapi saya sarankan kamu pulang saja, kembali besok di ruangannya, semoga beruntung," ucapnya lalu.
"Sial!" batin Rania kesal meninju udara. Perempuan itu harus menunggu Pak Wardana sampai selesai kegiatan. Bahkan gadis itu sebelumnya sudah menyiapkan hari ini dengan seabrek kesiapan.
Berjalan lesu sembari mencangklong tas punggungnya. Menuju lift yang akan mengantar ke lobby depan.
"Terus gue ngapain di sini?" gumamnya kesal sendiri.
Mojok di kantin sembari memikirkan langkah paling mutahir untuk menemui Pak Wardana di rumahnya. Biarpun malu, tetap harus dikubur demi surat tembusan yang harus ia dapat untuk tugas di Rumah Sakit yang telah ditunjuk fakultas.
Rania pun memutuskan pulang ke kost-kostan. Ia juga berencana pindah kost, mencari tempat yang lebih dekat dengan rumah sakit nantinya tempat ia koas.
"Mobil di bengkel, wifi loading mulu, di kost pengangguran, gue ngapain dong, ya ampun ... stress berat nih hidup!" Rania menggerutu kesal sepanjang hari.
Akhirnya perempuan itu pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Mengambil motor lebih tepatnya, sekalian pamit untuk jarang pulang karena minggu depan sudah mulai koas.
"Tumben sempat pulang anak Mama," tegur Mama Inggit merasa anaknya semakin menjauh saja.
"Ayolah Ma, jangan mulai, Rania benar-benar sibuk, mungkin besok Mama bakalan jarang dapat notif pesan dari Rania," ujarnya menggoda.
"Jaga kesehatan Ra, calon dokter nggak boleh sakit, nanti siapa yang ngobatin," pesan Mama Inggit penuh perhatian.
"Papa mana, Ma? Aku mau sekalian pamit, minta tambahan uang saku dan pastinya nyerahin kunci mobil, aku mau bawa motor."
"Mobil kamu di mana? Jangan bilang kamu nakal lagi di jalan bikin rusuh lalu kena tilang."
"Nggak Ma, suer, kemarin cuma terjadi kecelakaan kecil, dan sudah diatasi kok, cuma ada sedikit perbaikan di bengkel, makanya tolong bilangin ke papa minta saku tambahan," rengek Rania yang membuat mamanya tak bisa banyak komentar.
Disisi lain Rayyan baru saja sampai di rumahnya. Pria itu pulang ke rumah setelah sesi makan malam usai di rumah mamanya. Beginilah suasana hatinya, sepi, menggenggam rindu yang tak pernah tergapai. Beberapa kali sempat bertemu dengan pujaan hatinya tak mampu membuat keduanya menemukan kata sepakat. Hanya sepaket harapan yang mulai terkikis, karena kini Bintang memilih langkahnya sendiri.
Penantian panjang yang sia-sia, menjadikan dirinya penuh luka dan amarah. Kendati demikian, selalu terbesit rasa ingin hadir di sana walaupun sudah tidak diterima.
Menatap langit sembari menghela napas sepenuh dada, rasanya terlalu berat untuk datang di acara sakral mereka.
"Aku bisa apa sih, jika kamu lebih memilih Alan dari pada aku," gumamnya kecewa.
Kertas akasia berbalut pita rapih dengan tulisan 'the wedding Bintang dan Alan' pria itu lempar begitu saja.
Ternyata ucapan tante Gea menyandingkan dengan anak sahabatnya itu benar adanya. Walaupun berkali-kali Alan merasa tak enak dengan keluarga Wirawan nyatanya pernikahan mereka akan tetap dilangsungkan.
"Oke, hidup masih tetap berjalan, dan aku menikmati kesendirian ini," gumamnya nelangsa.
Tak terasa ia sudah menghabiskan beberapa botol minuman kaleng yang bahkan selalu menjadi kenangan saat ketimpuk di taman.
"Aahrgghhh ... sial, sial!" Pria itu tampak marah dan kesal.
Bu Wira yang selalu menjadi cerewet saat anaknya dalam keterpurukan. Tetapi Rayyan kali ini memilih untuk tetap tegar.
Menyibukkan diri dengan segudang aktifitas pekerjaan di rumah sakit, membuatnya sedikit terhibur.
"Ray, nanti kalau ada peserta koas cari tanda tangan Papa, kamu wakilkan, sudah semua tinggal satu orang dan Papa tidak mau menunggu," ujar Pak Wira memberi pesan.
"Kenapa saya Pa, dilimpahkan ke kepala bagian saja, aku hari ini sibuk," ucapnya menyela.
"Tinggal disetujui aja apa susahnya, kasihan mereka yang mau belajar. Kamu kenapa sih nggak semangat terus, ambil cuti saja kalau tidak fokus, pekerjaan kamu berat dan tanggung jawab kamu besar," protes Pak Wira sengit.
"Iya Pa iya," jawabnya santai.
Sementara Rania pagi ini bangun lebih awal, hari kemarin cukup membuatnya gagal, tetapi hari ini ia berdiri tegak dengan surat tembusan di tangannya yang ia dapat dengan penuh perjuangan. Berjalan gontai menemui kepala bagian rumah sakit untuk menyerahkan surat tembusan dari dekan.
Sebelum mengetuk pintu entah mengapa ia sudah gugup sendiri, padahal semuanya akan menjadi mudah bila sudah ditandatangani. Prosesnya lah yang bikin deg degan.
"Selamat pagi menjelang siang, Dok—" Mulutnya menganga mendapati seseorang yang duduk di kursi singgasana.
"Owh ... jadi kamu mahasiswa yang mau koas di sini?" tanya Rayyan sembari meneliti perempuan itu dari ujung kepala sampai kaki.
"Mati aku!! Mama, maaf ma, sepertinya aku gagal jadi dokter," batin Rania putus asa.