Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. KELUARGA
...“Mungkin mereka bukan sosok sempurna di luar sana...
...Bukan sosok pahlawan dengan kostum mencolok...
...Bukan pula peran utama dalam cerita...
...Tapi bagiku, mereka adalah cinta sesungguhnya...
...Mereka adalah keluargaku."...
Kucuran air yang membasahiku seakan memijitku dengan lembut, menyingkirkan segala kepenatan dan rasa lelah yang melandaku sejak beberapa jam lalu. Aroma sabun dan shampo yang kupakai benar-benar membuat pikiranku tenang, menghipnotis akan rasa nyaman yang memabukan.
Kupatut diriku di depan cermin, memandangi diri yang masih setengah basah walau aku sudah mengenakan pakaian rumah setelah menghabiskan waktu berlama-lama dalam kamar mandi. Rambut lembap dan basah kubiarkan tergerai, berharap akan segera kering oleh semilir angin sore. Dengan celana pendek serta kaus putih yang kebesaran di tubuhku dan berkalungkan handuk kecil, aku berjalan menuju dapur.
Sepertinya sarang laba-laba dan juga aroma debu yang mengganggu sistem pernapasanku pagi tadi tidak lagi terlihat. Bersih, tertata, dan wangi, itulah gambaran akan dapur yang pagi tadi tampak seperti tempat tikus berperang ria. Kuambil botol mineral dari kulkas usang di dekat dapur, sedikit senang karena setidaknya pemilik rumah membiarkan barang-barang berharganya untuk kami jaga.
Tentu saja kami.
Kakiku melangkah ke ruang tengah, penasaran karena tidak ada suara-suara dari dua orang yang juga tinggal satu atap denganku padahal sejak pagi tidak ada mulut yang bisa diam untuk sekedar mengomentari satu sama lain.
Dan di sanalah mereka. Dua gadis yang juga merupakan teman dekatku sejak kuliah. Kini terbaring di lantai ruang tengah dengan gaya yang ... dramatis. Raut kelelahan terlihat di wajah mereka, tentu saja karena hari ini kami tengah berbenah rumah yang akan kami tinggali bersama. Capek, atau pun lelah sudah pasti terasa jelas setelah berhasil membereskan segala kekacauan rumah yang tidak ditempati beberapa saat. Dan melihat mereka berdua seperti itu benar-benar lucu, layaknya anak kecil yang lelah bermain dan tiduran di sembarang tempat untuk sekedar mengusir penat.
Bisa kudengar mereka berdua tengah membicarakan mengenai pekerjaan baru kami. Raut kagum terpancar jelas saat perusahaan yang berhasil kami masuki bersamaan merupakan perusahaan majalah terkenal.
Queen Magazine.
Di sanalah kami akan mulai bekerja besok. Perusahaan penerbitan majalah yang namanya cukup dikenal dengan banyak penggemar yang kebanyakan adalah wanita.
“Hayo, pasti lagi ngomongin gue, kan?” celetukku seraya melangkah mendekati mereka berdua. Kujatuhkan diriku untuk duduk di sofa yang menjadi salah satu barang mewah dalam bangunan ini. Aku sangat berterima kasih pada kakakku karena dengan baik hati—atau lebih tepatnya memaksa—agar aku tinggal di salah satu rumah miliknya di kota yang tidak ia tinggali.
“Idih, percaya diri banget lo,” sahut Rini saat mendengar ucapanku.
Aku hanya terkekeh ketika mendengar jawaban temanku itu, tidak terkejut lagi dengan nada anarkisnya yang selalu menjadi ciri khas gadis jangkung tersebut.
Kutengguk air minum yang kubawa dalam botol mineral tadi, melepaskan dahaga sekaligus berusaha menenangkan diri. Bisa kurasakan cahaya matahari sore merembes masuk ke dalam ruangan melewati jendela kaca, menambah ketenangan yang dibutuhkan.
“Yun, minta minumnya,” kata Dini yang entah kapan sudah bangkit dari berbaring dan kini duduk bersila ke arahku.
“Di dapur ada, ambil aja sendiri,” kataku tidak serius, dan mereka tahu pasti itu.
“Awas mati lo ya, Yun. Pelit bener minta dikit doang, males ke dapur gue,” balas Dini yang sepertinya benar-benar tidak mau untuk sekedar bangkit ke dapur.
Tentu saja aku memberikannya, tapi terkadang menggoda mereka berdua adalah hal yang menyenangkan. Walau melakukan hal itu sedikit membangkitkan adrenalin jika emosi mereka tersulut, dan bisa-bisa umpatan dan sumpah serapah akan keluar seperti yang biasa kami lakukan untuk mengomentari hal yang tidak ingin didengar.
Pandanganku saat ini hanya terfokus pada kedua temanku yang tampaknya asyik membicarakan hal dengan tema yang bisa kuduga—Korea. Melihat mereka seperti itu membuatku terbayang akan masa-masa awal aku mengenal mereka.
Aku tidak menyangka kalau hidupku akan banyak berubah setelah berteman baik dengan Rini dan Dini. Jujur aku lebih banyak bicara jika bersama mereka, hal yang sangat jarang kulakukan sejak dulu mengingat aku adalah tipe orang yang tertutup dan lebih suka menyendiri. Dan herannya semua hal itu tidak berlaku terhadap dua orang yang terkadang bisa sangat menyebalkan itu. Mereka tidak membiarkanku menjadi orang yang diam dan pasif. Jika dilihatnya aku diam setengah jam saja, segala gangguan akan mereka lakukan. Memastikan kalau aku tidak mati kehilangan napas, begitulah kata mereka setiap kali kutanya kenapa suka sekali melakukan itu.
Teman baik.
Mereka lebih dari sekedar itu.
'Tungguin Ayuni, Din. Temen kita tuh, jangan ditinggalin.'
Ucapan tersebut yang entah bagaimana bisa membuatku merasa senang saat mendengarnya, hal yang meyakinkanku untuk terus bersama mereka. Ucapan yang tidak pernah kudengar dari orang lain sebelum ini. Ucapan yang membuatku mengambil langkah untuk memercayai orang lain kembali.
“... ni? Ayuni?!” seru Rini yang tampak kesal.
“Apa?” sahutku datar. Sadar kalau aku baru saja masuk dalam lamunan. Kurasa aku terlalu banyak menonton Drama Korea sehingga otakku penuh dengan hal-hal mendramatisir. Memalukan.
“Apa, apa. Nggak usah ngelamunin abang-abang, Yun. Jangan berimajinasi berlebihan, mereka jauh di Korea sana ,” kata Dini dengan tampang mengejek, mengira kalau aku melamun karena memikirkan para pria-pria tampan dalam drama korea.
“Kalau yang nyata kan nggak bisa dimilikin, jadi berimajinasi aja,” sahutku membalas ejekannya dengan senyum lebar.
“Bodo amat, Yun,” tukas mereka berdua bersamaan.
Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa kecil melihat mereka berdua, menyenangkan memang melihat wajah kesal dua temanku ini. Jangan salahkan aku jika sifatku lama-lama seperti fotocopy-an mereka berdua. Dini dan Rini sudah terlalu banyak memberikan efek sifat merka kepadaku. Hingga mampu merubah orang yang diam ini menjadi orang yang banyak bicara.
Suara ketukan dari arah pintu masuk membuat kami spontan melihat ke arah sana.
Sosok bertubuh tinggi, dengan potongan rambut rapi serta pakaian semi formal tampak berdiri di ambang pintu. Senyuman ramah yang sudah sangat kukenal sepanjang hidupku entah kenapa selalu membuatku merasa tenang setiap kali melihatnya.
“Kayaknya lagi serius, bisa diganggu nggak nih?” canda sang tamu.
“Biasanya juga main ganggu aja,” tukasku menatapi sosok pria itu dengan pandangan menyipit—kesal. “Katanya nggak bisa dateng ke sini hari ini?” sambungku.
Pria itu berjalan ke arahku, duduk di sampingku dengan santai. “Duh, adik perempuan kesayangan Kakak ngambek kayaknya.”
“Ayuni dari tadi ngegerutu aja pas denger kalau Kak Indra nggak bisa dateng hari ini, untung aja nggak ada barang yang dia pecahin,” ejek Rini dengan lirikan mata yang membuatku ingin melemparkan sesuatu yang keras kepadanya. Tidak, kekerasan tidak baik. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk bersabar.
Aku mendelik pada Rini, tidak terima karena ia membongkar apa yang menganggu pikiranku sejak pagi tadi. Jujur saja memang benar apa yang RIni katakan dengan aku seharian menggerutu karena pria itu berkata tidak bisa datang padahal sudah janji.
“Maaf, Kakak memang tadinya nggak bisa datang karena ada urusan kerja. Tapi, karena ternyata urusannya di kota ini, ya kenapa nggak sekalian aja Kakak dateng ke sini,” jelas Kak Indra, yang merupakan pemilik rumah ini dan juga kakak kandungku—satu-satunya keluarga yang kumiliki. Pria yang empat tahun lebih tua dariku.
Kupalingkan wajahku darinya, mencoba untuk membuatnya merasa bersalah karena berniat ingkar janji untuk datang ke sini saat aku dan kedua temanku pindah. Walau dalam hati sebenarnya aku sangat senang bisa melihatnya. Bagaimana tidak senang, karena jarang sekali aku bisa bertemu dengannya. Kak Indra bekerja di luar kota dan bisa dihitung jari berapa kali ia pulang dan menghabiskan waktu denganku. Wajar aku marah, karena ia berjanji akan menemuiku di rumah ini ketika aku pindah, tapi justru berkata tidak bisa datang setelah mengucapkan janji itu.
Kak Indra merangkulku. Dari rautnya bisa kutebak kalau ia akan memberikanku sesuatu yang bagus demi meredam amarahku padanya. Ingat saja kalau kata ‘adik kesayangan’ itu bukan isapan jempol untuk seorang Indra Wijaya kepadaku.
“Little Sister, denger. Kakak bawa hadiah untuk kamu, Kakak bakal kasih kalau kamu janji nggak marah lagi,” bujuknya.
Ucapannya menarik perhatianku, namun tidak sepenuhnya aku mengalah padanya begitu saja. Bisa saja ia berbohong demi membuat amarahku berkurang.
Kulihat Kak Indra memberikan Dini dan Rini bingkisan yang sempat kulihat ketika ia datang. Ada raut senang dan puas saat dua temanku itu melihat apa yang ada dalam bingkisan, serentak bersamaan mengatakan terima kasih kepada kakakku.
“Buka,” suruh Kak Indra ketika ia memberikan satu bingkisan kepadaku. Tersenyum penuh arti hingga membuatku penasaran dan melakukan apa yang ia suruh, membuka hadiahnya.
Sebuah Kamera DSLR.
"Kak, ini mahal banget loh kameranya!" ucapku dengan nada meninggi karena terlalu terkejut atas apa yang kuterima sebagai hadiah. Tahu kalau ini salah satu kamera dengan harga yang tidak murah. Kecil namun berkualitas tinggi.
Mataku membelalak tidak percaya ketika melihat isi dari pemberian kakakku. Beberapa kali aku melihat kakakku dan juga barang yang ada di tanganku secara bergantian, bertanya-tanya apakah benar benda itu untukku.
“Kakak udah janji kalau Kakak bakal beliin ini buat kamu, lagian juga kamu butuh itu untuk kerjaan kamu nanti, kan,” kata Kak Indra yang terlihat senang, seakan perasaan senangku terpantul dalam dirinya.
“Makasih, Kak.” Spontan aku memeluk kakakku. Ia selalu tahu apa yang kubutuhkan, dan hal-hal yang membuatku senang. Bagaimana mungkin aku bisa marah padanya. Bukan karena barang yang ia berikan, tapi perasaan tulus dan perhatiannya yang tidak pernah pudar untukku.
Ia membalas pelukanku. Bisa kurasakan rasa rindu menguar dari dirinya, perasaan melindungi yang selalu kurasakan sejak kematian orang tuaku. Beliau adalah sosok sempurna. Tak peduli kesalahan apa yang mungkin ia lakukan di luar sana, aku tidak peduli. Bagiku kakaku adalah adalah manusia sempurna, baik hati, dan mencintai keluarganya melebihi apa pun. Aku tidak tidak mudah baginya membesarkanku seorang diri ketika ia harus memikirkan pendidikan dirinya, aku dan juga cara mengisi perut kami setiap harinya.
“Bawa kamera itu kemana pun, seenggaknya itu bisa ngobatin rasa kangen kamu kalau inget Kakak. Maaf kalau Kakak jarang ada di deket kamu. Kamu harus jaga diri, kasih tahu Kakak kalau ada cowok yang kamu taksir biar kakak nilai pantes apa nggak buat kamu. Telepon Kakak kalau ada apa-apa, oke,” katanya seraya mengusap lembut rambutku, membuatku ingin menangis setiap kali ia menumpahkan kasih sayang tak bercelahnya ke diriku ini.
Kuanggukan kepalaku. Aku tahu ia sangat mengkhawatirkanku, meninggalkan adik semata wayang sendiri sedangkan ia berada di tempat yang jauh sudah pasti bukan hal yang mudah mengingat aku adalah tanggung jawab terbesarnya.
“Kak Indra juga jaga diri, jangan sampe sakit. Ayuni di sini bakal aman, karena ada Dini sama Rini, jadi jangan khawatir." Aku berusaha menenangkannya, tahu kalau ada sirat khawatir di mata cokelat itu.
Ia tersenyum lembut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dua temanku yang sepertinya menjadi penonton setia atas reuni kakak beradik yang sudah berkali-kali mereka lihat. “Tolong jaga Ayuni. Kasih tahu Kak Indra apapun, kalau kalian dalam kesulitan atau ada yang nggak sesuai rencana, kalian tinggal telepon Kak Indra. Kalian juga udah kayak adik Kakak sendiri, jadi jaga diri kalian juga,” katanya.
“Siap, Kak Indra,” sahut mereka bersamaan.
“Semoga pekerjaan kalian lancar besok.”
Kuharap juga seperti itu. Aku benar-benar takut dengan hari pertama dalam bekerja, bertemu dengan orang-orang tak dikenal beradaptasi dengan lingkungan, dan terlebih bertemu dengan orang yang mungkin nanti tidak menyukai kehadiranku atau teman-temanku. Beruntung kami berada dalam satu divisi, sehingga aku tidak harus secanggung dan segugup itu menghadapi dunia kerja yang baru.
Yah, besok aku akan memulainya. Pekerjaan baru kami bertiga di Queen Megazine.