"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong aku, Tsania
"Kondisi Elma memburuk. Kamu harus bergegas ke sini, San. Dia ingin menemui kamu."
Suara wanita itu mengusik gendang telingaku untuk ke sekian kali. Aku berlari di lorong koridor Taman Kanak-kanak. Beruntung sudah sepi, jadi aku bisa mempercepat laju lari.
"Tante, aku tutup dulu, ya. Nanti aku kabari lagi kalau sudah sampai sana," cetusku seraya masuk ke mobil.
Elma ... Elma .... nama itu terus berdengung dalam telingaku. Ya, Tuhan! Aku memang senang akhirnya bisa bebas dari bayang-bayang Elma setelah dia menikah, tetapi aku juga tidak bisa melihatnya kalau sedang dalam keadaan seperti ini. Dia tetap kakakku, meskipun kenyataannya aku selalu mengalah untuk Elma.
Aku menyetir dengan kecepatan lumayan hanya agar bisa sampai di rumah Elma. Barangkali dia tahu waktunya tak akan lama, sehingga menolak untuk melakukan kemoterapi atau pengobatan apa pun itu.
Elma pernah berkata padaku, "Buat apa, San? Itu nggak akan membuatku sembuh, hanya akan menunda kematianku."
Ketika Elma berkata demikian, aku merasa sakit. Sungguh. Kami bersama sejak kecil dan Elma adalah satu-satunya keluargaku selain ayah kami.
Mobil yang aku kendarai akhirnya tiba di halaman rumah Elma. Hanya ada satu kendaraan di halaman dan aku tahu itu mobil mertua Elma sedangan Jeep milik suaminya tak ada di carport. Jam segini dia memang masih bekerja, seingatku.
"Tante," sapaku saat bergegas masuk ke kamar Elma.
Kakakku terbaring lemah di tempat tidur. Dia terlihat bukan seperti Elma yang aku kenal. Elma terlihat rapuh dan hancur. Tulang pipinya mulai menyembul dan setiap kali menatapnya, hatiku terasa hancur.
"Elma," sapaku seraya duduk di sisi kasur dan mencium keningnya. Kedua mataku serasa memanas. Ya, Tuhan! Sesakit ini melihatnya melawan kanker yang sudah menyerang organ lain dalam tubuhnya.
"Aku senang kamu datang, San," katanya lirih.
"El, kamu harus berobat. Lihat, ada aku, Tante Julia, Om Sandy, dan Ayah. Kami semua ingin kamu sembuh. Ada Niklas yang juga ingin kamu ...."
Senyum rikuh Elma memutus ucapanku. "Aku baik-baik saja. Lebih baik begini."
"Tapi, Elma ...."
Ucapanku terpotong lagi oleh sorot matanya yang redup. Air mataku meleleh untuk ke sekian kali. Perasaanku seperti dihantam bebatuan besar tak terlihat.
"Sudahlah, San. Ini sudah menjadi keputusan Elma," kata Tante Julia—ibu mertuanya Elma.
"Elma, aku nggak mau kamu menyerah begini." Aku mengusap lembut pelipis Elma. Air mataku tetap tak bisa berhenti mengalir saat menatapnya.
"San, aku kan sudah bilang, kemo hanya akan menunda kepergianku," ucap Elma dengan pelan.
"Please, jangan bicara seperti ini, Elma. Aku di sini, ada kami. Kamu harus berjuang."
Kepala Elma menggeleng lemah. "Kamu tau, San? Jangankan bertahan selama mungkin, menggeleng sedikit saja rasanya sangat sakit."
Ya, Tuhan! Hatiku menjerit sakit saat mendengar ucapan Elma. Tak kusangka hal seburuk ini menimpa dirinya. Namun, siapa yang tahu jalan dan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan?
"Tsania, sudahlah." Kini ayahku yang bersuara. Mungkin karena dia juga tidak mau memperpanjang suasana menyedihkan ini.
Aku akhirnya memilih untuk berhenti pengobatan untuk Tsania. Padahal aku sangat berharap semangat Tsania seperti beberapa bulan belakangan—sebelum kankernya ditetapkan mencapai stadium akhir. Hanya saja, penyakit itu melemahkan api semangat Tsania. Di satu sisi, aku tahu Tsania sangat mengharapkan keinginan seorang anak, hanya saja ... Tuhan berkata lain.
Kami semua terdiam dalam ruangan itu. Lebih-lebih aku yang hanya bisa meneteskan air mata. Tangan kurus Elma mengusap pipiku dengan lembut. Tak pernah kubayangkan aku dan Elma akan terjebak dalam situasi ini. Perasaanku benar hancur oleh kenyataan yang menimpa Elma.
Beberapa bulan lalu Elma didiagnosa kanker rahim stadium akhir. Hidupnya tak akan lama lagi karena kanker menyebar ke organ tubuhnya yang lain. Kami tentu saja terpukul dan tidak tahu harus berbuat apa selain mengupayakan pengobatan untuk Elma.
Beberapa kali Elma menjalani kemoterapi. Niklas—suaminya—yang meminta agar Elma berobat. Karena Niklas percaya istrinya akan sembuh. Dia rela merogoh biaya berapa pun asal Elma bisa kembali sehat.
Akan tetapi, suatu hari Elma menyerah akan takdir dan penyakitnya. "Aku tidak mau kemoterapi lagi." Begitu katanya.
Keputusan yang sulit, tetapi Elma bersikeras. Niklas sempat memprotes walau ujung-ujungnya menyerah atas keinginan besar Elma. Aku yang mendengar keputusannya juga ikut merasa hancur. Di saat seperti ini aku tidak bisa membantu Elma. Tak bisa membantu apa pun selain mendukung dan berada di sisinya.
"San, sebenarnya ada yang mau aku bicarakan berdua," kata Elma setengah berbisik. Memecah lamunanku tentang kenyataan pahit yang menimpa Elma.
"Ada apa? Katakan saja," tukasku.
"Aku ingin bicara berdua."
Ucapan Elma membuat mertuanya dan ayahku bergegas keluar. Walaupun sebenarnya aku merasa tak enak hati karena terkesan mengusir mereka.
Selepas mereka keluar, aku menggenggam jari-jari Elma yang rikuh. Genggaman kami menghangat seiring senyum yang terbit di bibirnya. Elma menyentuh wajahku dengan tangannya yang lesu.
"San, kamu tau, aku menyayangimu. Kamu saudaraku satu-satunya yang sangat aku sayang dan berharga. Aku sudah melukaimu, San. Aku sudah merebut banyak hal darimu, maafkan aku," katanya.
Aku tersentak mendengar ucapannya. "El, jangan membahas masa lalu. Akan kulakukan apa pun karena kamu saudaraku. Aku juga juga menyayangi kamu."
"Benarkah? Kamu akan melakukan apa pun?"
Pertanyaan Elma kujawab dengan anggukan. Terlihat Elma menyunggingkan senyum dari bibirnya yang kering dan pucat.
"Kalau begitu, tolong aku, Tsania. Maukah kamu memenuhi permintaan terakhirku?" tanya Elma menambahkan.
"Jangan bicara seolah ini hari terakhirmu, Elma. Aku nggak mau mendengar hal-hal seperti itu. Katakan apa yang kamu inginkan. Akan aku lakukan," ucapku.
"Berikan anak untuk Niklas."
Sepasang mataku melebar kaget mendengar ucapannya. Mataku mengejap sebentar seiring pegangan pada jari-jari Elma yang sedikit melonggar. Namun, dengan sisa tenaganya, Elma meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Keluarga Niklas sangat berharap padaku. Mereka membutuhkan seorang penerus, San. Aku tidak bisa memberikan itu pada Niklas dan hanya kamu yang bisa," imbuhnya.
"Bicara apa kamu? Kamu sedang lelah, aku akan keluar dan istirahatlah."
Aku hendak pergi, Elma menahan jari-jariku. "Kumohon, San. Aku tidak mau Niklas bersama wanita lain saat aku tiada. Aku ingin dia bersama adikku."
"Kamu tau itu nggak mungkin terjadi, Elma. Jangan berpikir seperti itu."
Kakakku menggeleng lemah. Sorot matanya terlihat sangat memohon. Genggamannya yang lemah makin terasa sedikit erat. Belum sempat dia menjawab, terdengar suara mesin mobil dari arah halaman rumah.
Seketika detak jantungku bertalu lebih cepat. Sentuhan Elma menarik atensiku.
"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu."