Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah natal
Sudah sejam Logan duduk di kursinya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen bisnis yang biasanya bisa ia selesaikan tanpa berpikir dua kali. Tapi hari ini berbeda. Kali ini, pikirannya bukan tentang strategi pasar atau peluang investasi. Fokusnya terpecah, terhanyut pada wajah Caca dan laki-laki Asia yang bersamanya beberapa hari yang lalu.
Ia menghela napas panjang, melemparkan pena yang sedari tadi hanya ia putar-putar di antara jari-jarinya. Siapa laki-laki itu? pikir Logan. Apa dia pacar Caca? Jika iya, kenapa aku tidak tahu?
Pikirannya semakin berputar-putar, penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Ia mencoba mengingat kembali pertemuan singkat itu—bagaimana laki-laki itu terlihat begitu santai menyelipkan rambut Caca ke telinganya dengan tatapan seperti itu, membuatnya merasa seperti orang luar yang mengintip dunia mereka.
Rasanya aneh. Logan bukan tipe pria yang mudah terusik. Namun, entah kenapa, kali ini ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
Ia mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Tangannya membuka halaman proposal, namun kata-kata di atas kertas itu seolah hanya menjadi deretan huruf tak berarti. Pikirannya tetap kembali pada senyum Caca saat berbicara dengan laki-laki itu, tawa kecilnya yang terdengar begitu lepas, dan cara matanya berbinar dengan cara yang jarang ia lihat sebelumnya.
Kenapa ini membuatku gila? Logan memijit pelipisnya, berharap rasa sakit yang mulai menjalar ke kepalanya bisa sedikit mereda.
Pintu ruang kerjanya diketuk pelan, lalu terbuka. Sosok ibunya, Nyonya Pattinson, muncul di ambang pintu. Wanita itu menatap Logan dengan raut wajah prihatin.
“Sebentar lagi malam Natal,” katanya sambil melangkah masuk. “Apa kau serius ingin mengurung diri di sini saja?”
“Aku sedang sibuk, Bu.” Logan berusaha terdengar santai, meski suaranya terdengar lebih datar dari biasanya.
Nyonya Pattinson melipat tangannya di depan dada, berdiri di samping meja kerja Logan. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya kembali tertuju pada putranya. “Sibuk? Logan, meja ini lebih kosong dari biasanya, dan kau tampak seperti seseorang yang sudah tidak tidur selama tiga hari.”
Logan mendongak, menatap ibunya dengan ekspresi datar. “Aku hanya memikirkan bisnis kita.”
“Bisnis, katamu?” Ibunya mengangkat alis, tersenyum tipis. “Aku tahu betul bagaimana wajahmu ketika benar-benar memikirkan bisnis. Ini bukan salah satunya.”
Logan mendesah pelan, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. “Apa yang Ibu mau dariku?”
“Aku ingin tahu apa yang mengganggumu,” jawab Nyonya Pattinson, langkahnya mendekat. “Karena ini bukan tentang angka-angka di dokumen itu. Ini tentang sesuatu yang lain." Nyonya Pattinson menatap putranya dengan lekat. "Atau seseorang.”
Logan terdiam, rahangnya mengencang. Ia tidak ingin membicarakannya, terutama tidak dengan ibunya. Namun, keheningan yang mengisi ruangan itu membuatnya merasa terpojok.
“Logan.” Suara ibunya lebih lembut sekarang. Ia meletakkan tangannya di bahu Logan. “Kau bisa memberitahuku. Aku tahu ini tentang Caca.”
Logan menoleh perlahan, menatap ibunya dengan alis berkerut. “Kenapa ibu berpikiran seperti itu?”
“Karena itu terlihat jelas, Nak,” potong Nyonya Pattinson, tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. “Setiap kali kau membicarakannya, matamu berbinar. Dan setiap kali kau melihatnya, ada sesuatu yang berubah dalam dirimu. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi aku tahu.”
“Aku tidak...” Logan mencoba membantah, tapi suaranya hilang di tengah jalan. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya. “Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan, Bu.”
“Benarkah?” Ibunya menarik kursi di depan meja kerja Logan dan duduk di sana, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kalau begitu, katakan padaku, kenapa kau terlihat begitu gelisah belakangan ini? Kenapa kau terus memikirkan dia?”
Logan terdiam. Ia tahu bahwa ibunya tidak akan menyerah sampai ia mengatakan sesuatu. Jadi, ia akhirnya membuka mulut.
“Ketika aku mengantarnya beberapa waktu lalu, aku melihatnya bersama temannya,” katanya pelan. “Dia bersama seorang pria... seorang pria Asia dan temannya Yeji—ibu tahu siapa. Mereka terlihat... dekat.”
Nyonya Pattinson mengangguk pelan, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut putranya. “Dan itu mengganggumu?”
Logan terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Ya. Itu menggangguku.”
“Kenapa?” tanyanya lembut.
Logan menggeleng, frustrasi. “Aku tidak tahu! Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya. Atau mungkin karena aku merasa seharusnya aku tahu siapa pria itu. Tapi, Bu... aku tidak suka melihatnya bersama orang lain.”
“Kenapa kau tidak suka?” Ibunya terus menekan, meski suaranya tetap lembut.
Logan menatap ibunya, rahangnya mengeras. “Karena aku... aku tidak tahu. Aku hanya merasa ada yang salah. Itu saja.”
“Kau merasa cemburu,” kata ibunya, suaranya penuh keyakinan.
Logan terdiam. Kata itu menusuknya tepat di jantung. Ia ingin menyangkal, tapi ia tahu itu sia-sia. Nyonya Pattinson tidak akan percaya, dan jujur saja, Logan sendiri tidak yakin ia bisa mempercayai penyangkalannya.
“Logan, Nak,” ibunya melanjutkan, suaranya semakin lembut, “cemburu bukanlah hal yang buruk. Itu berarti kau peduli. Dan jika kau peduli, itu berarti dia penting bagimu.”
“Tentu saja dia penting, Bu,” jawab Logan dengan cepat. “Dia pengasuh Ray.”
“Apakah itu semua?” tanya ibunya, menatapnya tajam. “Hanya karena dia seorang pengasuh?”
Logan tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menatap jendela di mana salju mulai turun perlahan. Hatinya bergulat dengan perasaan yang selama ini ia abaikan.
“Logan,” Nyonya Pattinson berdiri, menepuk bahu putranya. “Kadang, kita tidak menyadari betapa pentingnya seseorang sampai kita berpikir kita bisa kehilangan mereka. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang akan kau lakukan dengan perasaan itu?”
Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nyonya Pattinson sebelum ia beranjak pergi meninggalkan Logan di ruang kerjanya.
Setelah ibunya pergi, Logan tetap duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa seperti ada beban yang semakin berat di dadanya.
Apakah aku benar-benar peduli pada Caca lebih dari sekedar seorang pengasuh anak dan Tuannya? pikirnya. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu jawabannya. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan selama ini lebih dari sekadar persahabatan. Dan ia tahu, ia tidak bisa lagi terus mengabaikan perasaan itu.
-
Komentar-komentar di ponsel Caca terus berdatangan, menumpuk dalam notifikasinya:
A*: "Tebak kekayaan Ray."
B*: "Gila! Kira-kira, berapa ya gaji seorang pengasuh konglomerat?"
C*: "Aku jadi penasaran dengan wajah orang tua Ray! Kak, upload terus ya!"
D*: "Vlog jalan-jalan dengan Ray bagus banget!"
E*: "Aku kalau punya bos duda kaya begitu, aku bakal deketin, sih."
F*: "Tebak ending!"
Caca menghela napas. Ia sudah terbiasa melihat komentar seperti ini setiap kali mengunggah video tentang Ray. Sebagian membuatnya tersenyum, tapi tidak sedikit yang membuat pikirannya terusik. Meski sudah berusaha untuk tidak peduli, beberapa komentar negatif kadang tetap membekas. Namun, malam ini ia memutuskan untuk mengabaikannya.
Langkahnya kini membawa dia keluar dari stasiun Kensington High Street. Ia menuju Kensington Palace Gardens, kediaman keluarga Pattinson, tempat Logan mengundangnya untuk makan malam Natal. Tadi pagi, Kenta dan Yeji, dua temannya, mengajaknya untuk makan malam bersama. Tapi ia terlanjur menerima ajakan keluarga Pattinson. Lagipula, makan malam di mansion keluarga Pattinson terasa lebih menarik dibandingkan sendirian di flat kecilnya.
Ketika tiba di depan gerbang besar kediaman Pattinson, ia menyapa beberapa pelayan dan staf yang masih bertugas. Banyak dari mereka sudah mengambil shift untuk pulang lebih awal merayakan Natal bersama keluarga masing-masing.
"Selamat malam Natal, nona Calista!" ujar seorang tukang kebun yang tampak lelah tapi tetap tersenyum ramah.
"Selamat malam Natal!" Caca membalas sambil melambaikan tangan, melangkah menuju pintu utama mansion.
Pintu besar itu dibuka oleh Sarah, salah satu pelayan yang tampak sudah rapi dengan mantel tebalnya.
"Selamat malam Natal, Caca!" Sarah memeluknya erat. "Kuharap kau mengalami malam yang istimewa."
"Terima kasih, Sarah! Sampaikan salamku untuk keluargamu, ya. Semoga malam Natalmu menyenangkan."
"Sampai jumpa!" ucap Sarah sambil tersenyum sebelum meninggalkan mansion.
Begitu melangkah masuk, Caca langsung disambut kehangatan khas rumah mewah yang dihiasi pernak-pernik Natal. Pohon Natal besar berdiri megah di sudut ruang tamu, dihiasi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip. Aroma kayu manis, cokelat panas, dan ayam panggang menyelimuti udara, membuat suasana terasa begitu akrab dan nyaman.
“Caca!” Suara ceria Ray, bocah laki-laki yang ia asuh, terdengar dari arah tangga.
Caca tersenyum lebar saat Ray berlari menghampirinya, memeluk erat pinggangnya. "Hai, sayang!"
Ray mendongak, wajahnya berseri-seri. "Kamu datang!"
“Aku pasti datang, kan?” jawab Caca sambil mengacak rambut bocah itu dengan lembut.
Nyonya Pattinson muncul dari ruang makan dengan senyuman ramah. "Aku senang kau sudah datang, Calista," ucapnya.
"Terima kasih banyak sudah mengundang saya, Nyonya Pattinson," balas Caca sopan.
“Kau tidak perlu terlalu formal, anggap saja rumah sendiri. Ayo, ikut aku ke dapur. Aku, Sarah, dan para pelayan lainnya sudah menyiapkan makan malam. Kau cukup duduk dan menikmati semuanya.”
Caca mengikuti langkah nyonya Pattinson menuju dapur, melewati ruang tamu yang begitu megah. Logan belum terlihat, dan entah kenapa hal itu membuat Caca sedikit lega. Ia mulai merasakan perasaan yang aneh dan ia senang tak harus merasakannya sekarang.
Mereka tiba di dapur, di mana hidangan lezat berbaris rapi di atas meja. Ayam kalkun panggang, mashed potato, pie apel, dan berbagai hidangan lainnya terlihat menggoda.
"Wow, semuanya terlihat luar biasa!" seru Caca.
"Kami ingin membuat malam ini istimewa," jawab nyonya Pattinson sambil tersenyum. “Aku harap ini sesuai dengan seleramu.”
Kehangatan dalam nada Nyonya Pattinson membuat hati Caca melembut. Ia tersenyum menatap Nyonya Pattinson sambil mengangguk. "Tentu saja ini sangat sesuai dengan seleraku. Jujur saja, ini lebih baik dari pada memakan mie instan sendirian di malam natal."
Nyonya Pattinson tertawa kecil merespon ucapan Caca. "Ini masih terlalu awal untuk makan malam. Apakah yang kau lakukan jika di negaramu sebelum makan malam?" Tanya Nyonya Pattinson.
"Hm, seingatku, kami masih belum selesai memasak beberapa kudapan." Ia bercerita sambil tertawa. "Kamu juga pergi ke gereja."
"Gereja, ya..." Nyonya Pattinson mengulang kata-kata Caca yang terakhir.
Meskipun memiliki gereja sendiri, keluarga Pattinson bukanlah orang-orang yang religius. Ia maklum dan mengerti keluarga itu. Beruntung, sebelum datang Caca sudah pergi ke kebaktian pertama di gerejanya.
"Apakah anda butuh bantuan?" Caca mengubah topik, merasa tak enak dengan topik barusan.
Nyonya Pattinson kemudian menaikan alisnya. "Oh, astaga... Aku lupa mengeluarkan beberapa buah-buahan." Beliau segera beranjak pergi meninggalkan Caca sendirian.
Saat gadis itu ingin menyusul, sebuah suara dari belakangnya memanggil.
"Calista." Panggil Logan dengan suara rendah yang kaku, membuat Caca berhenti dan membalikan badanya menatap laki-laki itu
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia