Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Nurut?
Akay kembali melajukan mobilnya, pandangannya fokus ke depan.
Aylin menahan napas. Ia tidak tahu apakah itu ancaman, peringatan, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Tapi satu hal yang pasti.
Malam ini belum berakhir.
Aylin merasakan tenggorokannya mengering. Tangannya mengepal di atas paha, kukunya menekan kain celana dengan kuat.
Tidak. Tidak. Tidak.
Ia harus melakukan sesuatu.
Matanya bergerak cepat, mencari celah untuk keluar dari situasi ini. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia meraih tuas pintu dan mencoba membuka—
Klik.
Terkunci.
Aylin menoleh dengan cepat. Akay masih menatap lurus ke depan, ekspresinya tak berubah.
"Serius, Ay?" suaranya terdengar datar, tapi jelas mengejek. "Mau lompat dari mobil yang melaju?"
Aylin menggeram. "Lepasin aku, Akay."
Alih-alih menjawab, Akay mengangkat tangannya, menunjukkan kunci sentral mobil di antara jemarinya, lalu menekannya.
Klik.
Pintu terkunci rapat.
Aylin mendesis. "Brengsek."
Akay menyeringai. "Udah sadar kalau kamu nggak punya pilihan?"
Aylin mendelik, napasnya memburu. "Aku nggak bakal diem aja."
Akay menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat. "Bagus. Aku juga nggak mau istriku tipe yang gampang nyerah."
Aylin merasakan panas merayapi wajahnya. "Kamu emang sinting! Kamu nggak bisa maksa aku! Aku bukan barang!"
Akay terkekeh pendek, tapi tatapannya masih tajam. "Bukan barang, tapi milikku."
Aylin ingin menamparnya kalau saja tangannya tidak terkepal begitu erat. "Persetan sama itu! Aku nggak akan ke hotel sama kamu!"
Tiba-tiba, Akay menepikan mobil dengan kasar dan mematikan mesin. Dalam sekejap, Aylin sudah terdesak ke sudut joknya saat Akay membungkuk ke arahnya.
"Kau pikir ini soal hotel?" suaranya rendah, tapi intensitasnya menusuk. "Ini soal kau yang selalu lari. Kau pikir aku nggak sadar? Setiap kali aku deket, kau nyari cara buat kabur."
Aylin menelan ludah, tapi ia menolak terlihat lemah. "Karena kamu bikin aku nggak nyaman, Akay."
Akay mendengus. "Oh ya? Kalau aku emang bikin kamu nggak nyaman, kenapa kamu selalu tidur nempel sama aku?"
Aylin terkesiap.
Akay menyeringai melihat reaksinya. "Aku tahu kamu nggak benci sama aku, Ay. Kamu cuma takut."
Aylin mengalihkan pandangannya, tapi Akay menangkap dagunya dengan lembut, memaksanya menatap kembali. "Takut apa, Ay?"
Aylin mengeratkan rahangnya. "Takut kalau aku jatuh cinta sama kamu, brengsek."
Kali ini, Akay benar-benar terdiam.
Sejenak, hanya suara napas mereka yang terdengar di dalam mobil.
Lalu, perlahan, Akay tersenyum. Senyum yang membuat perut Aylin terasa bergejolak. "Bagus."
Aylin mengernyit. "Apa?"
"Bagus kalau kau takut." Akay mendekat, suaranya hampir berbisik di telinganya. "Karena aku nggak akan kasih kesempatan buat kabur lagi."
Aylin masih menatap Akay dengan napas memburu, hatinya berdetak kencang, bukan hanya karena marah, tapi juga karena kebingungan.
“Kita nggak akan ke hotel.” Suara Akay terdengar datar, tapi ada ketegasan yang membuat Aylin justru semakin waspada.
Aylin memicingkan mata. “Terus, mau ke mana?”
Akay tidak menjawab. Ia hanya menarik gas, mengendarai mobil dengan kecepatan stabil. Tidak ada lagi pengereman mendadak atau manuver kasar, tapi justru itu yang membuat Aylin semakin gelisah.
"Akay, jawab!" desaknya, tapi pria itu tetap diam, tatapannya lurus ke depan.
Lima belas menit berlalu dalam keheningan tegang sebelum akhirnya mobil berhenti di depan apartemen Akay.
Jantung Aylin berdegup lebih cepat. Akay keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu mobil untuknya. "Keluar," perintahnya singkat.
Aylin mendengus. "Aku nggak mau."
Alih-alih berdebat, Akay menarik pergelangan tangannya dan memaksanya keluar. “Kita perlu bicara.”
Aylin mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Akay terlalu kuat. “Lepasin!”
Akay tidak menggubris, malah membawanya masuk ke dalam apartemen, dan setelah mereka masuk ke unit apartemen Akay, pria itu mengunci pintu di belakang mereka.
“Akay, buka pintunya!” Aylin berbalik dengan kesal.
“Enggak.”
Aylin menatapnya tajam. "Apa-apaan sih ini?"
Akay menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku sudah cukup sabar, Aylin. Kamu terus berbuat onar, mengabaikan aku, bertindak seolah aku ini bukan suamimu. Cukup."
Aylin mendengus. "Jadi kamu mau mengurung aku di sini?"
Akay menyeringai kecil. "Aku nggak perlu ngurung kamu, Ay. Aku cuma perlu satu hal untuk memastikan kamu nggak lari lagi."
Aylin menyipitkan mata. "Maksudmu?"
Akay mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah aplikasi, dan memperlihatkan layar chat yang sudah siap dikirim.
"Mulai besok, semua orang akan tahu kalau kita sudah menikah."
Aylin mencelos. “AKAY! Jangan main-main!”
Akay tersenyum tipis, matanya berkilat penuh kemenangan. "Aku nggak main-main, Ay. Kalau kamu masih terus kabur dan nggak mau nurut, aku tinggal pencet ‘kirim’."
Aylin mengepalkan tangan, dadanya naik turun karena emosi. Akay tahu betapa ia mati-matian menyembunyikan status pernikahannya.
Aylin menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Kenapa kamu mau melakukan ini?”
Akay mencondongkan tubuh, menatapnya dalam. “Karena aku sudah cukup sabar, Aylin. Kamu pikir kamu bisa terus lari dariku? Terus berpura-pura seolah kita nggak terikat apa-apa? Enggak, Ay. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”
Aylin menggigit bibirnya. Ia tahu Akay tidak main-main. Jika berita itu tersebar, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Akay mengangkat ponselnya sedikit. “Satu kata saja, Ay. Mau menurut, atau aku pencet tombol ini?”
Jantung Aylin mencelos. Ia benci berada dalam posisi seperti ini.
Tapi kali ini, Akay benar-benar memegang kendali.
Aylin mengepalkan tangannya erat, berusaha menyusun strategi dalam kepalanya. Tidak mungkin ia membiarkan Akay mengumumkan pernikahan mereka begitu saja. Itu akan menghancurkan semua rencana dan kebebasannya.
“Ini nggak adil, Akay,” gumamnya, mencoba menahan emosinya.
Akay mengangkat alis. “Sejak kapan kamu peduli soal adil? Kamu bisa seenaknya melakukan apa pun, tapi aku nggak boleh mengambil tindakan?”
Aylin menggigit bibirnya, menahan keinginannya untuk membalas dengan sarkas. “Oke, kalau aku nurut, kamu janji nggak akan ngumumin apa pun?”
Senyum Akay melebar. “Tergantung, seberapa menurutnya kamu.”
Aylin mendengus. “Kamu mau aku apa? Duduk manis di rumah seperti istri yang baik?”
Akay mendekat, membiarkan kehadirannya mengurung Aylin. “Aku cuma mau satu hal, Ay. Kamu berhenti kabur dan mulai berperan sebagai istriku yang sebenarnya.”
Aylin menegakkan punggungnya. “Dan kalau aku nolak?”
Akay menatapnya dengan tenang, lalu mengarahkan jarinya ke layar ponselnya. “Satu detik lagi, Ay. Cuma satu detik.”
Aylin mengutuk dalam hati. Ia benar-benar terjebak.
Menahan napas, ia akhirnya berkata, “Baik. Aku akan nurut.”
Akay menyipitkan mata, meragukan kepatuhannya. “Kamu nggak bohong?”
Aylin memutar bola matanya. “Aku nggak punya pilihan, 'kan?”
Akay menatapnya sejenak, lalu menyimpan ponselnya kembali. “Bagus. Mulai sekarang, kamu akan ikut aku ke mana pun aku pergi. Dan aku nggak mau dengar satu kata pun soal kabur.”
Aylin mengerucutkan bibirnya, tapi tak berkata apa-apa.
Akay menyeringai. “Bagus, akhirnya kamu belajar.”
Tapi Aylin hanya diam, meski dalam hati ia menyusun rencana. Jika Akay mengira dirinya bisa dikendalikan semudah itu, maka ia salah besar.
“Sekarang, bersihkan dirimu!” titah Akay tegas.
Tanpa menjawab, Aylin melangkah dengan wajah ditekuk, menunjukkan ketidaksukaannya. Namun, ia tetap melakukan apa yang diperintahkan suaminya.
Di depan pintu kamar mandi, tangannya terkepal di sisi tubuh, rahangnya mengatup keras menahan amarah yang membuncah di dadanya.
"Nyuruh-nyuruh kayak bos aja," gumamnya kesal sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk.
Begitu pintu tertutup, ia memutar keran air dengan kasar. Gemericik air memenuhi ruangan, tapi tidak cukup untuk meredam sumpah serapah yang keluar dari bibirnya.
"Dasar suami sialan! Sok ngatur! Aku bakal cari cara buat ngebalikin keadaan!"
Aylin meraih botol sampo dan meremasnya terlalu kuat hingga cairan licin itu tumpah ke telapak tangannya. Ia menatapnya sekilas sebelum menghela napas panjang. Rasa frustrasi menguasai dirinya. Ia harus bertahan, setidaknya sampai menemukan celah untuk membebaskan diri.
Sementara itu, di luar kamar mandi, Akay berdiri diam di tempatnya. Tatapannya terpaku pada pintu kayu yang tertutup rapat. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, menarik napas panjang seolah mencari ketenangan dalam kekacauan yang baru saja terjadi.
Sial.
Istrinya benar-benar badung.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍