Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
"Paman sudah menjualmu seharga satu miliar kepada pria konglomerat. Hari ini dia akan datang menjemputmu."
Perkataan pamanku barusan tentu saja membuat tubuhku seketika tersentak karena terkejut. Namun, belum usai lagi rasa terkejutku mendengar pengakuan pamanku, tiba-tiba saja bibiku sudah melempar sehelai baju tipis dan transparan yang bentuknya sangat menjijikan tepat ke wajahku.
"Firda, cepat pakai itu!" bentak bibiku memerintah tidak sabaran.
Kulihat wajah mereka tampak gembira seolah sangat tak sabar ingin segera mendapatkan uang satu miliar. Hatiku berdenyut sakit, kenapa mereka sangat tega menjadikanku pelacur hanya demi uang?
"Ak-aku ti-tdak mau," bantahku gugup dan takut.
Selama ini mereka tak segan menyiksaku jika aku melawan. Itulah yang membuatku sangat takut untuk membantah. Namun, aku tidak mungkin memakai pakaian tidak senonoh seperti itu.
Kesucian dan harga diriku telah kujaga dengan sangat baik. Aku ... tidak ingin melepasnya kecuali hanya kepada suamiku kelak.
"Apakah aku terlihat seperti sedang memberimu pilihan?" Mata bibiku melotot.
Ketakutan menguasai seluruh jiwaku saat aku melihat dia berjalan mendekatiku dengan amarah yang terlihat jelas di matanya.
"Akh, sakit bibi. Ampun ampun ...." Aku meringis menahan perih ketika rambutku dijambak dengan sangat kencang. Rambutku seperti akan segera tercabut dari akarnya.
"Kamu mau berpenampilan gembel seperti ini saat di depannya nanti hah? Bisa-bisa dia tidak jadi membelimu karena tidak bernafsu melihatmu. Jadi, cepat ganti bajumu sekarang sebelum dia datang!"
Dadaku sesak. Aku menangis terisak-isak karena merasa hidupku sangat menyedihkan. Kapan terakhir kali aku bahagia?
Kedua orang tuaku meninggal saat aku masih kecil. Sejak saat itu aku diasuh oleh paman dan bibiku. Namun, mereka sangat jahat. Setiap hari aku selalu dihina, dicaci maki, ditindas, dimarahi, dan disiksa sekecil apa pun kesalahan yang aku lakukan.
Tidak ada toleransi.
Mereka tidak berbelas kasih sedikitpun. Mereka menganggap aku hanya menumpang hidup di sini sehingga pantas diperlakukan sewenang-wenang seperti itu.
"Berisik!" bentak pamanku dengan suara menggelegar. Jantungku bergemuruh karena terkejut. Ketakutan menguasaiku seluruh jiwaku hingga membuat jari-jemariku bergetar hebat.
Aku menatap nanar pamanku yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Dia membanting korannya ke meja dan menatapku dengan nyalang. "Nangis terus!"
Tangannya yang besar menunjuk wajahku membuatku merasa sangat terintimidasi hingga tanpa sadar aku menahan napas. "Jangan sampai aku datang ke sana dan menghajarmu. Sebaiknya kau kunci mulut berisikmu itu."
Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang untuk menahan isak tangisku yang terus memaksa ingin keluar. Rasa amis darah menyentuh lidahku. Saat itu aku menyadari bibirku terluka.
Tapi siapa yang peduli? Mereka hanya ingin aku diam. Keluhan dan tangisanku dianggap mengganggu.
"Paman ... Bibi ..., tolong jangan jual aku. Aku ... aku tidak mau jadi pelacur. Ak-aku berjanji akan bekerja lebih keras lagi dan memberi kalian lebih banyak uang," mohonku dengan suara lirih dan terbata-bata. Suaraku tercekat di tenggorokan karena isak tangis yang terus meronta hendak keluar.
Namun, alih-alih belas kasihan yang aku dapat, justru telingaku mendengar suara decakan kesal keluar dari mulut Laras, anak semata wayang paman dan bibiku. Ya, dia sepupuku. Tapi dia juga sangat jahat kepadaku. Entahlah, aku tidak tahu apa salahku kepadanya sehingga dia tega memperlakukanku begitu buruk.
"Mau kau bekerja sampai mati pun, seluruh gajimu tidak akan sampai satu miliar bodoh!" bentaknya. "Kau sudah menumpang hidup gratis di sini. Dan sekarang kau tidak mau membalas budi kepada orang tuaku? Enak sekali ya kamu?"
Paman dan bibiku pun langsung menatapku dengan sangat sinis. "Dengar, ya, Firda! Uang yang kami keluarkan untuk menghidupimu sejak kamu masih kecil jika kami akumulasikan maka totalnya lebih dari satu miliar!" tukas pamanku mulai menghitung-hitung segala pemberiannya kepadaku.
Bibiku mengangguk setuju menanggapi perkataan suaminya itu. "Uang makan, tempat tinggal, dan semuanya yang sudah kami berikan kepadamu! Masih untung kami hanya menuntutmu untuk mengembalikan satu miliar saja! Kamu sudah menumpang hidup di sini, seharusnya kamu tahu diri!"
Aku benar-benar sendirian. Mereka terus menekanku membuatku harus berada pada posisi yang mendesak dan menyulitkanku.
Laras menatapku dengan mata nyalangnya yang sirat akan kemarahan. "Kamu terlalu lelet, Firda! Tuan Abraham akan datang sebentar lagi dan kamu masih belum siap juga!" bentaknya emosi lalu segera menyeretku dengan kasar masuk ke kamar.
"Cepat ganti bajumu dan berdandanlah semenarik mungkin, jalaang." Setelah melontarkan kalimat hinaan itu, Laras keluar dari kamarku seraya membanting pintunya dengan kuat hingga tubuh ringkihku berjengit karena kaget.
Di rumah ini mereka hanya memberikanku kamar kecil yang menyatu dengan gudang tempat barang-barang lama yang tidak terpakai, tetapi masih terlalu bagus untuk dibuang. Aku lah yang selalu merapikan dan membersihkan gudang ini agar aku bisa nyaman tinggal di sini. Meskipun harus berdesak-desakan dengan banyaknya barang-barang lama yang ada di sini.
Mereka juga hanya memberikanku makan satu kali sehari, itu pun hanyalah makanan sisa bekas mereka yang tidak habis di malam hari. Sebab esok harinya mereka akan menyuruhku untuk membuat menu makanan yang baru lagi.
Air mataku mengalir semakin deras dan tak bisa kuhentikan. Aku ... benar-benar berada di titik terendah dalam hidupku. Aku sendirian di dunia ini. Tidak ada yang menyayangiku.
Takut akan menerima kemarahan yang lebih besar lagi dari ini, aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian seksi yang bibiku berikan. Saat aku sedang mengoles wajahku dengan bedak untuk menutupi bekas air mataku di sana, tiba-tiba aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah.
Jantungku seketika berdegup kencang. Apakah dia ... Tuan Abraham? Pria konglomerat yang membeliku?
***
POV Penulis
Abraham Handoko, seorang pria muda yang tampan dan memancarkan aura seorang CEO yang sukses dan penuh kendali. Sesuai dengan keinginannya, dirinya akan menjemput seorang gadis dengan pesona menawan yang telah dirinya beli.
Abraham dan paman gadis itu telah melakukan transaksi jual beli dengan nominal uang satu miliar sebelumnya di sebuah klub malam yang sangat terkenal di Jakarta.
Abraham turun dari mobil mewahnya dengan sangat berwibawa. Dirinya selalu tampil rapi di mana pun dan kapan pun membuat level ketampanannya semakin meningkat.
"Selamat datang, Tuan Abraham," sambut Bambang, paman Firda, dengan ekspresi sangat ramah. Tak lupa dia juga membungkukkan sedikit tubuhnya untuk memberikan salam penghormatan kepada pria konglomerat tersebut.
Namun, Abraham hanya meresponsnya dengan deheman acuh tak acuh.
"Silakan masuk, Tuan," imbuh Wati, bibi Firda, seraya menampilkan senyum ramahnya.
Sesaat setelah Abraham duduk di sofa ruang tamu yang tersedia di rumah mereka, Laras dengan cekatan menyuguhkan teh hangat dan beberapa cemilan.
"Maaf, Tuan. Di rumah kami hanya tersedia makanan dan minuman sederhana ini. Kami harap Tuan dapat menikmati jamuan kami."