NovelToon NovelToon
23.55 "Lima Menit Sebelum Tengah Malam"

23.55 "Lima Menit Sebelum Tengah Malam"

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Balas Dendam / Wanita Karir / Trauma masa lalu
Popularitas:638
Nilai: 5
Nama Author: Nurul Wahida

Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.

Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Ravin Lagi

Kota Reynhaven pada malam hari memiliki suasana yang berbeda. Lampu-lampu jalan menyala lembut, memantulkan bayangannya di aspal basah karena gerimis sore tadi. Di salah satu sudut kota, sebuah kafe kecil bernama Amber Glow berdiri dengan jendela kaca besar yang memancarkan kehangatan dari dalam. Di sinilah Naya menunggu seseorang, duduk di meja dekat jendela sambil memainkan cangkir kopinya yang mulai mendingin.

Ia menarik napas panjang. Pikirannya masih berputar pada kejadian di kantornya beberapa hari lalu, perintah untuk menghentikan penyelidikan, tekanan dari atas, kondisi timnya yang goyah. Dan di atas semua itu, ada janji yang belum ia tepati, menemukan kebenaran tentang kematian kakak Ravin.

Ponselnya bergetar di meja. Naya meraihnya dan melihat nama Ravin di layar. Ia menjawab dengan cepat.

"Aku sudah di kafe," katanya.

"Kamu di mana?"

"Baru saja parkir mobil," jawab suara Ravin di seberang.

"Sebentar lagi saya sampai."

Naya menutup telepon dan menatap cangkir kopinya lagi. Ada rasa gelisah yang mengganjal di dadanya. Ia tahu pertemuan ini bukanlah sesuatu yang akan menyenangkan. Ravin sudah menunggu kabar selama berminggu-minggu, dan malam ini, ia harus mendengar bahwa pencarian jawaban itu harus tertunda.

Tak lama, pintu kafe terbuka. Angin dingin malam menyusup masuk sejenak sebelum pintu kembali tertutup. Ravin melangkah masuk, mengenakan jaket hitam yang basah di bagian bahu. Matanya mencari Naya, dan begitu ia menemukannya, ia berjalan mendekat.

"Maaf, hujan ini bikin jalanan jadi macet," katanya sambil melepas jaketnya dan menggantungnya di sandaran kursi.

Naya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai."

Setelah memesan secangkir teh, Ravin menatap Naya dengan alis sedikit terangkat.

"Jadi, ada apa? Anda kelihatan tegang."

Naya terdiam sejenak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum akhirnya bicara.

"Aku ingin membahas tentang penyelidikan kita… tentang kakakmu."

Ravin mengangguk perlahan, matanya mulai serius. "Apa ada kemajuan?"

Naya menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

"Sejujurnya, tidak. Kami baru saja mendapat tekanan dari atasan untuk menghentikan penyelidikan sementara. Ada… alasan yang tidak bisa aku jelaskan sekarang. Tapi intinya, kami diminta untuk menghentikan semua investigasi yang terkait dengan proyek Astra Land."

Ravin menatapnya tajam, tapi tidak segera merespons. Naya melanjutkan dengan nada penuh penyesalan.

"Aku tahu ini bukan kabar yang ingin kamu dengar, Ravin. Dan aku juga tahu kamu sudah menunggu terlalu lama. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan menyerah. Aku berjanji ini hanya sementara. Aku akan kembali ke kasus ini, dan aku akan memastikan kita menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian kakakmu."

Ada keheningan di antara mereka. Ravin menatap ke arah meja, jarinya mengetuk-ketuk permukaannya seolah-olah mencoba mencerna kata-kata Naya.

"Jadi, mereka menghentikan semuanya begitu saja?" tanyanya akhirnya, suaranya pelan tapi sarat dengan kekecewaan.

"Untuk sementara, ya," jawab Naya.

"Tapi bukan berarti aku akan diam saja. Aku punya tim yang hebat, Ravin. Evan, senior Owen, Rayyan, Rayna, dan semua orang di timku, bahkan Sienna seorang wartawan… mereka tidak akan membiarkan ini begitu saja. Kami hanya butuh waktu untuk mencari celah. Untuk melanjutkan tanpa menarik perhatian yang salah."

Ravin menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya memandang keluar jendela, ke jalanan yang sepi dan basah.

"Saya tidak berharap banyak, detektif," katanya akhirnya.

"Tidak usah terlalu formal antara kita. Aku adalah teman kakakmu. Jadi, panggil aku senyaman mu saja. Kakak juga boleh," saran Naya. Dia merasa aneh dengan kesopanan Ravin ini.

"Ah, ya. Sejujurnya, aku bahkan sudah hampir menyerah sebelum kamu datang. Tapi… kalau kamu bilang ini hanya sementara, aku akan percaya padamu, Kak."

Naya merasa dadanya sedikit lega mendengar kata-kata itu. Tapi di saat yang sama, ia juga merasakan beban yang lebih besar. Ravin sudah terlalu banyak kehilangan, dan kini ia menaruh kepercayaannya pada Naya. Itu bukan tanggung jawab yang ringan.

"Terima kasih," kata Naya pelan.

"Aku tahu ini pasti sulit untukmu, dan aku berterima kasih karena kamu masih mau percaya."

Ravin mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan, matanya masih memandang keluar jendela. Naya memperhatikan wajahnya yang tampak letih, tidak hanya karena perjalanan ke kafe ini, tapi juga karena semua beban yang ia pikul. Kehilangan kakaknya, ketidakpastian yang terus mengintai, dan sekarang, kabar buruk dari Naya.

"Ravin," panggil Naya lembut.

Pria itu menoleh, matanya menatap Naya dengan penuh perhatian.

"Kamu tahu, aku tidak akan ada di sini malam ini kalau aku tidak yakin kita bisa menyelesaikan ini," kata Naya.

"Aku tidak akan menjanjikan apa pun yang tidak bisa aku tepati."

Ravin menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Aku percaya padamu, Kak. Bukan karena aku tidak punya pilihan lain, tapi karena aku tahu kamu benar-benar peduli. Dan itu lebih dari cukup untukku sekarang."

Kata-kata itu membuat Naya merasa campur aduk. Ada rasa lega karena Ravin tidak marah atau kecewa seperti yang ia bayangkan, tapi juga ada rasa bersalah karena ia tahu, Ravin pantas mendapatkan lebih dari sekadar janji.

Setelah beberapa menit, percakapan mereka mulai bergeser ke topik-topik yang lebih ringan. Ravin menceritakan bagaimana ia mencoba mengelola bisnis keluarga setelah kepergian kakaknya, sementara Naya berbagi cerita tentang masa-masa sulit menjadi detektif.

"Kadang aku merasa pekerjaan ini terlalu berat," kata Naya sambil mengaduk kopi yang sudah dingin.

"Tapi di saat yang sama, aku tahu ini satu-satunya hal yang ingin aku lakukan."

Ravin mengangguk. "Itu karena kamu punya tujuan. Kamu tahu apa yang ingin kamu capai. Dan itu hal yang langka."

Naya tersenyum tipis. "Tujuan itu sering terasa terlalu jauh, Ravin. Tapi ya, aku tidak bisa menyerah. Kalau aku menyerah, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."

Ravin menatap Naya dengan penuh rasa hormat. "Aku rasa itu salah satu hal yang membuatku percaya padamu. Kamu tidak menyerah, bahkan ketika semuanya terasa mustahil."

Naya merasa wajahnya memanas sedikit, tapi ia segera menutupi rasa malunya dengan menyeruput kopinya. Ia tidak terbiasa menerima pujian seperti itu, terutama dari seseorang seperti Ravin.

Malam itu, mereka berdua berbagi keheningan yang nyaman. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Hanya dua orang yang mencoba menemukan kekuatan di tengah kekacauan hidup mereka.

Ketika akhirnya mereka keluar dari kafe, gerimis kecil mulai turun lagi. Ravin mengenakan jaketnya dan mengantarkan Naya ke mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu untukku," kata Ravin sebelum Naya masuk ke mobilnya.

"Harusnya aku yang berterima kasih," balas Naya.

"Aku janji, Ravin. Ini tidak akan lama. Kita akan menemukan jawabannya."

"Oh ya, Kak. Karena kasus kalian di tutup. Kalau Kakak dan tim Kakak membutuhkan bantuan, jangan sungkan. Kakak bisa menghubungi ku. Aku juga bagian dari kepolisian. Tidak ada salahnya aku mengetahui bagaimana cara mengungkapkannya," tawar Ravin menatap Naya.

"Terima kasih, Ravin. Aku akan mengingat perkataan mu. Aku akan menghubungimu. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa. Dan, sesekali bermainlah ke tempat ku," tawar Naya padanya.

"Ya, aku akan mengingatnya. Aku akan mengingatnya." Ravin menjawab dengan senyuman penuh arti.

Ravin tersenyum, lalu melangkah mundur saat Naya menyalakan mesin mobilnya. Ketika mobil itu melaju pergi, Ravin berdiri di bawah gerimis, memandang ke arah jalan dengan perasaan yang sulit ia jelaskan.

Ravin masih melambai pada mobil Naya yang melaju jauh. Setelah mobil itu tak terlihat, dia menurunkan tangannya.

"Hmm, kurasa, aku harus bekerja lagi. Tapi, kali ini harus berhati-hati bukan?" ujarnya pada dirinya sendiri.

...****************...

Naya mengetuk setir mobilnya dengan kuku. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu.

"Apa perasaan ku saja ya?"

Setelahnya, dia menggelengkan kepalanya dengan kuat. Yah, itu mungkin saja perasaannya. Tidak mungkin Ravin adalah si pembunuh bayangan hitam. Mungkin ada sekitar 5 per sepuluh orang memiliki suara yang sama.

"Yah, pasti seperti itu."

...To be continue ...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!