Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
"APA?!" Teriak serentak orang-orang yang hadir di Balai Desa Pancasari memecah kesunyian pagi.
Indra, yang baru saja kembali setelah menghilang sehari penuh di Baturiti, berdiri di tengah ruangan dengan wajah penuh percaya diri. Ia mengumumkan bahwa Baturiti kini berada di bawah kekuasaannya dan akan dikelola di bawah wilayah Pancasari. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun semua orang sudah dibuat melongo oleh kehadiran Indra dan kabar yang dibawanya.
Indra tidak sendirian. Ia membawa serta Sirat, tetua dari Baturiti, untuk bertemu dengan Kertih dalam rangka penyerahan tanggung jawab pengelolaan wilayah.
"Indra..." Suara Kiara memecah keheningan. Nada seraknya terdengar kesal dan penuh pertanyaan. "Coba jelaskan apa yang udah kau lakukan. Semoga saja penjelasanmu nggak bikin kami kesal, karena aku nggak segan menghajarmu, dan juga Luthfi, karena gagal mencegahmu ngelakuin hal nekat kaya gini." Ancaman Kiara menggantung di udara, membuat suasana tegang, namun di sisi lain juga sedikit lucu.
Luthfi, yang berdiri di samping Indra, menghela napas pelan. "Ayo, tanggung jawab, kawan. Kegantenganku ada di tangan Kiara sekarang karena ulahmu." Bisiknya kepada Indra dengan nada setengah bercanda, setengah khawatir.
Indra tersenyum ringan, lalu menepuk tangan untuk menenangkan suasana. "Baik, baik, harap tenang dulu, ya." Ujarnya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. Ia melangkah ke depan agar suaranya bisa didengar oleh semua orang.
"Oke, mari kita mulai dari awal," Indra memulai penjelasannya dengan suara lantang dan jelas. "Dari apa yang aku dengar dari penjelasan Bapak Sirat dan para warga kemarin malam, singkatnya, Pemerintah Tabanan telah berubah menjadi lebih rakus. Pada tahun pertama dan kedua musim dingin, pengelolaan pangan berjalan dengan baik. Namun, semuanya berubah ketika hasil panen mereka menurun. Sifat serakah pemerintah mulai muncul dan mereka mulai menindas rakyatnya sendiri."
Ia berhenti sejenak, memastikan semua orang menyimak. "Pasukan Keamanan Tabanan—yang seharusnya melindungi warga dari penjarah—justru berbalik menjarah warganya sendiri. Mereka beralasan bahwa pasokan makanannya kurang untuk melaksanakan tugas yang berat, padahal kenyataannya, mereka nggak kerja-kerja amat."
Indra mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Dan sayangnya, kemarin wilayah kita, Pancasari, ikut menjadi sasaran serangan mereka. Karena itulah, aku mengambil langkah untuk merebut wilayah Desa Baturiti melalui perjanjian. Tujuannya adalah untuk merebut wilayah mereka duluan, sebelum mereka sempat merebut milik kita." Setelah selesai, Indra mengambil segelas air hangat dan meminumnya perlahan, memberi waktu bagi semua orang untuk mencerna penjelasannya.
"Apakah penjelasannya memuaskanmu, Kiara?" Tanya Indra menatap Kiara yang masih terlihat kesal.
Kiara mendengus, lalu melangkah mendekati Indra. "Kalau jadi kau, aku akan memilih untuk membuat pertahanan di Pancasari daripada membuat orang lain kesal dengan merebut wilayah mereka." Ujarnya menatap tajam ke arah Indra, seolah menantang.
"Lalu menunggu sampai kita diserang oleh pasukan mereka yang jumlahnya belum diketahui?" Balas Indra menantang balik. "Aku lebih memilih untuk menyerang duluan. Ingat pelajaran yang kita dapat waktu kerusuhan Buleleng dulu? Makan atau dimakan!" Tambahnya dengan tegas.
Kiara tidak membalas. Matanya terlihat menyala dengan emosi yang tertahan.
Indra kemudian berbalik dan berjalan menghampiri Kertih, sambil memberi isyarat kepada Sirat untuk mendekat. Ketiganya kini membentuk lingkaran kecil di hadapan para warga dan pasukan Monasphatika.
"Pak Kertih, kau siap menerima tanggung jawab yang akan aku berikan ini?" Tanya Indra menatap Kertih dengan serius.
Kertih menghela napas panjang. "Indra, kau benar-benar tidak sopan memberikan tanggung jawab kepada orang yang bahkan belum sembuh sedikitpun." Balasnya terlihat sedikit kesal.
"Ayo lah, Pak. Aku hanya mempraktikkan ekspansi wilayah seperti yang kau ajarkan di kelas Hukum Internasional dulu." Balas Indra dengan santai, membuat Kertih tertawa kecil.
Kertih mengangguk perlahan sambil tersenyum, seolah teringat masa lalu saat ia masih mengajar. "Baiklah, aku setuju." Ujarnya dengan suara tegas.
Indra kemudian menoleh ke Sirat. "Bapak Sirat, kau bersedia menyerahkan tanggung jawab dan wilayahmu?"
"Aku sudah terlalu tua untuk ini, jadi dengan senang hati aku serahkan." Jawab Sirat mengulur tangannya untuk menjabat tangan Kertih. Jabat tangan itu menandai resminya penyerahan wilayah Desa Batunya kepada Pancasari.
...***...
Empat hari setelah perjanjian dibuat, Indra telah menempatkan 25 orang prajurit Monasphatika di Desa Batunya. Sebagai pencegahan apabila Desa Batunya berhasil diruntuhkan, ia juga menugaskan 20 orang prajurit untuk menjaga Desa Pancasari.
Hari ini, Indra memerintahkan pasukannya untuk membangun menara pemanah dan menara penembak jitu dari bambu. Bahan ini dipilih karena mudah ditemukan di sekitar desa dan kekuatannya tidak perlu diragukan.
Selain membangun pertahanan di Desa Batunya, Indra juga mengerahkan pasukannya untuk membantu warga dalam prosesi pengkremasian para korban tragedi sebelumnya.
Sore harinya, saat prosesi pemakaman telah usai, Indra duduk di pinggir sawah untuk menikmati matahari terbenam yang perlahan menghilang di balik cakrawala. Ia meregangkan badan yang lelah setelah seharian beraktivitas.
Sebelum datang ke sini, ia telah memerintahkan pasukannya untuk menghentikan proyek pembangunan dan melanjutkannya esok hari. Sekarang, suasana desa dipenuhi oleh warga yang berkumpul bersama, melepas penat setelah hari yang melelahkan.
Indra baru saja menikmati pemandangan matahari terbenam yang sedikit kabur karena tertutup awan debu, ketika tiba-tiba Luthfi dan Kiara mendatanginya.
"Oi, lagi me time, nih?" Sapa Luthfi dengan nada santai, sambil duduk di sebelah Indra.
"Iya, nih. Capek dengerin omelannya Kiara dari kemarin-kemarin." Balas Indra dengan senyum kecil dan nada bercanda.
"Oh gitu? Aku omelin lagi kau sekarang biar makin capek." Sahut Kiara melipat tangannya di dada, namun senyum kecil terlihat di bibirnya.
Ketiganya tertawa lepas membuat suasana hangat persahabatan mereka terasa begitu nyata. Mereka duduk berdampingan, menatap matahari terbenam yang memancarkan cahaya keemasan. Luthfi kemudian memecah keheningan dengan menanyakan sesuatu pada Indra.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Ndra?" Tanyanya penuh rasa ingin tahu.
"Hmm? Kenapa nanya?" Indra balik bertanya, alisnya naik penuh rasa penasaran.
"Pengen tau aja, sih, biar kami nggak kaget kalau kau berulah lagi nanti." Jawab Luthfi sedikit menyindir.
Indra terkekeh mendengar jawaban Luthfi. Ia mengambil waktu sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat sebelum akhirnya berbicara.
"Ada dua hal yang akan aku lakukan." Ujar Indra tegas namun tenang. "Pertama, aku akan melatih warga menggunakan senjata. Kedua, aku akan mengambil alih wilayah Penebel."
"Hah... Kau serius ingin mengambil alih Tabanan sedikit demi sedikit, ya?" Kiara menanggapi dengan nada malas dan matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Melatih para warga? Bukannya lebih baik jika kita mengerahkan lebih banyak pasukan ke sini?" Usul Luthfi menawarkan solusi alternatif.
"Kau tahu pasukan kita nggak banyak, kan? Totalnya cuma 117 orang aja. Kalau kita mengerahkan lebih banyak pasukan ke sini, Singaraja nggak akan ada yang jagain." Jawab Indra dengan logika yang sulit dibantah.
Tiba-tiba, suara Sirat terdengar dari belakang mereka. "Tindakanmu mengambil wilayah Penebel akan memicu perang yang lebih besar, lho."
"Oh, Pak Sirat. Mau bergabung bersama kami menikmati matahari terbenam?" Sambut Indra ramah, memberi ruang bagi Sirat untuk duduk di sebelahnya.
"Tentu, sesekali aku ingin melepas penat di tengah tekanan dunia ini." Ujar Sirat sambil duduk, matanya menatap ke arah matahari yang semakin redup.
Suasana kembali hening. Hanya suara daun tertiup angin yang terdengar, menciptakan atmosfer yang tenang di sore hari.
"Kau yakin mau menyerang Penebel?" Tanya Sirat penuh rasa ingin tahu.
"Iya." jawab Indra singkat dan tegas.
"Lalu bagaimana dengan keselamatan kami jika terjadi perang yang lebih besar?" Tanya Sirat lagi dengan kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya.
Indra tersenyum penuh keyakinan dan ambisi yang tak tergoyahkan.
"Tenang aja, mereka akan aku lumpuhkan sebelum sempat bertindak."
...***...
Keesokan harinya, Indra memulai pelatihan bela diri untuk warga desa. Ia menunjuk Kiara, yang ahli dalam bertarung dengan tangan kosong maupun menggunakan senjata, sebagai pelatih utama.
Berbeda dengan sikap tegas terhadap rekan-rekannya, Indra memperlakukan warga desa dengan ramah dan hangat, membuatnya disukai dan dihormati.
Kiara pun dinilai sebagai sosok yang tepat untuk melatih para warga, mengingat kemampuannya yang mumpuni dan kesabarannya dalam mengajar.
Pembangunan menara pertahanan juga dilanjutkan, dengan target selesai dalam dua hari. Tujuh menara dibangun di berbagai sudut strategis desa, masing-masing dirancang untuk menjadi titik pengawasan dan pertahanan yang kokoh.
Sementara warga dan pasukannya sibuk dengan tugas masing-masing, Indra mengumpulkan empat orang prajuritnya di sebuah rumah kosong untuk membahas rencana rahasia. Keempat orang itu adalah Luthfi, Chakra, Devi, dan Handayani. Mereka dipilih karena menurut Indra keahlian dan kemampuan mereka yang luar biasa sangat dibutuhkan untuk misi ini.
"Oke, karena kalian semua sudah di sini, aku akan langsung menjelaskan rencanaku." Ujar Indra dengan nada yang santai. "Aku ingin menyerang Penebel."
Ucapan Indra membuat mereka terkejut, kecuali Luthfi yang sudah mengetahui rencana tersebut lebih awal.
"Menyerang Penebel? Cuma kita berlima aja?" Tanya Devi dengan mata melotot penuh keheranan sambil mendekat ke arah Indra.
"Yap," jawab Indra dengan santai. "Kau tahu style-ku, kan? Aku nggak suka bawa pasukan terlalu banyak."
"Lagipula, ngapain bawa pasukan banyak-banyak kalau ada Indra si mulut besar yang bisa mengubah seluruh desa musuh menjadi miliknya?" Canda Luthfi, membuat suasana ruangan yang tegang menjadi sedikit mencair. Mereka semua tertawa, termasuk Indra yang hanya menggelengkan kepala.
"Oke, sekarang bisa kau jelaskan rencanamu dulu?" Pinta Chakra, mencoba mengembalikan fokus diskusi.
"Sederhananya, penyerangan ini mirip dengan operasi-operasi sebelumnya." Jelas Indra. "Kita akan bergerak diam-diam dengan memanfaatkan gelapnya bayangan malam. Tujuannya adalah menghabisi prajurit musuh sebelum mereka sempat menyadari apa yang terjadi."
"Kalau begitu, artinya kita ngga pakai senjata api, dong?" Tanya Handayani agak skeptis.
"Ngga juga," jawab Indra. "Walaupun kita akan lebih sering menggunakan panah atau crossbow karena suaranya yang minim, kita tetap akan membawa senapan angin atau senapan api untuk berjaga-jaga."
Keempatnya mengangguk, menunjukkan bahwa mereka memahami penjelasan Indra dengan baik.
"Aku memilih kalian berempat karena selain jago bertarung jarak dekat, akurasi kalian dalam menembak jauh melebihi anggota Monasphatika yang lain." Lanjut Indra menatap mereka satu per satu. "Kalian juga menguasai cara bergerak dalam diam, sesuai yang aku ajarkan saat awal-awal kelompok ini dibentuk. Itulah kenapa kalian adalah kandidat terbaik untuk misi ini."
Mereka berempat sekali lagi mengangguk, tanda bahwa mereka siap dan memahami tanggung jawab yang diberikan. Ada sedikit kebanggaan di mata mereka berkat pengakuan yang diberikan oleh Indra.
"Ada pertanyaan?" Tanya Indra menatap mereka satu per satu.
Luthfi mengangkat tangan untuk mengajukan pertanyaan. "Kapan operasi penyerangan kita akan dimulai?"
"Operasi ini akan dimulai begitu pasokan senjata kita sampai di sini." Jawab Indra dengan tegas. "Ada pertanyaan lagi?"
Keempatnya diam dan hanya menggelengkan kepala. Tidak ada lagi pertanyaan yang tersisa di benak mereka.
"Oke, kalau begitu, pertemuan ini selesai. Silakan kembali ke tempat masing-masing." Ujar Indra mengakhiri diskusi dengan nada tegas disusul satu tepukan tangan yang menggema di seluruh ruangan.
Ilustrasi Tokoh:
...Chakra...
...Devi...
...Handayani...