Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 1 Bagian 13 Pagi Hari dan Pesan Reza
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai kamar Nadia, membuat ruangan kecil itu perlahan-lahan terang. Suara alarm dari ponselnya berdering, memecah keheningan pagi. Nadia terbangun dengan mata yang masih sedikit berat, tetapi ia segera mematikan alarm itu dan duduk di tepi tempat tidur.
Setelah mengumpulkan energi beberapa saat, Nadia menggerakkan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang kaku setelah tidur. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang membasahi tubuhnya seolah menjadi penyegar, membuat Nadia merasa lebih segar dan siap untuk menjalani hari.
Selesai mandi, ia mengenakan pakaian santai terlebih dahulu, lalu menuju dapur. Nadia membuka lemari es, mengambil bahan-bahan sederhana untuk sarapan: roti, telur, dan susu. Dengan cekatan, ia memanggang roti sambil menggoreng telur. Aroma roti yang renyah memenuhi dapur kecilnya.
Setelah semuanya siap, Nadia duduk di meja makan dan menikmati sarapannya dengan tenang. Pagi itu terasa damai, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan rencana pertemuannya dengan Reza nanti.
"Semoga hari ini berjalan lancar," gumam Nadia sambil menyeruput segelas susu hangat.
Selesai sarapan, ia membereskan meja makan dan mencuci piring. Dengan langkah ringan, Nadia kembali ke kamar untuk bersiap mengenakan pakaian kerja yang telah ia siapkan sebelumnya. Hari baru dimulai, dan Nadia bertekad untuk menghadapinya dengan tenang.
Setelah selesai sarapan dan membereskan dapur, Nadia membuka lemari pakaiannya. Ia memilih setelan blazer hitam dengan blus putih dan rok pensil senada yang membuatnya tampak profesional. Setelah mengenakan pakaian tersebut, ia menyematkan anting sederhana dan memakai sedikit riasan ringan untuk menyempurnakan penampilannya.
Di depan cermin, Nadia memeriksa sekali lagi penampilannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil. “Baiklah, Nadia. Hari ini akan baik-baik saja,” gumamnya untuk memberi semangat pada diri sendiri.
Ia mengambil tas kerjanya, mengenakan sepatu hak rendah yang nyaman, dan menuju pintu. Begitu membuka pintu apartemennya, udara pagi yang segar menyambutnya. Nadia berjalan keluar menuju trotoar depan gedung apartemen, berharap bisa segera mendapatkan taksi.
Untungnya, tak lama setelah ia berdiri di pinggir jalan, sebuah taksi berwarna kuning melintas dan berhenti ketika ia melambaikan tangan. Supirnya, seorang pria paruh baya dengan senyuman ramah, menurunkan kaca jendela.
“Mau ke mana, Mbak?” tanyanya.
“Ke kantor, Pak. Di Gedung Merah Jl. Sudirman, ya,” jawab Nadia sambil membuka pintu dan masuk ke dalam taksi.
Supir itu mengangguk dan segera melajukan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Nadia memperhatikan jalanan yang ramai dengan kendaraan lain. Ia menikmati keheningan di dalam taksi, tetapi supir taksi itu sepertinya ingin berbasa-basi.
“Kerja di gedung besar, ya, Mbak? Pasti kantoran besar juga,” ujar si supir dengan nada ramah.
Nadia tersenyum tipis, menoleh sebentar ke arahnya. “Iya, Pak. Kantornya memang lumayan besar. Tapi kerjaannya biasa saja, kok.”
“Wah, pasti sibuk, ya? Saya sering antar-antar orang ke daerah sana, hampir semua bilang kerjanya bikin pusing,” kata supir itu sambil tertawa kecil.
“Iya, lumayan sibuk, Pak. Tapi ya namanya kerja, mau bagaimana lagi,” balas Nadia dengan nada santai.
Percakapan ringan itu membuat perjalanan terasa lebih cepat. Tak lama kemudian, taksi berhenti tepat di depan gedung kantornya. Nadia membuka pintu dan mengeluarkan dompetnya untuk membayar ongkos.
“Terima kasih, Pak,” ucap Nadia sambil menyerahkan uang.
“Sama-sama, Mbak. Semoga harinya menyenangkan!” balas supir taksi dengan senyum ramah.
Nadia mengangguk dan menutup pintu taksi. Ia menatap gedung kantornya yang tinggi menjulang, lalu melangkah masuk ke dalam dengan semangat baru. Hari kerja yang sibuk menantinya.
Nadia melangkah masuk ke lobi gedung kantornya, suasana pagi yang ramai langsung menyapanya. Rekan-rekan kerjanya terlihat berjalan terburu-buru dengan tumpukan dokumen, beberapa bercengkerama sambil membawa secangkir kopi. Nadia tersenyum kecil dan melangkah menuju lift, bergabung dengan sekelompok karyawan lain yang hendak naik ke lantai mereka.
Sesampainya di lantai 12, Nadia keluar dari lift dan langsung berjalan menuju ruang kerjanya. Di sana, ia melihat Lila sedang berbicara dengan beberapa rekan lain di dekat meja mereka. Begitu melihat Nadia, Lila melambaikan tangan.
“Pagi, Nad! Gimana kabarnya? Udah sarapan, kan?” sapa Lila dengan ceria.
“Pagi, Lil. Udah dong, jangan khawatir. Kamu sendiri gimana?” balas Nadia sambil meletakkan tasnya di meja.
“Aman. Tapi kayaknya hari ini nggak bakal terlalu sibuk, nggak ada jadwal presentasi atau meeting besar,” jawab Lila sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
Nadia mengangguk. “Syukurlah, jadi bisa fokus ngerjain laporan yang tertunda kemarin.”
Ia pun duduk di kursinya, membuka laptop, dan mulai memeriksa daftar tugasnya. Email yang masuk cukup banyak, tetapi kebanyakan hanya informasi rutin dari manajemen. Dengan cekatan, Nadia mulai menyelesaikan laporan mingguan yang kemarin tertunda karena persiapan presentasi.
Sesekali ia mendengar suara obrolan di sekitar ruangan, tetapi Nadia tetap fokus pada pekerjaannya. Dia meneliti data dengan saksama, memastikan semuanya tersusun rapi sebelum mengunggahnya ke sistem kantor.
Lila mendekat sambil membawa dua gelas kopi. “Nih, buat nemenin kerja. Kayaknya kamu bakal serius banget hari ini.”
“Thanks, Lil. Kamu selalu tahu cara bikin semangat,” ujar Nadia sambil tersenyum.
“Ya iyalah. Kalau bukan aku, siapa lagi yang peduli sama kamu di sini?” Lila bercanda, membuat Nadia tertawa kecil.
Setelah menyeruput kopi, Nadia melanjutkan pekerjaannya. Jam demi jam berlalu dengan cepat. Nadia menyelesaikan beberapa dokumen, menjawab email, dan melakukan revisi pada laporan yang diminta manajer.
Ketika sore menjelang, suasana kantor mulai lebih tenang. Banyak rekan kerja yang sudah menyelesaikan tugasnya dan bersiap-siap untuk pulang. Nadia menutup laptopnya, merasa lega karena semua pekerjaannya hari itu selesai tepat waktu.
“Lil, kamu mau langsung pulang atau gimana?” tanya Nadia sambil merapikan mejanya.
“Kayaknya sih iya, Nad. Tapi aku mungkin mampir ke minimarket dulu, persediaan camilan di rumah habis,” jawab Lila.
Nadia tersenyum. “Oke, hati-hati di jalan ya. Aku juga mau langsung pulang.”
Mereka berdua berjalan keluar ruangan bersama, masing-masing merasa puas karena hari kerja berjalan lancar. Meskipun tanpa presentasi atau tekanan besar, Nadia merasa hari itu produktif dan memuaskan.
Saat keluar dari gedung kantor, udara sore yang sejuk menyapa Nadia. Ia berjalan perlahan menuju trotoar sambil merapikan tas kerjanya. Namun, langkahnya melambat ketika pikiran tentang pesan Reza tiba-tiba menyeruak ke benaknya.
“Reza...” gumamnya pelan, hampir tanpa sadar.
Pesan yang diterimanya kemarin malam terasa seperti percikan api kecil yang membakar rasa penasaran dan emosi yang selama ini ia coba pendam. Ia membuka ponselnya, kembali membaca pesan singkat dari Reza:
"Nadia, aku tahu aku orang terakhir yang ingin kau dengar sekarang. Tapi, aku perlu bicara denganmu. Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Bisa kita bertemu? Besok malam, di Café Merah, pukul 7.
Nadia terdiam sejenak, membaca ulang kata-kata itu. Hatinya bercampur aduk antara penasaran, marah, dan rindu yang tak ia akui. Bagaimana mungkin Reza, setelah menghilang selama tiga tahun, tiba-tiba muncul dan memintanya untuk bertemu? Apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan?
Lila, yang masih berdiri di dekat Nadia, menyadari perubahan ekspresi di wajah sahabatnya. “Nad? Kamu kenapa? Kok tiba-tiba bengong?” tanyanya.
Nadia tersentak, mencoba tersenyum untuk menutupi kegelisahannya. “Ah, nggak apa-apa, Lil. Cuma ingat sesuatu aja.”
“Yakin nggak apa-apa? Kamu kelihatan aneh banget,” Lila menatapnya curiga.
Nadia mengangguk cepat. “Iya, kok. Nggak apa-apa. Aku cuma lagi banyak pikiran.”
Lila menghela napas. “Kalau ada apa-apa, cerita aja, ya. Aku selalu siap dengerin.”
Nadia mengangguk sambil tersenyum tipis. “Thanks, Lil. Aku pasti cerita kalau butuh.”
Setelah Lila berpisah untuk mampir ke minimarket, Nadia memutuskan untuk langsung pulang ke apartemennya. Namun, sepanjang perjalanan, pikirannya terus menerawang. Bayangan Reza dan pesan yang ia kirim menguasai pikirannya.
“Apakah aku benar-benar harus bertemu dengannya?” Nadia bergumam pelan di dalam taksi.
Meski masih merasa terluka, ada bagian dari dirinya yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia juga takut. Takut bahwa pertemuan itu hanya akan membuka kembali luka lama yang selama ini ia coba sembuhkan.
Saat taksi melaju, Nadia memutuskan satu hal. “Aku akan bertemu dengannya, tapi aku tidak akan membiarkan dia mengendalikan perasaanku lagi.”
Di dalam taksi, Nadia duduk diam, memandangi jalanan yang mulai diselimuti senja. Namun, pikirannya dipenuhi oleh rencana pertemuan dengan Reza. Ia masih merasa ragu, tetapi hatinya mengatakan bahwa ia harus melakukannya—entah untuk mendapatkan jawaban atau untuk menutup bab lama dalam hidupnya.
Supir taksi melirik ke kaca spion dan mencoba membuka percakapan ringan. “Mbak, pulang kerja ya?” tanyanya dengan nada ramah.
Nadia tersenyum tipis, berusaha sopan. “Iya, Pak. Lumayan melelahkan hari ini.”
“Kerja di mana, Mbak? Kantor sekitar sini ya?” lanjut supir itu.
“Iya, di sekitar area bisnis,” jawab Nadia singkat, tidak ingin terlalu banyak bicara.
Percakapan itu tidak berlanjut lama. Nadia lebih memilih untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri, memikirkan apa yang akan ia katakan jika bertemu Reza. Ponselnya bergetar di tas, tetapi ia tidak langsung memeriksanya.
Setelah beberapa menit, taksi berhenti di depan apartemennya. Nadia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya kepada supir. “Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih, Mbak. Hati-hati, ya,” balas supir taksi sebelum melanjutkan perjalanan.
Begitu masuk ke apartemennya, Nadia langsung melepas sepatu dan tas, kemudian berjalan cepat ke kamar mandi. Air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya, membantu menghilangkan rasa lelah sekaligus menenangkan pikirannya yang penuh dengan berbagai emosi.
Selesai mandi, Nadia berdiri di depan lemari pakaiannya. Ia memandang deretan pakaian kerja formal, gaun kasual, dan beberapa pakaian yang jarang ia gunakan. Setelah berpikir sejenak, ia memilih gaun hitam pendek yang pas di tubuhnya, memperlihatkan siluetnya dengan anggun namun tetap elegan.
“Aku tidak tahu apa yang dia inginkan, tapi aku harus terlihat sempurna,” gumam Nadia sambil mengenakan gaun tersebut.
Ia memoleskan sedikit riasan untuk menonjolkan fitur wajahnya, lalu menyisir rambutnya hingga tergerai rapi di bahunya. Penampilannya malam itu membuatnya merasa percaya diri, meski hatinya masih penuh keraguan.
Sebelum keluar dari apartemen, Nadia berdiri sejenak di depan cermin besar di ruang tamunya. “Ini bukan tentang dia,” ia berkata pada dirinya sendiri. “Ini tentang aku. Aku pantas mendapatkan jawaban.”
Dengan napas panjang, Nadia mengambil tas kecilnya dan bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi malam itu.