Raisa memiliki prinsip untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Awalnya Edgar, suaminya menerima prinsip Raisa itu. Tapi setelah 6 tahun pernikahan, Edgar mendapatkan tekanan dari keluarganya mengenai keturunan. Edgar pun goyah dan hubungan mereka berakhir dengan perceraian.
Tanpa disadari Raisa, ternyata dia mengandung setelah diceraikan. Segalanya tak lagi sama dengan prinsipnya. Dia menjadi single mother dari dua gadis kembarnya. Dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama karena merasa keluarga itu telah membenci dirinya.
Sampai suatu ketika, mereka dipertemukan lagi tanpa sengaja. Di saat itu, Edgar sadar kalau dirinya telah menjadi seorang ayah ketika ia sedang merencanakan pernikahan dengan kekasihnya yang baru.
Akankah kehadiran dua gadis kecil itu mampu mempersatukan mereka kembali?
Follow Ig : @yoyotaa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoyota, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
Mia terus cemberut dan tak mau diajak bicara. Dia merasa telah gagal untuk membanggakan maminya. Apalagi masuk 3 besar saja tidak.
"Mia, makan malam sudah siap! Yuk makan!" ajak Raisa sambil mengetuk pintu kamar.
"Mia nggak lapar, Mi," jawab Mia.
Raisa menghela napasnya terus masuk ke dalam kamar dan duduk di sebelah Mia.
"Kalah dalam perlombaan itu nggak papa sayang. Jangan terlalu dipikirkan. Dari tadi, mami mencoba mengerti kesedihan kamu, tapi ini sudah terlalu lama kamu mendiamkan mami dan yang lainnya. Yang penting bagi mami itu bukan kamu menang lomba, tapi kamu yang berusaha memberikan yang terbaik yang kamu bisa. Itu sudah cukup membanggakan di mata Mami. Jadi, jangan terus bersedih dan makan malamnya bersama."
"Mami nggak marah?" tanya Mia sambil melihat ke Raisa.
"Kenapa mami harus marah? Gadis kecil mami sudah membuat mami bangga dengan mengikuti lomba dengan sungguh-sungguh."
"Beneran nggak marah?"
Raisa mengangguk lalu memeluk Mia dengan sayang.
"Kamu dan Kia akan selalu jadi anak yang membanggakan mami."
"Mia! Buruan keluar! Aku sudah lapar!" teriak Kia yang perutnya sudah keroncongan minta diisi.
"Tuh, kembaran kamu udah teriak-teriak!"
"Iya mi, ayo!"
Mia pun turun dari ranjangnya dan menggandeng tangan Mami nya keluar dari kamar.
Setelah terlihat oleh Kia, gadis itu tersenyum mengejek.
"Kalah lomba aja sampai mendiamkan diri kaya gitu. Gimana bisa kamu bercita-cita jadi artis? Sementara persaingan jadi artis itu ketat. Belum lagi dengan tanggapan orang yang pastinya tidak semuanya bakalan suka. Apa iya, kamu akan galau seharian? Begitu?"
"Ssstt, udah, udah. Jangan dibahas terus, waktunya makan."
Kia memanyunkan bibirnya. Mereka pun makan malam bersama. Meski tadinya mengejek Mia, Kia selalu punya cara untuk berbaikan dengan Mia.
"Makan yang banyak, menangis pun butuh tenaga," ucap Kia sambil menaruh dua potong ayam goreng bagian paha ke piring Mia. Karena merasa kesal atas ucapan Kia, Mia malah mengambil ayam goreng bagian dada dari piring Kia.
"Dua potong mana cukup."
Rasanya Kia ingin marah, tapi dia tak jadi.
"Makanlah, kalau perlu, makan habis sampai ke tulang-tulangnya. Konon katanya kamu akan lebih kuat," ucap Kia asal.
"Mana ada begitu! Kamu pikir aku kucing?"
Karena tak ingin kedua putrinya terus berdebat di meja makan, Raisa pun melerai mereka dan meminta untuk tetap tenang.
"Maaf Mi."
Selesai makan, si kembar langsung masuk kamar untuk mengerjakan tugas sekolah mereka, sementara Raisa dan Roni memilih duduk berdua di ruang tamu sambil menonton televisi.
"Kalau dipikir-pikir, Mia itu mirip banget sama Mba kalau lagi terpuruk. Memilih untuk menghindar dan menyendiri. Tapi, selebihnya, Kia lah cerminan diri Mba yang sesungguhnya."
"Kadang kalau aku pikir-pikir, aku merasa apa yang aku lakukan itu akan lebih membuat diriku nyaman. Tapi pada kenyataannya, nyaman bagiku malah membuat orang lain jadi khawatir. Aku jadi tahu bagaimana rasa kekhawatiran orang yang berada di dekatku. Maaf ya, Ron, Mba selalu merepotkan dan membuat kamu khawatir."
Roni menggeleng. "Mba tidak pernah merepotkan aku. Kita ini keluarga, saling merepotkan sudah biasa."
*
*
Sedari tadi, Tamara selalu melirik ke arah ponselnya, padahal dia harus fokus menghafalkan dialog yang akan ia peragakan nanti.
"Fokus, Tam! Fokus!" Tamara dimarahi oleh managernya yang bernama Jena. Jena mengambil ponsel Tamara yang terletak di meja dan memasukannya ke dalam tasnya.
"Jangan memikirkan hal lain dulu, kamu harus fokus dan menghafal dialognya. Sebentar lagi kami akan take. Jadi, berusahalah dengan baik"
"Iya, iya, bawel banget ih!"
"Aku bawel untuk kebaikan kamu sendiri."
"Iya."
Tamara pun akhirnya fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih jalan-jalan memikirkan kekasihnya.
Satu jam telah berlalu, hari pun sudah semakin malam. Lokasi syuting sudah mulai sepi karena beberapa pemain sudah banyak yang pulang, sementara para staf sedang membereskan peralatan syutingnya.
Sambil menunggu Jena datang dengan mobilnya, Tamara memainkan ponselnya untuk memastikan ada pesan atau tidak dari kekasihnya. Tapi, rupanya kosong.
"Kamu sedang apa sih? Sibuk banget apa? Sampai ngucapin selamat malam aja tidak," gerutu Tamara.
Rasanya ia ingin sekali menghubungi Edgar duluan. Tapi entah kenapa, di dalam hatinya yang terdalam, sesekali ia ingin dicari dan dihubungi duluan. Selama dua tahun menjalin kisah asmara, selalu Tamara yang inisiatif duluan, baik jalan-jalan keluar atau hal lain apapun.
Seharusnya, semakin dekat dengan hari pernikahan, mereka jadi semakin sering berkomunikasi. Tapi yang dia dapatkan malah semakin jauh. Hatinya pun merasakan sedikit keraguan.
Apa Edgar mencintainya?
Tapi, sedetik kemudian, Tamara meyakinkan diri lagi. Edgar mencintainya, mana mungkin, Edgar melamarnya tanpa mencintainya. Lantas apa artinya kisah dua tahun itu kalau bukan karena cinta?
*
*
Di hari itu, hujan mengguyur kota dengan sangat derasnya. Raisa meminta Roni untuk mengantar si kembar ke sekolah mereka. Karena kalau menggunakan mantel hujan, si kembar akan tetap basah.
"Iya tenang aja Mba, Mba mau sekalian aku antar juga?"
"Nggak, nggak usah, yang ada nanti kamu malah telat. Jalan kita kan berbeda."
"Baiklah."
Si kembar dan Roni pun telah berangkat. Raisa mengunci pintu rumahnya lalu mengenakan mantel hujannya. Ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang karena jalanan menjadi sangat licin ketika hujan. Bahkan penglihatannya pun jadi terbatas karena derasnya air hujan yang menghantam helm yang dikenakannya.
Tiba-tiba di depannya, ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang. Mau menghindar pun sudah tak bisa. Alhasil, mobil itu menabrak dirinya hingga terpental ke pinggir jalan.
"Ssss ... "
Raisa merintih kesakitan ketika kakinya yang sebelah kanan terluka. Rupanya, bukan di bagian itu saja lukanya, di bagian kepala, siku, juga di bagian lengannya.
Raisa bersyukur dirinya masih diberikan kehidupan, padahal kalau dilihat dari kondisi motornya yang bagian depannya rusak, juga mobil yang menabraknya ringsek, mungkin, ia bisa saja dalam keadaan yang kritis.
Tak lama, orang-orang pun berbondong-bondong menolong. Salah satu dari mereka adalah Bian, anak dari Pak Baskoro. Laki-laki itu langsung mengendong Raisa masuk ke dalam mobilnya.
Di sepanjang jalan, Raisa terus merintih kesakitan sambil terus memalingkan wajahnya agar tak melihat darah yang keluar dari kakinya.
"Apa kamu masih kuat bertahan?"
"Ya," jawab Raisa.
"Syukurlah, aku akan bawa kamu ke rumah sakit terdekat."
Raisa mengangguk saja, karena dirinya sudah tak bertenaga dan lemas sambil menahan rasa sakitnya.
Setibanya di rumah sakit, Bian langsung menggendong Raisa dan membawanya ke IGD. Tapi ternyata di ruang tunggu rumah sakit, dia malah mendapati Edgar yang sedang bersama Tamara. Entah kenapa semesta seperti sengaja terus mempertemukan mereka. Padahal sebelum-sebelumnya, tak pernah ada.
Jelas sekali wajah kekhwatiran di wajah Edgar ketika melihat Raisa yang berdarah sambil digendong oleh laki-laki yang teramat asing baginya. Saking khawatirnya, Edgar sampai berdiri dan hendak pergi.
"Kamu mau kemana?"
*
*
TBC