Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Pertemuan di Pondok
Jian dan Mei berdiri di depan pintu pondok kecil yang terletak di tengah hutan. Suara gemerisik daun dan kicauan burung yang jauh menjadi latar belakang saat mereka berusaha menenangkan diri. Dengan hati berdebar, Jian mencondongkan tubuhnya ke depan, mendengarkan setiap suara dari dalam. Apakah Kai masih sama? Apakah ia akan merespons dengan kebencian ataukah ada kemungkinan untuk berdialog?
“Kita harus siap untuk segala kemungkinan,” kata Mei, suaranya lembut namun penuh tekad. “Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana.”
Jian mengangguk, berusaha menenangkan pikirannya. “Kita datang dengan niat baik. Kita harus menunjukkan bahwa kita bukan musuhnya.”
Dengan napas dalam, Jian mengetuk pintu pondok dengan lembut. Suara ketukan itu menggema di antara pepohonan, menciptakan ketegangan. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam, sebelum akhirnya pintu perlahan terbuka. Di baliknya berdiri Kai, mantan pemimpin Sekte Bayangan, dengan mata yang dalam dan ekspresi bingung. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
“Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suaranya serak. “Mengapa kalian datang ke tempat ini?”
Jian dan Mei saling berpandangan. “Kami datang untuk berbicara, Kai,” kata Jian, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak membawa permusuhan. “Kami ingin memahami apa yang terjadi pada Sekte Bayangan dan padamu.”
Kai terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Tidak ada yang perlu dibicarakan. Sekte Bayangan telah hancur. Aku telah gagal.”
“Tidak,” kata Mei, melangkah maju dengan keberanian. “Kami tahu bahwa ada harapan. Kami melihat sejarah Sekte Bayangan, dan kami ingin membantu. Kami ingin mengubah masa depan.”
Mendengar kata-kata Mei, Kai tampak terkejut. “Mengubah masa depan?” Ia tertawa getir. “Apa yang bisa kalian lakukan? Kami telah melukai banyak orang. Kami telah menjadi monster.”
“Kai,” Jian berkata tegas, “Setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah. Kami percaya bahwa di dalam dirimu masih ada cahaya. Kami ingin membantumu menemukan jalan itu.”
Kai memandang mereka dengan ragu, tetapi ada keraguan di matanya. “Kalian tidak tahu apa yang telah kulakukan. Kekuatan yang kami cari telah menghancurkan segalanya.”
“Justru karena itu kami ada di sini,” jawab Mei. “Kami tidak ingin melihat lebih banyak darah tertumpah. Kami ingin membantu kalian menemukan jalan kembali. Tidak ada yang terlambat untuk memperbaiki kesalahan.”
Kai terdiam, terlihat merenungkan kata-kata mereka. Akhirnya, ia mengundang mereka masuk ke dalam pondok. Ruangan itu sederhana, dengan perabotan yang usang dan sisa-sisa api unggun yang hangat. Namun, kehangatan itu tidak menghilangkan suasana kelam yang menyelimuti tempat itu.
“Duduklah,” kata Kai, dan Jian serta Mei mengambil tempat di ujung meja. “Katakan padaku, apa yang kalian inginkan dariku?”
“Kami ingin tahu lebih banyak tentang Sekte Bayangan,” jawab Jian. “Mengapa kalian beralih dari melindungi orang-orang menjadi menindas mereka?”
Kai menghela napas panjang. “Kami dimulai dengan niat baik, tetapi semakin besar kekuatan yang kami dapatkan, semakin besar pula keserakahan kami. Aku kehilangan arah. Aku membiarkan ambisi menguasai diriku.”
Mei mengangguk, berusaha memahami. “Kekuatan bisa menjadi berbahaya jika tidak disertai dengan kebijaksanaan. Tapi kau masih bisa memilih untuk menggunakan kekuatan itu dengan cara yang baik.”
“Dan jika aku tidak bisa?” tanya Kai, suaranya penuh keraguan. “Jika semua ini sudah terlambat?”
“Kita bisa mulai dari sini,” jawab Jian, penuh harapan. “Kami ingin membantumu, tidak hanya untuk menyelamatkan dirimu sendiri, tetapi juga untuk membangun kembali kepercayaan di antara Sekte Bayangan dan orang-orang yang telah terluka.”
Kai menatap mereka, dan dalam tatapannya, Jian melihat embun harapan mulai muncul. “Kalian benar. Mungkin, hanya mungkin, masih ada jalan untuk memperbaiki kesalahan.”
Pertemuan itu berlangsung hingga malam tiba. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang harapan, dan tentang kemungkinan untuk memperbaiki segalanya. Jian dan Mei merasa bahwa mereka telah mengambil langkah pertama menuju perubahan, bukan hanya untuk Kai, tetapi juga untuk semua orang yang terlibat dalam kisah panjang ini.
Ketika mereka meninggalkan pondok, Jian dan Mei tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Mereka harus berjuang untuk membantu Kai dan anggota Sekte Bayangan lainnya menemukan jalan kembali. Perjuangan ini adalah tentang lebih dari sekadar kekuatan; ini adalah tentang cinta, pengertian, dan kesempatan kedua.
Dengan semangat baru, mereka melangkah keluar dari hutan, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Mereka telah membuka pintu menuju kemungkinan baru, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik kini menyala di dalam hati mereka.
(Bersambung ke Chapter 18)