Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayo ciuman
Suara ketukan pintu apartemen Raja terdengar saat sore menjelang. Raja buru-buru menuju pintu, membukanya, dan mendapati Mama Cantika dan Papa Arthur sudah berdiri di sana. Wajah Mama Cantika terlihat cemas, sedangkan Papa Arthur memandang Raja dengan ekspresi serius.
“Mama dan Papa langsung ke sini begitu dengar kabar Chilla sakit,” ujar Cantika sambil masuk ke dalam apartemen.
Raja mengangguk pelan, lalu mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Chilla, yang masih sedikit lemas, tersenyum kecil dari tempatnya berbaring di sofa.
“Raja, kamu gimana sih? Kok bisa Chilla sampai sakit seperti ini?” tanya Mama Cantika dengan nada agak kesal.
Raja yang berdiri di samping sofa menggaruk kepalanya. “Raja nggak tahu, Ma. Tiba-tiba malam itu Chilla ngomong kalau badannya dingin. Pas Raja cek, ternyata badannya panas banget.”
Mama Cantika menghela napas panjang sambil menatap Raja dengan pandangan kecewa. “Mulai saat ini, kamu harus jadi suami yang lebih bertanggung jawab, Raja. Kamu itu udah punya istri. Kurang-kurangin mainnya, kurang-kurangin cueknya!” tegur Papa Arthur dengan nada tegas.
Raja hanya mengangguk pelan tanpa membantah. Namun, sebelum situasi semakin tegang, Chilla ikut angkat bicara.
“Papa, Mama, Raja baik kok. Dia yang ngurusin aku pas aku sakit. Dia sampai masak bubur buat aku tadi pagi,” ujar Chilla dengan senyum kecil yang membuat suasana mencair.
Papa Arthur tersenyum tipis. “Bagus kalau kamu udah mulai belajar tanggung jawab. Ingat, Raja, rumah tangga itu butuh kerja sama, nggak bisa cuma salah satu yang usaha.”
Malam pun tiba, dan setelah jam menunjukkan pukul tujuh, Mama Cantika dan Papa Arthur pamit pulang. Sebelum pergi, Mama Cantika sempat mencium kening Chilla, sementara Papa Arthur menepuk bahu Raja dengan pandangan penuh harapan.
“Jaga istri kamu baik-baik, Raja,” pesan Papa Arthur sebelum menutup pintu.
Setelah mereka pergi, suasana apartemen menjadi lebih tenang. Chilla yang masih duduk di sofa perlahan merapatkan posisinya ke arah Raja yang sedang duduk di kursi samping. Melihat gerakan Chilla, Raja langsung mengernyitkan dahi.
“Lo mau apa lagi? Jangan-jangan lo mau bikin ulah lagi,” ucap Raja dengan nada curiga.
Chilla tersenyum tipis, menatap Raja dengan tatapan yang sulit diartikan. “Lo serius bakal belajar nerima gue jadi istri lo?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya terdengar tulus.
Raja terdiam sejenak, lalu menjawab sambil menghela napas panjang, “Asal lo nggak banyak tingkah aja.”
Chilla mengangguk kecil. Namun, dalam sekejap, ekspresi seriusnya berubah menjadi nakal. “Kalau gitu, ayo ciuman?” ajaknya dengan nada menggoda.
Raja langsung menyentil dahi Chilla dengan ekspresi jengkel. “Gak usah macam-macam, lo pikir gue siapa?” ucapnya, mencoba terdengar tegas meski wajahnya sedikit memerah.
Chilla tertawa kecil, meski kepalanya masih terasa sedikit berat. “Gue cuma bercanda, Raja. Tapi serius, gue seneng lo mulai peduli sama gue. Rasanya… beda aja.”
Raja tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Chilla dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Jangan keburu seneng dulu. Gue cuma nggak mau ada drama kalo lo kenapa-kenapa,” sahutnya, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya.
Chilla tersenyum kecil, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. “Gue nggak peduli alasan lo apa. Yang penting gue tahu lo ada buat gue.”
Raja menghela napas panjang, namun ia membiarkan keheningan mengambil alih. Dalam hati, ia merasa ada sedikit perubahan pada dirinya. Mungkin, hanya mungkin, ia mulai belajar menerima kehadiran Chilla di hidupnya—meski ia masih belum siap mengakuinya.
******
Raja menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap wajahnya, bingung bagaimana menghadapi Chilla yang keras kepala. Di hadapannya, Chilla sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
“Serius mau berangkat sekolah? Badan lo masih lemes, Chilla. Lo istirahat di apartemen aja ya,” ucap Raja, mencoba membujuknya dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya.
Chilla mendengus pelan sambil mengancingkan seragamnya. “Gak mau, gue mau berangkat sekolah. Bisa-bisa nanti lo digodain cewek lain lagi. Gue gak rela. Cukup sekali aja gue sakit liat lo sama cewek lain,” balasnya dengan nada kesal, mengingat jelas momen saat Raja masih bersama Sandra, mantan pacarnya.
Raja mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar ucapan itu. “Lo gak percaya sama gue?” tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya merasa tidak nyaman mendengar kecurigaan Chilla.
Chilla menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatap Raja dengan mata yang terlihat penuh emosi. “Gue gak akan pernah percaya sama lo sebelum lo cinta sama gue,” ucapnya tegas, lalu melanjutkan dengan suara yang sedikit melemah, “Gue nggak sepercaya diri kalau menyangkut lo. Gue selalu berusaha sempurna di depan lo, tapi lo sama sekali gak pernah lirik gue.”
Raja terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia bisa merasakan kejujuran di balik kata-kata Chilla, tapi bagian dirinya yang lain menolak untuk menerima itu.
Chilla kembali berbicara, kali ini suaranya terdengar lirih, seolah-olah dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Kadang gue mikir, apa gue berhenti sampai sini aja ya. Lama-lama gue capek ngejar-ngejar lo. Tapi gue juga gak tau gimana caranya berhenti buat cinta sama lo.”
Kata-kata itu menusuk hati Raja, meskipun dia tidak menunjukkannya. Ia tahu Chilla selalu berusaha keras mendekatinya, tapi ia juga sadar dirinya belum bisa membalas perasaan itu.
Chilla menyeringai kecil, merasa puas karena berhasil membuat Raja sedikit bimbang. Ia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, “Lo itu penyakit sekaligus obat buat gue. Setiap tindakan dan kata-kata lo kadang nyakitin gue. Tapi lo juga yang bisa jadi obat sakit hati gue.”
Raja menghela napas panjang. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Chilla yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin. Ia berdiri di belakangnya, menatap bayangan Chilla di cermin dengan ekspresi serius.
“Chilla, gue gak tahu gimana caranya buat lo percaya sama gue. Tapi gue gak pernah maksud nyakitin lo. Gue cuma… bingung,” ucap Raja pelan, hampir seperti bisikan.
Chilla berhenti sejenak, memandang bayangan Raja di cermin dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Bingung? Bingung apa, Raja?” tanyanya.
Raja menggaruk belakang kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya ke samping. “Gue bingung kenapa lo terus-terusan bertahan sama gue, padahal gue jelas-jelas bukan cowok baik yang lo pikirin,” ucapnya dengan jujur.
Chilla tersenyum tipis, lalu berbalik menghadap Raja. “Karena gue percaya lo bisa jadi cowok baik. Mungkin nggak sekarang, tapi suatu saat nanti. Dan sampai saat itu tiba, gue akan tetap di sini,” jawabnya.
Raja terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, kata-kata Chilla membuatnya merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tertekan karena belum bisa memenuhi harapan gadis itu.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Raja menghela napas dan melangkah mundur. “Kalau gitu, terserah lo. Tapi kalau badan lo kenapa-kenapa di sekolah, gue gak mau tanggung jawab,” ucapnya sambil berjalan ke dapur, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Chilla tersenyum kecil, merasa bahwa perlahan, meski hanya sedikit, ia berhasil membuat Raja mulai memikirkannya lebih serius. Bagi Chilla, perjuangannya belum selesai. Ini baru permulaan.
*****
Chilla masih duduk lemas di bangkunya, kepalanya tersandar di atas meja. Jam pertama sudah selesai, tetapi rasa pusingnya belum juga hilang. Sementara itu, suasana kelas mulai sepi karena teman-temannya sudah pergi ke kantin untuk istirahat.
"Chilla, kamu kenapa? Kamu sakit ya?" tanya Alana, salah satu teman sekelasnya, dengan nada khawatir.
"Iya kok lo bisa barengan gitu ya sama Raja, sama-sama gak berangkat?" sahut Peti sambil menatap Chilla dengan rasa penasaran.
Chilla menggeleng pelan tanpa mengangkat kepalanya. "Gue gak apa-apa. Kalian kalau mau ke kantin pergi aja. Gue cuma mau tidur di kelas," ucapnya lemah.
"Mau nitip sesuatu nggak?" tanya Peti lagi, mencoba membantu.
"Gak usah," jawab Chilla singkat.
Mendengar itu, Alana dan Peti memutuskan untuk meninggalkan Chilla sendirian. Mereka berjalan keluar kelas, meninggalkan suasana yang hening.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Sebuah tangan tiba-tiba mengusap kepala Chilla lembut. Chilla mendongak sedikit, melihat siapa yang berada di sebelahnya.
"Pusing lagi? Gue kan udah bilang nggak usah berangkat, ngeyel banget," ujar Raja, berdiri di samping bangku Chilla sambil membawa roti dan susu di tangannya.
Chilla hanya menatapnya dengan mata setengah terbuka, tidak menjawab.
"Nih, makan," ucap Raja sambil meletakkan roti dan susu di meja Chilla.
Chilla menggeleng pelan. "Gak mau," sahutnya singkat.
Raja mendecak kesal. "Ck! Kalau lo makan, nanti gue kasih hadiah deh," bujuknya, mencoba mencari cara agar Chilla mau menurut.
Chilla mengangkat sedikit kepalanya dari meja, menatap Raja dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apa?" tanyanya.
"Terserah lo," jawab Raja asal, mengira Chilla akan meminta sesuatu yang sederhana seperti makanan lain atau mainan kecil.
Namun, Chilla tersenyum licik dan berkata dengan nada pelan, "Ciuman. Gue mau ciuman sama lo."
Mata Raja melebar. "Gila! Ini di sekolah, Chilla!" serunya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Chilla mengangkat bahunya santai. "Nanti di apartemen aja. Kalau lo gak mau, ya udah, gue gak mau makan," ucapnya sambil menutup matanya lagi, kembali bersandar di meja.
Raja menghela napas panjang, merasa kalah dalam situasi ini. Ia tahu Chilla keras kepala, dan jika ia menolaknya sekarang, gadis itu benar-benar tidak akan makan.
"Ck! Oke," jawab Raja akhirnya, dengan nada pasrah.
Mendengar itu, Chilla langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum puas. "Janji ya," ucapnya sambil mulai meraih roti di meja dan memakannya dengan pelan.
Raja hanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah laku istrinya. "Lo ini bener-bener bikin gue pusing," gumamnya sambil duduk di kursi di sebelah Chilla.
Chilla menoleh ke arahnya dengan senyuman kecil di wajahnya. "Tapi gue juga bikin lo seneng, kan?"
Raja tidak menjawab, hanya menatap Chilla yang mulai terlihat lebih baik setelah makan. Di dalam hatinya, meskipun ia sering kesal dengan tingkah Chilla, ada rasa lega melihat gadis itu kembali ceria, bahkan di tengah keadaan sakit sekalipun.
Beberapa saat kemudian, bel tanda akhir istirahat berbunyi.
******
Setelah sampai di apartemen, Chilla langsung berlari ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Sementara itu, Raja berjalan santai ke kamar dan mengganti bajunya di sana. Suasana hening melingkupi apartemen mereka, hanya terdengar suara Chilla yang sesekali bersenandung kecil dari dalam kamar mandi.
Raja duduk di sofa kamar, membuka ponselnya untuk mengecek notifikasi, tetapi tidak lama kemudian, suara Chilla mengagetkannya.
"Ayo," ucap Chilla sambil melangkah keluar dari kamar mandi.
Raja menatap Chilla dengan bingung. "Apaan?" tanyanya, tanpa melepas pandangannya dari layar ponsel.
Chilla berkacak pinggang, tatapannya kesal. "Lo kan udah janji mau ciuman sama gue," ujarnya dengan nada protes.
Raja mendesah pelan, merasa terjebak oleh ucapannya sendiri. "Ck! Gak bisa yang lain aja?" tanyanya dengan nada setengah malas.
"Bikin bayi?" Chilla menjawab cepat sambil menaikkan alisnya, seolah sengaja ingin memancing reaksi Raja.
"Jangan sembarangan," ujar Raja dengan nada tegas, meskipun ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar jawaban Chilla yang blak-blakan.
Namun, Chilla tidak peduli. Ia berjalan mendekati Raja dengan langkah santai, lalu tanpa izin langsung duduk di pangkuan Raja. Tangan mungilnya melingkar di leher pria itu, membuat Raja terdiam sejenak.
"Lama banget!" protes Chilla, kemudian tanpa aba-aba menarik wajah Raja mendekat dan menyambar bibirnya.
Raja awalnya membeku, tidak tahu harus merespons bagaimana. Namun, Chilla melakukannya dengan penuh percaya diri. Tangannya memegang tengkuk Raja, sementara jemarinya yang lembut mengusap pelan bagian belakang leher pria itu, menciptakan sensasi yang membuat Raja tanpa sadar memejamkan matanya.
Chilla semakin mendekatkan dirinya ke Raja, memperdalam ciuman mereka. Bibirnya bergerak dengan lembut namun penuh tuntutan, seolah ia tidak akan berhenti sampai Raja benar-benar membalas. Dan balasan itu akhirnya datang.
Raja, yang awalnya berniat menghindar, malah larut dalam situasi itu. Tangannya yang semula menggantung di sisinya kini beralih ke pinggang Chilla, mengusap lembut pinggang gadis itu. Bibirnya mulai membalas ciuman Chilla, mengikuti irama yang telah gadis itu tentukan.
Chilla tersenyum di tengah ciuman mereka, merasa puas karena akhirnya mendapatkan respons yang ia inginkan. Ia memiringkan sedikit kepalanya, memberikan akses lebih untuk memperdalam ciuman tersebut. Raja, meski sempat ragu, kini benar-benar terbuai.
Namun, setelah beberapa saat, Raja tiba-tiba tersadar. Ia menarik wajahnya menjauh dengan cepat, membuat Chilla terkejut.
"Chilla, cukup," ucap Raja sambil mengatur napasnya yang sedikit tersengal.
Chilla memandang Raja dengan wajah sedikit kesal. "Kenapa? Lo tadi juga nikmatin, kan?" tanyanya tanpa rasa malu sedikit pun.
Raja mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menenangkan dirinya. "Lo itu bikin pusing. Gue nggak ngerti apa maunya lo," sahutnya dengan nada frustrasi.
Chilla tersenyum kecil. "Maunya gue sederhana, Raja. Gue cuma mau lo sadar kalau gue ada di sini. Gue cuma mau lo ngelihat gue sebagai istri lo, bukan cuma orang yang ngeganggu hidup lo."
Raja menatap mata Chilla yang serius. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, mungkin karena ia tahu, dalam hatinya, Chilla memang tulus mencintainya, sementara dirinya sendiri masih bingung dengan perasaannya.
Chilla berdiri dari pangkuan Raja, lalu menatap pria itu dengan senyuman yang kali ini terlihat lebih lembut. "Gue nggak akan maksa lo buat suka sama gue, Raja. Gue cuma pengen lo tahu, gue bakal selalu ada buat lo, meski lo nggak pernah anggap gue."
Setelah mengatakan itu, Chilla berbalik dan berjalan ke arah jendela, memandangi langit malam yang mulai gelap. Suasana di ruangan itu menjadi hening, hanya terdengar suara napas Raja yang masih berusaha kembali normal.
Raja menatap punggung Chilla, merasa sedikit bersalah. Ia tahu dirinya selama ini memang tidak adil pada gadis itu. Namun, ia juga tidak bisa memaksakan perasaan yang belum sepenuhnya ia pahami.
"Chilla," panggil Raja pelan.
Chilla menoleh, menunggu apa yang akan Raja katakan.
"Makasih," ucap Raja singkat, namun ada ketulusan dalam nada suaranya.
Chilla tersenyum kecil. Mungkin ini langkah kecil, tapi setidaknya ia merasa bahwa sedikit demi sedikit, hatinya mulai menjangkau pria itu. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang, tapi ia siap untuk terus berusaha.
Malam itu, meskipun tidak ada kata cinta yang terucap, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di antara mereka. Dan mungkin, itu adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.