Tsania Zoun adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita penghibur bernama Laura Zoun.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania selalu tersisihkan, ia sering diberi julukan sebagai anak haram.
Ibunya, Laura Zoun juga selalu diterpa cercaan karena pekerjaannya yang menjadi wanita malam. Kehidupan sulit keduanya lalui hanya berdua hingga saat Tsania dewasa.
Tsania yang memiliki tekad untuk membahagiakan ibunnya memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di kota. Akan tetapi di sana lah identitas aslinya mulai terkuak.
Penasaran bagaimana kisah hidup Tsania dan ibunya; Laura? Ayo! Langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tsania Laura 1.
Tsania Zoun adalah seorang anak perempuan yang berparas cantik dan cerdas. Tatapan teduh yang terpancar dari bola matanya menambah kesan kelembutan pada gadis itu.
Tsania dikenal tidak banyak bicara, sedari kecil ia sudah membatasi pergaulan. Bukan tidak ingin berteman, tapi keberadaan Tsania lah yang selalu ditolak oleh lingkungan sekitarnya.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania sering diberi julukan sebagai anak haram. Sering kali saat Tsania ingin bergabung bermain dengan anak-anak sebaya di sekitar tempat tinggalnya, ejekan dan olokan akan lebih dulu menyambut kedatangannya.
"Anak haram! Anak haram datang! Tsania anak haram." Dengan bertepuk tangan para anak kecil itu mengatakan. Seperti melantunkan nyanyian wajib ketika melihat Tsania yang ingin bergabung bermain bersama mereka.
Tsania kecil hanya bisa menangis, ia berusaha membela diri pada teman-temannya jika dirinya bukanlah anak haram. "Tsania bukan anak haram."
"Kamu itu anak haram. Kamu tidak punya ayah." Salah satu anak perempuan dari banyaknya anak-anak yang bermain di lapangan itu maju dan menunjuk-nunjuk ke arah Tsania. Membuat Tsania kecil semakin menangis. "Kami semua di sini punya ayah. Danu dan Selvi juga punya ayah, meski ayah mereka sudah meninggal."
Mata basah Tsania menatap pada semua teman-temannya yang kini berdiri di depan dirinya. Tsania memang masih kecil saat itu, tapi ia cukup mengerti dengan apa yang anak perempuan di hadapannya ini katakan. Semua temannya memiliki ayah, meski ayah mereka sudah tiada. Sedangkan dirinya, ia bahkan sama sekali tidak mengetahui siapa ayahnya.
"Sudah sana pergi! Kami tidak ingin bermain dengan anak haram!"
Tsania yang untuk kesekian kalinya mendapat penolakan dari teman-temannya itu berlari. Gadis kecil itu bahkan menangis sepanjang jalan saat menuju rumah. Tatapan orang-orang kampung yang melihat Tsania berlari dengan terisak hanya memandang biasa. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi, dan sepertinya mereka tidak peduli.
Tsania masuk ke dalam rumah yang bisa dibilang cukup bagus. Meski hidup hanya berdua dengan ibunya, Tsania tidak pernah merasakan kesulitan. Sandang, pangan serta sekolahnya terpenuhi dengan baik.
Dengan masih menangis, Tsania berjongkok tepat di tepi sofa yang ada di ruang tamu. Ia sesegukan menumpahkan perasaan sedih karena selalu ditolak oleh teman-temannya. Dalam benak Tsania sering bertanya apa salah dirinya, ia hanya ingin menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain, tapi temannya selalu mempermasalahkan dirinya yang tidak memiliki ayah.
Rumah Tsania terlihat sepi, ibunya yang bekerja dari malam sampai siang seperti ini belum juga kembali. Tsania bahkan sering ditinggalkan malam hari seorang diri. Apakah Tsania kecil merasa takut? Tentu saja, namun keadaan membuatnya mau tidak mau harus berani.
Suara tangis Tsania kini mulai mereda, dan bersamaan dengan itu pintu rumah kembali terbuka. Ibunya datang, Tsania rasanya ingin berlari, mengadukan semua kejadian di lapangan pada ibunya.
"Kau tidak mampir?"
Netra polos yang masih terdapat sisa tangis itu terpaku. Tsania mencondongkan tubuhnya, mengintip sang ibu yang kali ini diantar pulang ke rumah oleh pria yang mengenakan stelan jas rapi. Berbeda dengan sosok pria yang beberapa hari lalu Tsania lihat.
"Aku harus segera kembali ke kantor. Aku akan menjemputmu akhir pekan nanti."
Tsania kembali menyembunyikan tubuh kecilnya saat melihat ibu dan pria asing itu berciuman.
"Kenapa kau bersembunyi di sana?" Ibu Tsania yang bernama Laura Zoun itu menyadari keberadaan putrinya yang ada di sudut sofa. Ia masuk ke dalam rumah dan berdiri tidak jauh dari sofa.
Tsania keluar dari persembunyian, menampakkan tubuh kecilnya. Laura menatap wajah putrinya itu dan menyadari jika Tsania baru saja selesai menangis.
"Kau sudah makan? Ambil ini!" kata Laura seraya menyerahkan totebag yang berisi ayam goreng krispi dari restoran ternama.
Tsania mendekat dan meraihnya. Ia membawa ke atas meja yang ada di depan sofa. Ayam goreng krispi memanglah kesukaannya. Laura selalu tidak lupa membawakan Tsania buah tangan setiap kali ia pulang bekerja.
"Tunggu Mama ganti baju," ucap Laura pada Tsania.
Tsania mengangguk, ia juga dengan cepat pergi ke dapur mengambil alat makan, serta air minum untuk Laura dan dirinya. Sesaat kesedihan karena ejekan temannya hilang dari perasaan Tsania. Ia fokus menikmati ayam krispi bersama Laura.
"Apa ini dibelikan oleh Papa, Ma?" tanya Tsania polos dan berhasil membuat Laura yang tengah menikmati ayam krispi itu terhenti. Ia menatap tajam pada putrinya, membuat Tsania menjadi takut. "Maksud... Tsania. Apa Om yang...mengantar Mama tadi...yang membelikannya?" cicit Tsania meralat pertanyaan yang sebenarnya tidak ia sengaja.
"Mama sudah bilang jangan pernah menanyakan hal sembarangan." Laura terlihat kesal. Sepertinya pertanyaan Tsania membuat selera makannya hilang karena setelahnya, Laura meletakkan kembali ayam krispi ke dalam box kemasan.
"Maaf," lirih Tsania dengan menunduk. Air matanya bahkan kembali ingin berjatuhan. "Tsania hanya ingin tahu siapa papa Tsania."
"Papa! Papa! Papa! Selalu saja soal papa. Apa teman mu kembali mengejek mu yang tidak punya papa?" Laura sudah tahu kebiasaan anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka yang selalu mengolok Tsania. "Dengar ini baik-baik! Mereka semua benar. Kau sama sekali tidak memiliki papa, Tsania!! Ingat itu!! Kau tidak memiliki papa!!"
Laura segera beranjak masuk ke dalam kemaranya. Meninggalkan putrinya yang kembali menangis tanpa suara. Laura tidak ingin amarah menguasi dirinya dan membuat ia lepas kendali terhadap putri satu-satunya itu.
Hal seperti ini sering terjadi, bahkan hampir setiap hari. Tsania selalu menanyakan siapa ayahnya. Dan Laura tidak pernah memberikan jawaban. Membuat Tsania sering menduga salah satu di antara beberapa pria yang pernah menjemput dan mengantar Laura adalah ayahnya.
Pulang bekerja dengan membawa rasa lelah, membuat Laura sempat bersuara keras terhadap Tsania. Ia menyesali itu. Di dalam kamar, Laura terdiam dengan duduk di atas tempat tidur.
Tentang Tsania yang selalu menanyakan siapa ayahnya bukanlah tidak mengusik perasaan Laura. Tapi Laura berusaha tidak perduli dengan cara tidak menjawab pertanyaan sang putri, ia ingin lepas dari masa lalu. Luka itu masih ia simpan. Menjalani kehidupan keras seorang diri tidak lah mudah. Terlebih kini Laura memiliki Tsania yang kehidupannya harus Laura pastikan bahagia.
Laura bukanlah wanita dari keluarga kaya raya, juga tidak memiliki latar pendidikan yang tinggi, ia hanya wanita yang hidup sebatang kara. Setelah melahirkan Tsania, Laura memilih menenggelamkan diri pada pekatnya dunia malam. Ia bekerja sebagai wanita penghibur. Parasnya yang cantik mampu memikat para pria hidung belang yang selalu bersikap royal terhadap dirinya.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak guys 😉
Semoga banyak yang membersamai Tsania Laura sampai akhir ya🥰. Biar tensinya mucuk 😂 eehhhh retensi maksudnya 😆🤣
dihhh spek buaya berkelas/Joyful/