Setelah kejadian kecelakaan kerja di laboratorium miliknya saat sedang meneliti sebuah obat untuk wabah penyakit yang sedang menyerang hampir setengah penduduk bumi, Alena terbangun di suatu tempat yang asing. Segala sesuatunya terlihat kuno menurut dirinya, apalagi peralatan di rumah sakit pernah dia lihat sebelumnya di sebuah museum.
Memiliki nama yang sama, tetapi nasib yang jauh berbeda. Segala ingatan tentang pemilik tubuh masuk begitu saja. Namun jiwa Alena yang lain tidak akan membiarkan dirinya tertindas begitu saja. Ini saatnya menjadi kuat dan membalaskan perlakuan buruk mereka terutama membuat sang suami bertekuk lutut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu itu boneka sekaligus mainan milikku
Prang
Bruuuggghhhh
Tubuh lemah itu tersungkur begitu saja setelah mendapat sebuah dorongan cukup kuat. Bagian kepalanya terbentur ujung kursi yang terbuat dari kayu. Memang tak ada luka, namun rasa sakitnya begitu terasa hingga membuat kepalanya semakin pusing. Dia adalah Alena, istri pertama Althaf. Dan orang yang telah mendorongnya adalah Ruby, istri ketiga Althaf yang baru dinikahinya sebulan yang lalu.
“Kurang ajar, bisa-bisanya kamu menumpahkan teh hijau mahal milikku. Bahkan dengan nyawamu saja tidak akan bisa membelinya. Hahh, dasar tidak berguna. Napa kamu tidak mati saja sih!!!” bentak Ruby dengan kesal.
Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut, Alena berusaha untuk bangkit. Dia tidak ingin menjadi bulan-bulanan Ruby yang memiliki temperamen yang kasar dan angkuh. Meskipun Alena merupakan istri pertama, dia tidak memiliki kuasa apapun. Dia hanyalah seorang istri yang terpaksa Althaf nikahi karena bibinya Alena menyerahkannya untuk membayar hutang.
“Maaf,” cicit Alena, tubuhnya nyaris sempoyongan jika dia tak menahannya dengan tenaga yang tersisa.
“Dasar tidak berguna. Bahkan pelayan di rumah ini saja masih lebih berguna. Buang semua makanan malam ini, gara-gara melihat wajahmu yang memuakkan jadi tidak nafsu makan,” ucap Ruby dengan menohok.
Lagi-lagi dengan hentakan yang cukup kuat di bahunya, Alena kembali terjatuh. Tanpa sengaja telapak tangannya terkena pecahan gelas yang ada di lantai.
Tanpa disadari Alena meneteskan air mata, rasa sakit di tubuhnya dan hatinya bercampur menjadi satu. Jika tidak mengingat ucapan kedua orang tuanya yang telah tiada, Alena mungkin memilih untuk mengakhiri hidupnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, tak ada lagi yang menyayanginya termasuk Althaf suaminya.
Sebuah uluran tangan memberikan tisu untuk menghapus jejak air mata Alena. Dia pun mengobati telapak tangan Alena yang terluka dan membalutnya dengan rapuh. Alena terdiam tak berbicara apapun, sadar statusnya dia tak berani berkata apa-apa.
“Nyonya, saya harap anda tetap kuat. Tolong jaga diri anda lebih baik lagi, jangan biarkan orang-orang di rumah ini menindas anda,” ucap Gilbert dengan pelan namun dalam maknanya.
Dia tak lain sekretaris pribadi Althaf. Hanya dia yang peduli terhadap diri Alena.
“Jangan panggil saya nyonya, Lena saja,” sanggah Alena sambil menarik tangannya yang masih dipegang oleh Gilbert. Dia tak ingin Althaf kembali marah dan menyiksa dirinya.
“Anda adalah istri pertama tuan Althaf sudah sewajarnya saya memanggil anda dengan sebutan Nyonya. Harap anda paham akan hal itu.” Wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi apapun selalu menjadi pemandangan saat berbicara dengan lawan bicara. Namun Alena tidak mempermasalahkan hal itu.
“Tapi….”
“ Saya tidak peduli, bagi saya anda tetap nyonya muda yang harus saya hormati terlepas bagaimanapun pandangan orang yang ada di rumah ini,” potong Gilbert dengan cepat. Dia paling tidak suka wanita di depannya ini selalu diam saja saat diperlakukan tidak baik oleh seluruh penghuni rumah termasuk para pelayan.
Alena terdiam, percuma saja menyela atau membantah perkataan manusia kutub di depannya. Dia tak jauh berbeda dengan Althaf, hanya saja Gilbert selalu membantunya secara tidak langsung.
Begitu Gilbert tak lagi terlihat oleh penglihatannya, Alena bergegas membersihkan pecahan gelas dan tumpahan teh di lantai. Jika Gilbert ada di rumah ini, maka Althaf sudah pulang dari kantor. Althaf tak boleh melihat dalam kondisi seperti ini, jika tidak maka suaminya itu tak segan-segan akan menyiksanya tanpa ampun.
Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda Althaf masuk ke dalam rumah. Alena memutuskan beristirahat sejenak setelah membersihkan area dapur. Denyutan di kepalanya terasa begitu kuat, rasa lelah di tubuhnya membuat Alena tertidur di atas meja makan. Padahal sejak siang tadi, Alena bahkan belum memakan apapun.
Tiba-tiba saja Alena terbangun, dengan paksa menyeret tubuh Alena sambil menarik kedua tangannya. Tak ada daya untuk melawan, apalagi tubuhnya masih begitu lemas. Melawan pun percuma, Alena sadar siapa yang bisa memperlakukannya seperti ini.
Brakkk
Dengan kedua bola mata yang memerah, Althaf menatap wajah Alena dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasa sakit luar biasa saat mencengkram rahang Alena dengan sebelah tangannya. Ingin rasanya Alena menangis saat itu juga, namun perkataan Althaf selalu berputar di kepalanya.
“Kenapa ada memar di kepalamu Lena! Jawab!!!” bentak Althaf dengan suara baritonnya. Wajahnya memang tampan, namun tetap saja Alena merasa takut.
“I–ini ti-tidak sengaja terbentur ujung meja saat mengambil barang ya-yang terjatuh,” jawabnya tergagap berusaha menyembunyikan kebohongannya.
Alena terlalu baik, meskipun Ruby telah menyakitinya namun tak mungkin Alena harus meregang nyawa di tangan Althaf.
Terakhir enam bulan yang lalu, saat salah satu pelayan di rumah Althaf ketahuan mendorong Alena hingga jatuh dan lututnya berdarah. Saat itu juga Althaf langsung membuat pelayan itu mati tenggelam di kolam renang.
“Beraninya kamu menyakiti tubuhmu ini Alena!!! Apa kamu masih belum paham, tubuh ini sudah saya beli!! Hanya saya yang boleh melakukan apapun terhadap tubuh ini. Tidak juga orang lain apalagi kamu!!!” geram Althaf semakin menjadi, cengkraman tangannya semakin kuat nyaris membuat Alena kesulitan bernapas.
“Sekarang kamu ikut saya!!”
Dengan kasar Althaf menarik Alena menuju kamar mandi. Wanita itu tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, Alena berusaha melepaskan cengkraman tangan Althaf. Namun sia-sia, tenaga Althaf jauh lebih kuat, Alena semakin diseret dengan paksa.
Air yang keluar dari shower langsung membasahi tubuh Alena bersamaan dengan Althaf yang merobek baju yang dikenakan oleh Alena.
“Tidak, aku mohon tidak untuk hari ini,” pinta Alena dengan memelas.
Sekujur tubuhnya langsung menegang membayangkan perlakuan Althaf saat sedang emosi. Yang pasti tubuhnya sudah tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit.
Seluruh pakaian luar yang menempel di tubuhnya sudah terlepas hanya tersisa pelindung dalam. Hangatnya air pun langsung bisa dirasakan oleh Alena, mengalir di permukaan kulitnya. Mengalir bersamaan dengan air mata yang keluar, menyamarkan jejak ketika Alena saat ini sedang menangis. Bahkan Alena tidak diperbolehkan untuk menangis tanpa seizin Althaf.
“Sekali lagi saya ingatkan jika yang ada pada dirimu adalah seutuhnya milikku. Bahkan nyawamu sekalipun ada di tanganku. Saya sudah membelimu dengan uang yang cukup banyak. Kamu itu boneka sekaligus mainan milikku, hanya bisa dimainkan sesuka hati oleh saya,” bisik Althaf sambil membelai dan menyentuh setiap inci tubuh Alena.
Ucapan itu sekaligus meruntuhkan hatinya yang mencoba kuat. Bukan hanya sekali ini saja Althaf berkata demikian. Bahkan satu menit setelah pengucapan ijab kabul, Althaf pun mengucapkan hal yang sama. Alena yang tak memiliki daya apapun hanya bisa menerima hal itu semua dan bertahan agar tetap hidup.
Tindakan Althaf saat ini sangat lembut, namun itu hanya sementara sebentar akan semuanya akan berubah.
“Jangan diam saja Lena, apa kamu sudah bisu. Jawab!!” Althaf mencengkram kedua lengan Alena dengan sangat kuat.
“Sa-sakit mas!!” Kuku Althaf yang pendek terasa masuk ke dalam kulit, rasanya perih, panas dan kebas.
“Apa yang kamu katakan!!” teriak Althaf semakin keras hingga gendang telinga Alena bergetar.
“Sa-sakit mas Al, sakit. Ampun.. mas ampun,” rengek Alena tak sanggup lagi tubuhnya menahan rasa sakit.
Tanpa basa basi, dengan tubuh yang masih basah Althaf menggendong tubuh Alena seperti karung beras dan melemparkannya ke atas ranjang. Dengan sisa kesadaran dan tenaga yang masih ada, Alena berusaha merangkak turun dari atas ranjang. Namun dia berhasil ditarik kakinya oleh Althaf.
Rintihan kesakitan Alena tak lagi terdengar saat Althaf membungkamnya dengan bibirnya dan Alena hanya bisa pasrah menahan segalanya. Althaf bertindak cepat hingga Alena tak kuasa mengambil tindakan.
“Aaahhkkk sakit mas, sakit! Tolong jangan lakukan itu,” pekik Alena saat Althaf melakukan hubungan dengan paksa.
Meskipun bukan yang pertama kali, tetapi Althaf tak pernah peduli dengan apa yang rasakan oleh Alena. Althaf hanya mementingkan kepuasannya sendiri.
“Cukup mas, cukup. Lena mohon lepaskan. Ini terlalu sakit mas,” pinta Alena sambil menangis.
Namun ucapannya tak pernah didengar oleh Althaf. Lelaki itu terus memacu tubuhnya dengan kasar, suara rintikan Alena seolah terdengar begitu merdu di telinganya.
Tubuh Alena yang sudah lagi tak dapat menahan rasa sakit hanya bisa pasrah, tak ada lagi perlawanan agar Althaf bisa menyudahi perbuatannya. Hingga perlahan berkas cahaya lampu mulai meredup dan tersisa kegelapan di matanya.