Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengganggu
Sore harinya, Arthur sedang berada di ruang baca radiologi, sendirian menatap layar monitor yang menampilkan hasil CT Scan pasien tumor otak yang sangat rumit, ruangan itu remang-remang, hanya diterangi cahaya dari monitor.
Karin masuk tanpa mengetuk, membawa dua kaleng minuman dingin. "Kasus yang sulit, Dok? Area medulla oblongata memang selalu menantang," ucap Karin sambil meletakkan minuman itu di samping tangan Arthur.
Arthur tidak menoleh, matanya tetap terpaku pada layar, "Ya, sedikit infiltrasi ke pembuluh darah utama," ucap Arthur.
Karin tidak mundur, ia justru berdiri sangat dekat di samping kursi Arthur, ikut mencondongkan tubuhnya ke arah layar hingga aroma parfum mahalnya memenuhi indra penciuman Arthur.
"Saya sempat menangani kasus serupa saat di universitas A dulu, teknik microsurgery yang Dokter gunakan kemarin sangat inspiratif. Boleh saya duduk di sini sebentar? Saya ingin mendengar pendapat Dokter soal pendekatan lateral approach untuk kasus ini," ucap Karin.
Arthur menggeser kursinya, merasa ruang pribadinya terinvasi. Namun, karena Karin bertanya soal medis, Arthur tidak punya alasan untuk mengusirnya. "Silakan, tapi saya hanya punya waktu sepuluh menit sebelum jadwal visit sore," ucap Arthur.
"Tidak masalah, Dok," jawab Karin.
Sepuluh menit yang diberikan Arthur benar-benar dimanfaatkan Karin untuk terus berada di dekatnya, meski Arthur sudah memberikan jarak dengan menggeser kursinya, Karin berkali-kali mencoba memangkas jarak tersebut dengan dalih menunjuk detail kecil pada monitor.
"Kalau kita gunakan sudut ini, bukankah risikonya lebih kecil, Dokter Arthur?" tanya Karin dengan suara yang sengaja dilembutkan.
Karin mencondongkan tubuhnya hingga rambut panjangnya nyaris menyentuh bahu jas putih Arthur, Arthur melirik sekilas ke arah tangan Karin lalu kembali ke layar dengan ekspresi yang semakin datar.
"Sudut itu justru akan menghambat akses ke arteri vertebralis, pendekatan yang saya pilih sudah yang paling aman," jawab Arthur pendek, suaranya sedingin es.
Karin tersenyum tipis dan ia tidak menyerah, "Dokter Arthur memang selalu punya perhitungan yang matang, saya benar-benar kagum karena jarang ada pria yang punya dedikasi setinggi anda," ucap Karin.
Arthur melirik jam tangannya, tepat sepuluh menit, tanpa membalas pujian Karin, ia langsung berdiri dan mematikan monitor membuat ruangan itu seketika menjadi gelap gulita hanya dalam hitungan detik.
"Waktu habis, Dokter Karin. Saya harus visit ke bangsal sekarang," ucap Arthur tanpa menoleh dan berjalan melewati Karin begitu saja menuju pintu keluar.
"Dokter Arthur!" panggil Karin dengan langkah yang terburu-buru mengejar Arthur di koridor.
"Minumannya belum Dokter sentuh, setidaknya bawalah satu," lanjut Karin.
"Minum saja untuk anda sendiri, saya tidak terbiasa minum minuman kaleng di jam kerja," ucap Arthur dan terus berjalan tanpa mengurangi kecepatannya.
Karin tidak memedulikan penolakan dingin itu, ia terus melangkah cepat di samping Arthur, berusaha menyamai langkah lebar pria itu meskipun ia harus sedikit setengah berlari dengan sepatu hak tingginya.
"Dokter Arthur, tunggu sebentar. Saya rasa kita belum selesai membahas soal tumor tadi, jika Dokter tidak keberatan, bagaimana kalau kita lanjutkan pembahasannya sambil makan malam? Ayah saya kebetulan juga ingin mendengar perspektif Dokter mengenai pengembangan fasilitas bedah saraf di rumah sakit ini," ucap Karin dengan nada yang gigih dan mencoba mencampurkan urusan profesional dengan tawaran pribadi.
Arthur menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat Karin hampir menabrak punggungnya. Arthur berbalik, menatap Karin dengan sorot mata yang tajam dan tak bersahabat.
"Dokter Karin, saya sudah katakan berkali-kali. Urusan pekerjaan selesai di jam kerja dan saat ini saya harus fokus pada pasien di bangsal. Berhenti mengikuti saya, karena tindakan anda ini mulai mengganggu bagi saya," ucap Arthur.
Karin tertegun mendengar perkataan Arthur, bahkan wajahnya memerah karena malu sekaligus kesal, sebelum ia sempat membalas, Arthur sudah berbalik dan masuk ke dalam lift khusus staf.
Di dalam lift, Arthur menarik napas panjang, ia melirik pantulan dirinya di pintu lift yang mengkilap, merapikan jas putihnya yang sempat terkena aroma parfum Karin, Arthur merasa muak dan entah mengapa pikirannya langsung beralih pada Kayla.
Begitu pintu lift terbuka di lantai bangsal, Arthur segera melangkah menuju meja perawat dan ia melihat Kayla sedang sibuk.
"Laporannya sudah selesai?" tanya Arthur dengan nada datar yang biasa ia gunakan di rumah sakit.
"Sudah, Dokter Arthur. Semuanya sudah saya letakkan di map biru," jawab Kayla.
Arthur mengambil map biru tersebut dan membukanya di depan Kayla, ia membalik halaman demi halaman dengan teliti, sementara beberapa perawat di Nurse Station mencuri pandang, menunggu kritikan tajam yang biasanya keluar dari mulut Arthur.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaan, Arthur mengangguk pelan, ekspresi wajahnya yang semula tegang tampak sedikit melunak. "Analisis pre-operative yang kamu tulis di sini sangat mendalam, kamu bahkan memasukkan risiko komplikasi yang jarang dibahas koas lain, laporan ini dibuat dengan cukup baik," ucap Arthur dengan suara baritonnya yang tegas namun jelas terdengar sebagai sebuah pujian.
Para perawat saling berpandangan dengan wajah terkejut, jarang sekali Arthur memberikan pujian langsung di area publik seperti ini apalagi kepada seorang mahasiswa koas.
Kayla sendiri sempat terpaku, matanya yang tadi sempat mendung kini sedikit berbinar. "Terima kasih, Dokter Arthur. Saya hanya mencoba mengikuti instruksi yang anda berikan kemarin," ucap Kayla dengan antusias.
"Pertahankan kualitas kerjamu, jangan biarkan hal-hal di luar medis mengganggu fokusmu," ucap Arthur.
"Baik, Dok. Akan saya pertahankan kerja saya ini," ucap Kaula.
Arthur menutup map tersebut dan memberikannya kembali kepada Kayla, "Bawa ini ke ruanganku nanti sore untuk tanda tangan evaluasi," perintah Arthur dan diangguki Kayla.
Arthur pun pergi meninggalkan Kayla, melihat kepergian Arthur. Kayla langsung menatap perawat yang sejak tadi ada di sana, "Selamat Dokter Kayla," ucap Sita salah satu perawat.
"Akhirnya Dokter Arthur gak marah-marah tentang laporan, biasanya Dokter Arthur selalu marah dan kurang puas sama laporanku," ucap Kayla.
"Itu artinya kamu sudah semakin berkembang dan Dokter Arthur menunjukkan rasa bangganya karena menjadi pembimbing kamu selama kamu koas di rumah sakit ini," ucap Nadia.
"Iya, aku terharu banget," ucap Kayla.
Suasana di nurse station mendadak jadi jauh lebih santai, Kayla memeluk map biru itu erat-erat ke dadanya, seolah map itu adalah harta karun yang paling berharga. Pujian dari Arthur bukan sekadar validasi profesional, tapi juga obat penawar luka setelah hatinya sempat panas.
"Sudah jangan senyum-senyum terus, nanti kalau Dokter Arthur lewat lagi dan lihat kamu tidak kerja, bisa-bisa dicabut itu pujiannya," canda Sita sambil tertawa kecil.
"Eh, iya! Aku mau lanjut cek kamar 302 dulu ya," jawab Kayla semangat.
Kayla melangkah pergi dengan perasaan bahagia bahkan Kayla hampir saja menari menyusuri lorong rumah sakit, rasa lelah yang sejak pagi menggelayuti pundaknya seolah menguap begitu saja.
.
.
.
Bersambung.....