Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
MISI BELI SUSU
Pagi Hari di Rumah Tomo
Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela dapur rumah Tomo, menyorot tepat ke piring roti panggang yang hampir tandas. Di meja makan, Tomo, bocah SD berusia 10 tahun, sedang asyik menikmati sarapannya. Dengan satu tangan ia menggigit roti panggang, sementara tangan lainnya sibuk mengacak-acak rambutnya yang sudah kusut sejak bangun tidur.
"Ibu, susunya mana?" tanya Tomo, mulutnya masih penuh dengan roti panggang.
Ibu Tomo, yang sedang sibuk di dapur, menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap ke arah kulkas. Dia membuka pintunya dan mengintip ke dalam dengan penuh harapan, tapi tiba-tiba wajahnya berubah panik.
"Aduh, Tomo! Susunya habis!" seru ibu Tomo, matanya melebar seolah-olah baru saja menemukan rahasia besar.
Tomo menghentikan kunyahannya dan memandang ibunya dengan wajah serius—lebih serius daripada biasanya. "Habis? Terus... gimana aku bisa makan roti panggang? Masa minum pakai kecap?"
Ibu Tomo menahan tawa. "Ya nggak dong, Tomo. Jangan-jangan kamu mau coba minum susu pakai kecap?"
Tomo menggeleng keras-keras. "Ewww! Nggak mau, Bu! Itu pasti aneh!"
Ibu Tomo tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, kalau gitu, tolong ibu beli susu di warung Pak Udin, ya? Warungnya kan dekat, cuma di ujung jalan."
Tomo terdiam sejenak, menimbang tawaran tersebut dengan sangat serius. Matanya menyipit, berpikir keras seperti detektif yang sedang memecahkan kasus besar.
"Boleh... tapi aku boleh beli permen juga, ya?" Tomo mengajukan syarat dengan nada penuh harapan, matanya berkilat seperti sedang menyiapkan negosiasi besar.
Ibu Tomo tersenyum. "Oke, boleh. Tapi jangan sampai kamu pulang cuma bawa permen tanpa susu, ya. Nanti kamu bisa dikutuk jadi roti kering!"
Tomo tertawa terbahak-bahak membayangkan dirinya berubah jadi roti kering. "Roti kering? Ah, ibu bercanda terus!"
Setelah mengikat tali sepatunya dengan semangat, Tomo berlari keluar rumah dengan penuh semangat, seolah-olah dia akan berangkat menjalankan misi rahasia yang sangat penting.
Perjalanan ke Warung Pak Udin
Langit pagi begitu cerah, dan jalanan di sekitar rumah Tomo masih sepi. Namun, bagi Tomo, jalanan itu tak ubahnya seperti jalur petualangan di game video favoritnya. Ia berlari-lari kecil di atas trotoar yang berkerikil sambil berpura-pura menembakkan "laser" imajiner dari jarinya ke arah semak-semak.
"Ziiing! Pew! Pew!" seru Tomo sambil melompat-lompat dengan semangat, meniru suara tembakan dari film aksi yang ia tonton.
Namun, suasana penuh petualangan itu mendadak berubah ketika ia tiba di depan rumah Bu Siti. Dari balik pagar, muncullah seekor kucing hitam besar bernama Musang. Kucing itu menatap Tomo dengan pandangan dingin dan penuh niat jahat.
"Oh tidak... Musang!" bisik Tomo sambil mundur perlahan. Kucing itu bukan kucing biasa—dia adalah "penjaga jalan" yang sering kali mengejar anak-anak yang lewat. Bagi Tomo, Musang bukan sekadar kucing, dia adalah "bos terakhir" yang harus dikalahkan.
Musang mengeong dengan keras, lalu mulai berjalan mendekati Tomo dengan langkah-langkah pelan namun pasti, seperti predator yang sedang memburu mangsanya.
"Aku nggak takut sama kamu, Musang!" seru Tomo, meski dalam hatinya jantungnya berdegup kencang. "Tapi... mungkin sedikit takut," tambahnya pelan sambil mundur perlahan.
Musang terus mendekat, matanya berkilat-kilat penuh kemenangan. Tomo bersiap untuk melarikan diri, tapi tiba-tiba kucing itu berhenti dan berbalik, seolah-olah tidak tertarik lagi dengan Tomo.
"Hah? Kok dia berhenti?" Tomo menatap Musang dengan bingung. Tiba-tiba ia merasa sedikit tersinggung. "Hei! Aku kan siap buat lari! Kenapa kamu nggak ngejar?!"
Seolah menjawab tantangan Tomo, Musang mendadak meloncat ke arah pagar dan berlari mengejar bayangan seekor burung kecil. Tomo terdiam sejenak, lalu tertawa lega.
"Haha! Aku menang! Musang kalah! Aku berhasil mengalahkan bos terakhir!" seru Tomo dengan bangga, seolah-olah dia baru saja memenangkan pertarungan epik.
Warung Pak Udin
Ketika Tomo sampai di warung Pak Udin, dia masih tersenyum lebar. Warung kecil itu terlihat tenang, dengan barang dagangan sederhana yang dipajang di depan. Pak Udin, seorang pria tua dengan kacamata tebal, sedang duduk di bangku kayu sambil menyeruput teh hangat dari cangkir plastik.
"Halo, Tomo! Wah, tumben pagi-pagi udah kelihatan. Ada misi besar lagi, ya?" sapa Pak Udin dengan senyum ramah.
"Iya, Pak! Misi beli susu," jawab Tomo sambil menegakkan tubuhnya seperti prajurit.
Pak Udin tertawa kecil sambil berdiri. "Ah, misi beli susu, ya? Jangan sampai gagal kayak misi kecap waktu itu, ya?"
Tomo cengengesan, mengingat momen di mana dia lupa membeli kecap gara-gara terlalu fokus memilih permen. "Iya, Pak. Kali ini aku nggak akan lupa!"
Pak Udin masuk ke dalam warung dan mengambil sekotak susu. Sementara itu, Tomo berdiri di depan rak permen, matanya berbinar-binar seperti sedang melihat harta karun. Ia berjongkok di depan rak, menatap deretan permen dengan tatapan penuh konsentrasi.
"Hmm... permen rasa stroberi atau rasa jeruk, ya?" gumamnya sendiri. "Atau beli dua-duanya aja? Hmm..."
Pak Udin kembali dengan sekotak susu di tangannya dan tersenyum melihat Tomo yang sedang terjebak dalam "dilema permen."
"Tomo, kalau terlalu lama mikir, nanti permen itu bisa kabur, lho," canda Pak Udin sambil tertawa kecil.
Tomo tertawa kikuk. "Nggak, Pak. Permen kan nggak punya kaki."
Setelah memilih permen stroberi, Tomo menerima kantong plastik berisi susu dan permen dari Pak Udin. "Terima kasih, Pak Udin!" serunya sambil melambai-lambaikan tangan.
Pak Udin tersenyum lebar. "Hati-hati di jalan, Tomo! Jangan sampai ketemu Musang lagi, ya!"
Tomo mendadak terdiam dan menatap ke jalan dengan cemas. "Ah, iya... Musang!"
Pulang dari Warung
Dalam perjalanan pulang, Tomo masih waspada. Ia melangkah pelan-pelan, mengintip dari balik setiap semak-semak untuk memastikan Musang tidak akan muncul lagi. Namun, begitu sampai di depan rumah Bu Siti, ia melihat pemandangan yang sangat mengejutkan.
Musang sedang duduk di pangkuan Bu Siti, menghadap ke arah jalan dengan ekspresi tenang dan damai. Seolah-olah tadi dia bukanlah kucing galak yang mengejar Tomo, melainkan kucing jinak yang suka dielus.
"Musang?" gumam Tomo dengan nada tidak percaya. "Apa yang terjadi dengan kamu? Kok sekarang jadi kucing baik?"
Bu Siti melihat Tomo dan tersenyum lebar. "Ah, Tomo! Kamu ketemu Musang tadi ya? Maaf ya kalau dia nakal. Tapi lihat deh, di sini dia manis sekali. Seperti malaikat kecil, kan?"
Tomo hanya bisa mengangguk kecil, bingung dengan perubahan sikap Musang yang mendadak ini. "Mungkin... dia kucing bermuka dua," gumam Tomo pada dirinya sendiri, sedikit bergidik membayangkan Musang yang punya dua kepribadian.
Akhir Misi
Sesampainya di rumah, Tomo langsung menyerahkan susu kepada ibunya dengan bangga. "Ini, Bu! Susunya udah aku beli! Misi sukses!" serunya penuh kemenangan.
Ibu Tomo tersenyum bangga dan mengambil susu dari tangan Tomo. "Bagus, Tomo! Kamu hebat! Dan permennya?"
Tomo mengeluarkan permen dari kantong seragamnya dengan ekspresi kemenangan. "Nih, permen stroberi! Aku nggak lupa!"
Ibu Tomo tertawa dan memeluk Tomo. "Kamu memang anak yang hebat. Dan Musang, bagaimana?"
Tomo menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Musang? Oh, dia ternyata jadi kucing baik. Kayak superhero yang berubah jadi malaikat kecil!"
Di akhir pagi yang cerah itu, Tomo menikmati permennya sambil merasakan kepuasan karena berhasil menyelesaikan misi beli susu dengan sukses. Meski ada banyak hal tak terduga, seperti Musang yang berubah jadi kucing jinak dan dilema permen yang lucu, Tomo belajar bahwa hidup sering kali penuh kejutan—dan kadang, kejutan itu bisa membuat hari-hari kita lebih berwarna.