Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Nisa berdiri di hadapan kedua orangtuanya, tangan kecil adik-adiknya menggenggam erat jemarinya. Senyum mereka lebar, namun mata mereka berkilau lembut—setiap kata pamitan Nisa terasa mengiris, namun penuh harap.
"Doakan Nisa, Mak, Pak... Semoga Nisa bisa jadi istri yang baik dan bisa membawa kebahagiaan untuk keluarga kita." Suaranya pelan, nyaris berbisik, seolah takut suaranya pecah jika ia berbicara lebih keras. Ibunya mengangguk, menahan air mata, lalu memeluk Nisa dengan erat. Sang ayah, dengan suara bergetar, hanya berpesan, "Ingat pesan bapak, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya."
Nisa memeluk adik-adiknya, menyapu pandang ke setiap kerabat dan tetangga yang hadir, wajah-wajah yang ia kenal sejak kecil, penuh dengan doa dan dukungan. Mereka semua berkumpul untuk mengantar Nisa pergi ke kehidupan barunya.
Di bandara, Nisa menggenggam tangan suaminya, Akil, dengan kuat. Sejenak, ia memandang ke luar jendela, menyaksikan kampung halamannya mengecil di kejauhan ketika pesawat mulai lepas landas. Semua kenangan—sawah, jalan setapak yang ia lewati setiap hari, suara pohon yang berbisik tertiup angin—berkelebat dalam ingatannya. Ada rasa haru, tetapi juga ada semangat baru dalam dirinya.
Setelah perjalanan yang panjang, mereka akhirnya menginjakkan kaki di tanah kelahiran Akil. Ketika Nisa menuruni tangga pesawat dan merasakan angin berbeda di wajahnya, ia membatin, Ya Allah, semoga ini adalah awal terbaik untuk kehidupanku. Semoga aku bisa menjadi istri yang tabah dan kuat.
Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang berirama cepat. Kehidupan barunya telah dimulai, dan ia bertekad untuk menghadapi setiap tantangan di depannya dengan segenap hati.
---
Nisa berdiri di terminal bersama Akil dan keluarganya, menunggu bus yang akan membawa mereka ke kota tempat mereka akan tinggal. Keramaian terminal terasa asing baginya; wajah-wajah yang berlalu-lalang, suara para pedagang, dan deru kendaraan memadati udara. Ia memegang erat tangan suaminya, berusaha menenangkan diri.
Tak lama, bus antarkota yang mereka tunggu tiba. Mereka naik dan mencari tempat duduk, Nisa mengambil kursi di dekat jendela. Suara mesin yang berderum dan guncangan halus ketika bus mulai melaju seolah menggiringnya ke dalam pikirannya sendiri. Di luar, pemandangan jalan yang memanjang dan pepohonan yang berbaris seolah membawanya pulang ke kampung halaman.
Di dalam hatinya, wajah kedua orangtuanya muncul, senyum mereka yang penuh kasih, tatapan sayang yang selalu menenangkannya. Ia membayangkan ibunya di dapur, mempersiapkan makanan sederhana namun penuh cinta; ayahnya yang selalu menyambutnya di halaman dengan pelukan hangat. Lalu, tawa riang adik-adiknya terngiang di telinganya, tawa yang biasanya memenuhi hari-harinya dengan keceriaan dan kehangatan.
Tanpa disadari, air matanya menetes pelan. Ia segera menyekanya, namun Akil yang duduk di sebelahnya memperhatikan. Dengan lembut, ia meraih tangan Nisa, memberinya genggaman hangat. "Aku tahu ini berat buatmu, Nisa. Tapi kita akan membangun hidup kita bersama. Kamu tidak sendiri."
Nisa mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun hatinya berat. Ia memandang ke luar jendela, berharap bisa membawa sedikit kehangatan kampung halamannya dalam setiap langkah baru yang ia ambil. Sambil berdoa dalam hati, ia berharap bisa menjadi kuat, agar pengorbanan meninggalkan keluarganya tidak sia-sia.
___
Di dalam bus yang melaju di jalan berliku, Nisa menoleh ke arah suaminya. “Mas, kira-kira berapa lama lagi kita sampai?” tanyanya pelan, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya masih berat meninggalkan kampung halaman.
Akil tersenyum menenangkan, “Kurang lebih tujuh jam lagi, Sayang. Lumayan lama, tapi kita akan sampai sebelum gelap.”
Nisa mengangguk dan kembali bersandar, memandang keluar jendela. Tujuh jam. Lama juga, pikirnya. Ia teringat pada hari ketika Akil pertama kali datang ke kampungnya. Perjalanan jauh, mengarungi pulau, demi menemuinya untuk pertama kalinya. Betapa besarnya pengorbanan yang telah Akil lakukan—waktu, tenaga, juga biaya yang tak sedikit. Semua itu hanya untuk melihat wajahnya, memastikan keinginannya untuk menjadikannya istri.
Perasaan haru mengalir dalam hati Nisa. Akil bukan hanya datang sekali, tapi dua kali, dan yang kedua membawa keluarganya untuk melamarnya secara resmi. Tujuh jam yang akan ia tempuh bersama suaminya ini hanyalah sebagian kecil dari semua perjalanan panjang yang Akil tempuh demi membawanya dalam hidupnya. Ia menyadari, cinta Akil begitu nyata dan kuat.
Nisa menggenggam tangan Akil yang berada di pangkuannya, merasakan kehangatan dan ketulusan yang terpancar darinya. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa semua pengorbanan Akil adalah bukti bahwa dirinya dihargai dan dicintai.
"Terima kasih, Mas," ucap Nisa pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin bus.
Akil menoleh padanya, sedikit bingung, namun tersenyum lembut. "Untuk apa?"
"Untuk semuanya."
___
Saat Akil dan Nisa berbicara, Nisa merasakan kehadiran seseorang memperhatikan mereka. Ia melirik ke arah jendela dan melihat kilas bayangan di permukaan kaca—ibu mertuanya, duduk di kursi sebelah, memandang mereka dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tatapan itu tampak tenang, namun ada sesuatu yang membuat Nisa merasa tertegun.
Perlahan, Nisa mencoba tersenyum, berusaha menunjukkan rasa hormat. Namun, ibu mertuanya tidak langsung membalas senyuman itu. Perhatiannya tetap tertuju pada mereka, seolah-olah sedang menilai atau mencari sesuatu dalam interaksi antara Nisa dan Akil. Nisa tidak bisa menebak, tetapi rasa segan itu tumbuh dalam hatinya.
Akil, yang tidak menyadari apa yang terjadi, tetap berbicara dengan nada ringan, mencoba menghibur Nisa selama perjalanan panjang itu. Namun, perhatian Nisa sesekali teralih pada bayangan ibu mertuanya yang tetap memerhatikan mereka dari balik jendela. Ia merasa canggung, namun berusaha menenangkan diri. Ini wajar, pikirnya. Mungkin beliau hanya ingin melihat bagaimana aku beradaptasi di tengah keluarga baru.
Namun di dalam hati kecilnya, Nisa bertanya-tanya, apakah ia telah cukup memenuhi harapan ibu mertuanya yang kini memandangnya dengan begitu cermat.