Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Ragna, maafkan aku, maaf. Aku gagal sebagai seorang ayah, hiks..." Seorang pria berlutut, air matanya mengalir deras di wajah yang kini tampak penuh penyesalan. Di hadapannya berdiri seorang gadis cantik dengan surai hitam yang menjuntai anggun. Mata hijaunya memandang pria itu tanpa sedikit pun kehangatan, hanya dingin yang menusuk.
"Baguslah kalau kau sadar." Suara gadis itu terdengar tenang namun tajam, seperti bilah pisau yang menyayat tanpa ampun. Dia adalah Ragna Ganeshara, gadis enam belas tahun yang telah melalui kehidupan penuh cobaan bersama ayah angkatnya, Verio Ganeshara.
"Tapi aku nggak butuh kamu lagi di hidupku, Tuan." Lanjutnya dengan nada sinis, bibirnya melengkung dalam seringai penuh ejekan. "Apa kau masih ingat, dulu, bagaimana kau menyeretku, lalu melemparku ke lautan demi menyenangkan selingkuhanmu? Apa kau kira aku lupa?"
Kata-katanya menghantam pria itu seperti palu godam, membuat tubuhnya bergetar. Namun, Ragna hanya berdiri dengan penuh keangkuhan, menunjukkan bahwa luka lamanya takkan pernah terhapus dengan sekadar air mata dan permohonan maaf.
Pria itu menunduk semakin dalam, bahunya berguncang seiring isak tangis yang kian deras. "Aku... aku menyesal. Aku benar-benar bodoh, Ragna. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan waktu itu. Kumohon... beri aku kesempatan untuk menebus semuanya."
Ragna hanya tertawa kecil, namun tawanya tidak membawa kehangatan. Sebaliknya, tawa itu penuh sarkasme, seperti pisau yang sengaja dia tancapkan ke hati pria itu. "Menebus? Menebus apa? Hidupku yang hampir kau ambil? Luka yang sudah menorehkan jejaknya di setiap ingatanku? Jangan bercanda, Tuan."
Matanya yang hijau bersinar dingin, menatap pria itu dengan kebencian yang telah ia pendam bertahun-tahun. "Kalau kau benar-benar menyesal, kau tidak akan pernah melakukan itu sejak awal. Tapi kau melakukannya, dengan sadar, demi menyenangkan perempuan yang bahkan tidak ada di sisimu sekarang."
Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya penuh air mata. "Aku tahu... aku tahu aku tak layak. Tapi, aku hanya ingin kau tahu, aku menyesalinya. Aku ingin kau bahagia."
Ragna mendekatkan wajahnya ke pria itu, hingga mereka hanya terpisah beberapa sentimeter. "Kebahagiaanku? Sayangnya, kebahagiaan itu sudah kupelajari sendiri—tanpa kau, tanpa siapa pun. Kau tahu siapa yang benar-benar layak disebut ayah?"
Dia berdiri tegak, menyapu debu yang tak ada di bajunya, lalu mengangkat dagu dengan angkuh. "Verio. Pria itu, meskipun sarkas dan menyebalkan, tidak pernah menyerah untuk merawatku. Dia melindungiku ketika dunia menghancurkanku. Kau? Kau hanya sisa dari mimpi burukku."
Dengan kata-kata itu, Ragna membalikkan badan, berjalan pergi tanpa sedikit pun menoleh. Pria itu hanya bisa terduduk di lantai, menatap punggung gadis yang pernah dia sia-siakan, tahu bahwa penyesalannya tidak akan pernah cukup untuk menebus dosa masa lalunya.
🐾🐾
Seorang pria melangkah dengan penuh kesombongan di lorong panti asuhan, matanya menyapu sekeliling dengan tatapan tajam, membuat anak-anak kecil yang berada di sana menatapnya dengan ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan tak kuasa menahan air mata. Pria itu memiliki wajah tampan, rambut ungu kehitaman yang sedikit berantakan, serta mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus siapa pun yang dipandangnya. Telinganya dihiasi beberapa piercing yang mencolok. Dia tidak mengenakan jas formal, melainkan pakaian sederhana berwarna gelap, dengan gaya yang lebih mirip seorang berandalan.
Anak-anak di panti asuhan itu tampak terawat, mengenakan pakaian yang rapi dan bagus. Namun, mata pria itu tertuju pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang mengintip malu-malu dari balik bilik. Rambutnya hitam legam, terkesan kusut, sementara matanya yang hijau tampak kosong, tanpa sorot emosi apapun. Penampilannya yang tak terawat menarik perhatian pria itu, membuatnya melangkah mendekat ke arahnya.
Tatapan mereka bertemu. Manik mata hijau yang jernih milik anak itu beradu dengan mata hitam setajam mata elang milik pria itu, seolah saling menyelami satu sama lain, menciptakan keheningan sejenak. Lalu, pria itu dengan tenang mengalihkan pandangannya, menatap pengurus panti dengan ekspresi datar. "Aku pilih anak ini," katanya tanpa ragu.
Pengurus panti memandang anak itu dengan tatapan sinis, lalu beralih menilai pria berpenampilan preman tersebut. Mereka berdua sama-sama berpikir bahwa anak ini mungkin pembawa sial yang sebaiknya disingkirkan.
"Oh, tentu! Tentu!" sahut pengurus panti dengan nada yang terkesan terlalu ceria, "Aku harap dia betah tinggal bersamamu. Didik dia agar tidak membuat masalah, dan kalau bisa, jangan kembalikan dia nanti. Dia sudah tiga kali diadopsi dan selalu berakhir dikembalikan." Curhat sang pengurus panti membuat pria itu mengernyit, sedikit terganggu dengan informasi tersebut.
"Baiklah. Siapkan dokumennya," ujar pria itu dengan nada tegas.
"Ah! Tunggu sebentar, Tuan," sahut pengurus panti dengan tergesa-gesa sebelum bergegas pergi, meninggalkan pria itu bersama anak-anak lain yang masih berkumpul. Beberapa di antaranya menatap gadis kecil itu dengan sorot sinis.
Gadis kecil itu menatap pria di depannya dengan pandangan yang seolah penuh penilaian. Tangannya semakin erat memeluk boneka usangnya yang terlihat lusuh, dengan kain robek di beberapa bagian. Dia melirik sekeliling, menyadari tatapan kebencian yang diarahkan kepadanya, lalu perlahan menundukkan kepala.
"Siapa namamu?" tanya pria itu datar, memecah keheningan.
Gadis itu mendongak, menatap pria itu sejenak sebelum menjawab pelan, "Ragna."
"Nama yang bagus," pria itu berkomentar singkat, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Mulai sekarang kau ikut denganku. Tapi kau harus tahu, aku bukan orang baik."
Ragna terdiam sesaat, pikirannya melayang pada orang-orang sebelumnya yang pernah mengadopsinya. Wajah mereka selalu manis di awal, tetapi semuanya berubah menjadi dingin dan kasar setelah beberapa waktu.
Namun, kali ini berbeda. Tanpa keraguan sedikit pun, dia menganggukkan kepala. "Uhm," jawabnya lugas, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa dengan kehidupan yang tidak memberinya banyak pilihan.
🐾
"Ku harap kau cepat mati, Ragna. Kalau kau membuat ulah lagi dan kembali ke sini, aku nggak akan pernah menerimamu lagi. Kau mengerti?" geram pengurus panti, menyisir rambut hitam gadis itu dengan kasar.
"Iya," jawab Ragna pelan, hampir berbisik.
"Bagus! Aku harap kau tidak pernah kembali. Kalau kau diusir, itu urusanmu!"
Ragna hanya terdiam, mengangguk tanpa perlawanan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan kosong. Meski kini ia tampak lebih rapi, pakaian dengan warna pudar dan rambut yang digerai membuatnya tampak sedikit lebih layak daripada sebelumnya.
"Sudah selesai. Sekarang cepat pergi! Jangan membuatnya menunggu lama!" bentak wanita itu seraya mendorong tubuh kecil Ragna dengan kasar menuju ruang tamu.
Tak lama, pria itu muncul dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Pandangannya menyapu ke arah Ragna sebelum ia berbicara dengan nada dingin, "Ayo pergi."
Tanpa suara, Ragna mengangguk dan mulai mengikuti pria itu. Namun langkah pria itu tiba-tiba terhenti. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, menarik Ragna ke dalam pelukannya dengan satu gerakan tegas.
Tubuh kecil itu kaku dalam pelukannya, namun pria itu tidak peduli. Ia melanjutkan langkahnya, membawa Ragna dalam gendongannya tanpa memperhatikan tatapan terkejut yang terpancar dari para penghuni panti. Ragna hanya bisa membenamkan wajahnya di dada pria itu, merasakan kehangatan yang asing namun entah mengapa menenangkan.
"Kenapa?" bisik Ragna pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin.
"Mulai sekarang, kau putriku," jawab pria itu tanpa menoleh, suaranya datar namun tegas. "Aku nggak akan biarkan putriku terlihat hina." Langkahnya tetap mantap, perlahan meninggalkan panti asuhan yang suram itu.
Ragna terdiam dalam pelukannya, merasakan sesuatu yang asing menyelimuti dirinya. Bukan cinta, bukan pula kasih sayang, tetapi ada kehangatan yang aneh—dingin namun nyata. Seolah-olah pria itu berkata tanpa kata, bahwa ia tidak lagi sendirian, tidak lagi terbuang.
Ketika mereka tiba di luar gerbang panti, pria itu menghentikan langkahnya. Ia menatap bangunan tua itu sekilas, mata hitamnya menyiratkan sesuatu yang tak dapat ditebak. Keheningan sejenak menyelimuti mereka sebelum pria itu kembali melangkah.
Ragna melirik panti asuhan itu untuk terakhir kalinya, tempat yang selama ini ia kenal sebagai "rumah" meski penuh luka. Ada kelegaan dalam hatinya, tapi juga kegelisahan tentang apa yang menunggunya di luar sana. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya memeluk erat boneka usangnya, menggenggam satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman di tengah ketidakpastian.
Langit mendung di atas mereka, angin dingin menerpa wajah Ragna, namun dalam gendongan pria itu, ia merasakan sedikit rasa aman. Mereka berjalan menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan bayangan masa lalu Ragna di balik pintu gerbang panti yang mulai menutup.
🐾
Pria itu mendudukkan Ragna di atas ranjang yang empuk, membuat gadis kecil itu sedikit terpana dengan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah itu, ia melepas jaket kulit hitamnya yang basah oleh hujan dan menggantungkannya di balik pintu kamar.
"Kita menginap di sini untuk malam ini," ucap pria itu sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan badai mengguyur kota tanpa henti.
Ragna hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, memeluk boneka usangnya erat-erat. Kakinya yang kecil menggantung di tepi ranjang, sementara ia memandangi pria itu dengan rasa penasaran yang tak berani diungkapkan.
"Om belum memperkenalkan diri," akhirnya Ragna memberanikan diri untuk berbicara, suaranya kecil namun terdengar di tengah suara hujan yang deras.
Pria itu menoleh, wajahnya tetap dingin namun ada sedikit kelembutan di balik matanya. "Aku lupa. Namaku Verio Ganeshara, yang mulai hari ini adalah ayahmu," ucapnya, suaranya tegas namun terdengar seperti janji yang takkan diingkari.
Ragna menatapnya sejenak, lalu menunduk sedikit, menggenggam bonekanya lebih erat. "Aku Ragna. Hanya Ragna. Aku nggak punya nama panjang seperti yang lainnya," ucapnya pelan, ada nada rendah diri dalam suaranya.
Verio terdiam beberapa saat, menatap gadis kecil itu yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia mendekati ranjang, lalu duduk di samping Ragna. "Mulai sekarang, kau adalah Ragna Ganeshara," ucapnya datar, namun penuh keyakinan.
Ragna mendongak, menatap pria itu dengan mata membulat, hampir tak percaya. "Ganeshara?" ulangnya, suaranya bergetar pelan.
"Ya," jawab Verio singkat, matanya kembali menatap ke luar jendela yang dihiasi gemuruh petir. "Kau bagian dari keluargaku sekarang."
Ragna tidak berkata apa-apa lagi, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai terasa sedikit lebih hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat di dunia ini, meskipun bersama seseorang yang masih asing baginya.
"Terimakasih... Papa." Suara Ragna terdengar seperti bisikan.
Verio menoleh pelan ke arah Ragna, keningnya berkerut mendengar kata-kata itu. "Apa yang kau bilang?" tanyanya dengan suara rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ragna menunduk, menggigit bibir bawahnya sebelum berbisik, "Terimakasih... Papa." Suaranya kecil, tapi cukup jelas di tengah gemuruh hujan yang terus turun di luar sana.
Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata "Papa" itu terasa asing di telinganya—sesuatu yang belum pernah ia dengar diarahkan padanya. Pandangannya melembut, meskipun wajahnya tetap dingin seperti biasa.
"Kau benar-benar anak aneh," gumam Verio, namun ada nada samar yang terdengar seperti senyum dalam suaranya. Ia mengusap kepala Ragna dengan tangannya yang besar dan hangat, membuat gadis itu sedikit tersentak. "Jangan cepat percaya pada orang lain. Bahkan aku."
Ragna mengangguk kecil, tapi tidak mengelak dari sentuhan itu. Dalam keheningan, Verio kembali berdiri, melangkah ke jendela untuk mengamati badai yang tak kunjung reda. Sementara itu, Ragna duduk di ranjang, tangannya menggenggam erat bonekanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman mengucapkan kata "Papa."
Di luar, petir menyambar, menerangi ruangan sesaat. Namun di dalam kamar itu, ada kehangatan kecil yang mulai tumbuh, membalut dua hati yang tadinya sama-sama dingin dan terluka.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜