Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Hanum Pratiwi
Deburan air menabrak batu karang menjadi instrumen penghantar malam yang semakin kelam. Desiran angin mengalun merdu mengimbangi gulungan ombak yang menyapu daratan. Cahaya rembulan yang penuh terpantul keemasan di permukaan laut yang mulai tenang. Suasana syahdu pun tercipta menusuk raga, membuat jiwa terhanyut dengan indahnya samudera.
Tampak sosok perempuan yang masih betah berdiri di antara deburan ombak, memandang laut lepas yang tanpa batas. Udara dingin tak mempengaruhi tatapan matanya, yang tenggelam dalam lamunan panjang. Entah apa yang sedang merasuki fikirannya, hingga tak mengindahkan sekeliling. Seorang pemuda terlihat turun dari motor, berjalan menghampirinya dengan mantel yang terlampir di lengan kiri.
"Bu, sudah jam 21:00, saatnya kita pulang" ajaknya setelah berdiri di samping sang ibu
"Rasanya disini damai sekali, seolah bisa menenggelamkan semua permasalahan yang dihadapi" ucap sang ibu tanpa merubah posisinya.
"Faras tahu Bu, tapi angin malam juga kurang baik untuk kesehatan Ibu. Faras tidak rela melihat Ibu sakit, karena membiarkan Ibu terus di pantai. Kita pulang dan istirahat ya Bu, agar tetap semangat menyongsong hari esok!" bujuk Faras dengan nada lemah lembut.
"Ibu masih memiliki harapan supaya kamu bisa tetap meneruskan kuliahmu, tapi Ibu tak berdaya, hanya berharap keajaiban dari Allah semata" lanjut Hanum masih tetap memandang lautan yang semakin kelam.
"Tidak apa-apa Bu meskipun Faras harus berhenti kuliah, hanya untuk mendapatkan pekerjaan juga hingga saat ini belum bisa. Kalau saja Faras bisa bekerja, pasti Faras akan menabung untuk meneruskan kuliah lagi" ujar Faras sambil ikut memandang lautan.
"Mari kita pulang Nak, dan melupakan sejenak permasalah kita. Ibu yakin ada hikmah terindah di balik semua ini" akhirnya Hanum luluh juga untuk meninggalkan pantai yang semakin sepi.
Faras pun menurut, kemudian berbalik dan melangkah lebih dulu menuju motornya. Tak lupa Faras memakaikan mantel yang dibawanya ke tubuh sang ibu yang terasa dingin karena angin malam. Dengan hati-hati ia menunggu sang Ibu duduk di jok motor, baru menjalankan nya dengan perlahan. Tak ada percakapan lagi di antara mereka, hanya suara mesin yang mengisi kekosongan. Sepuluh menit perjalanan yang dilalui, akhirnya tiba di rumah kontrakan yang 3 tahun ini menjadi tempat bernaung mereka sekeluarga.
Tanpa berkata-kata lagi Hanum langsung masuk kamar mandi, membersihkan diri dan mengambil peralatan sholatnya. Hanum memang belum menunaikan sholat Isya, karena selesai Sholat magrib tadi langsung berjalan-jalan di Pantai untuk menenangkan hatinya yang sedang galau. Hanum sangat khusyuk dalam setiap gerakan sholatnya, dan terdengar merdu bacaan surahnya sampai menyentuh kalbu. Selesai sholat, masih dilanjutkan dengan bertilawah hingga rasa kantuk menyerang.
Hanum Pratiwi, biasa dipanggil Hanum adalah sosok seorang istri dan ibu yang tangguh untuk keluarganya. Di usianya yang memasuki 49 tahun, harus menghadapi getirnya kehidupan rumah tangga. Memang ini bukan yang pertama kalinya, karena saat awal menikah pun, sang suami masih belum memiliki pekerjaan. Namun itu tidak membuatnya mundur, karena saat itu Hanum bekerja di salah satu perusahaan media massa. Perlu 3 tahun penuh untuk berjuang dan kerja keras hingga akhirnya bisa merasakan manisnya berumah tangga. Mereka sudah bisa membeli rumah sendiri meskipun melalui KPR, punya kendaraan sendiri walaupun masih kendaraan roda dua. Memasuki tahun ke-5, Allah menitipkan janin di rahimnya, yang membuatnya semakin bersyukur dan berbahagia. Kehadiran seorang bayi membawa rejeki dan pekerjaan yang yang lebih baik bagi sang suami, yang tadinya bekerja di tempat orang lain akhirnya bisa merintis sendiri usaha jasa penagihan, seperti yang dikerjakannya.
Namun takdir Allah berkata lain, saat sang anak yang diberi nama Faras Al Ghiffari berusia 9 tahun, badai kembali mengguncang rumah tangganya. Usaha yang dirintis suaminya selama 4 tahun mengalami kebangkrutan dan menyisakan hutang kepada kakak iparnya yang ikut menjadi investor. Kebijakan yang dikeluarkan OJK mengakibatkan pemutusan kerjasama dengan 3 bank. Setelah berfikir cukup lama dengan mempertimbangkan banyak hal, Akhirnya rumah hasil kerja keras selama ini terpaksa dijual untuk membayar hutang kepada Kakak ipar, dan sebagai modal usaha yang baru di kampung halaman suami.
Karena pertimbangan bakti pada keluarga, Hanum memutuskan resign dan menemani suaminya merintis usaha kontraktor di Pulau Sumatera. Saat tahun pertama dan kedua, proyek tersebut berjalan lancar, bahkan ada 3 Proyek yang dikerjakan. Resiko mengerjakan proyek pemerintah adalah saat ada pemeriksaan dari BPKP, yang berimbas pada pengembalian uang karena nilai material yang di atas kelayakan. Itu selalu terjadi setiap tahunnya, sehingga seringnya bukan keuntungan yang didapat, tapi kerugian. Sehingga di tahun kelima, saat pandemi melanda, mereka kembali menghadapi kesulitan finansial, kehabisan modal. Hal ini berimbas pada kelangsungan pengerjaan proyek, sehingga meninggalkan tunggakan ke supplier .Banyak proyek pemerintah yang dialihkan untuk pandemi, dan proyek yang berjalan pun terhenti. Kembali mereka harus kehilangan asset untuk membayar tagihan pihak ketiga, bahkan untuk biaya kuliah Faras juga ikut terpakai. Kehidupan itu ibarat roda, yang berputar tanpa jeda. Kadang kita bisa di atas, kadang juga bisa di bawah. Bagi Hanum yang sudah terbiasa dengan ujian-ujian tersebut, tidak lagi merasa kaget, hanya perlu beradaptasi dengan cepat.
Mereka bertiga kembali pindah ke kota lain, untuk memulai kehidupan yang baru, sekaligus mendekati tempat kuliah sang anak. Menghabiskan uang yang ada, Hanum tetap bersikeras untuk menguliahkan sang anak, karena ingin masa depannya tetap bersinar dengan pendidikan yang didapatkannya. Dari sinilah permasalahan mulai bermunculan. Di usia yang bukan lagi masa produktif, harus mencari pekerjaan lain bersaing dengan anak muda yang lebih gesit. Peluang untuk mendapatkan pekerjaan menjadi hal yang sangat sulit. Dan sang suami yang sudah tidak ada keinginan untuk mencari pekerjaan menambah ekonomi keluarga kian terpuruk. Tanpa bisa dicegah, kuliah sang anakpun harus terhenti di tahun ke-4.
Sungguh miris, di masa tua yang seharusnya tinggal duduk menikmati hasil, namun kini rumah pun tidak punya. Tidak ada ikhtiar dari sang suami untuk berusaha mencari nafkah, hanya tidur dan main hp kegiatannya. Berulangkali Hanum mengingatkan, tapi tak ada perubahan. Hanya sang anak yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya.
Hanum hanya berusaha untuk bersabar atas semua ujian yang Allah berikan, tetap berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hidup di perantauan yang jauh dari sanak keluarga, membuat Hanum sering merasa putus asa. Ibu dan adik-adik Hanum sudah memintanya untuk kembali pulang, meninggalkan sang suami, namun Hanum bersikukuh untuk tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, mendampingi suami dalam kondisi terpuruk sekalipun. Hingga keluarga Hanum membenci Faisal karena susah untuk diarahkan.