Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 - Petaka Malam Pertama
Bruk!
“Pergilah dan menjadi bangkai di dalam sana!”
Seorang gadis dengan gaun lusuh didorong paksa hingga terjatuh dari dokar. Tersungkur, wajahnya terjerembab ke dalam daun kering yang berserak.
Sebelum dokar tersebut melaju, gelak tawa sesumbar terdengar puas. Seorang wanita tua dengan rambut uban yang dicepol menyeringai senang, menatap remeh pada gadis itu.
Suara pecut terdengar. Tapal kuda beradu dengan tanah, melesat ke dalam rimbunnya hutan yang berkabut. Meninggalkan gadis itu sendirian tanpa rasa kasihan.
Kedua tangan gadis itu mengepal, meremat kuat dedaunan kering hingga menjadi serbuk patah-patah. Kepalanya di angkat, bulu matanya yang lentik sedikit dipenuhi debu.
“Setidaknya aku tidak perlu tinggal di rumah itu lagi. Tidak perlu mendengar teriakannya, tidak akan lagi dipukul dan dimarahi. Ya, setidaknya mungkin kehidupan di sini lebih baik.” Gadis itu bermonolog, memilih berpikir se-positif mungkin dengan kejadian yang menimpanya.
Walau sebetulnya ia tahu bahwa saat ini gerbang neraka terbuka lebar untuknya. Kematian bisa saja sudah menunggunya di depan sana.
Beranjak, tubuhnya perlahan berdiri. Membersihkan sisa-sisa dedaunan yang menempel pada rambut dan gaunnya. Menatap lurus ke depan, pada gerbang dari kastil tua yang menjulang tinggi.
Tenggorokannya susah payah menelan ludah. Angin dingin yang berhembus membuat wajahnya kebas, membekukan kedua kakinya yang gemetar, merinding di sekujur tubuhnya sempurna menghapus pikiran positif yang berusaha dipertahankan dalam kepala.
Bagaimana tidak? Saat ini dirinya akan tinggal di dalam kastil tua tersebut. Bersama pria buruk rupa dan psikopat. Dan di malam ini, dirinya resmi menyandang status sebagai istri dari pria itu.
“Aku tidak mau mati.” Bibirnya ia gigit kuat-kuat dalam gumaman pilunya.
“... Meski kehidupanku amat buruk, kehidupanku membosankan karena dirundung luka dan kesialan yang tak berujung, aku tetap takut mati. Aku tidak mau mati dengan cara seperti ini,” sambungnya sambil meringis.
Gadis itu menatap jerih bangunan kastil tua yang tampak merintih di depannya, angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering melewati gerbang setinggi kurang lebih 10 meter. Suara deriknya seperti nyanyian yang dilantunkan malaikat maut. Seolah kematian akan segera menjemputnya.
Tubuhnya sudah diam berdiri selama kurang lebih satu jam di depan gerbang kastil tersebut. Sekarang sudah seperti patung yang membatu tanpa merasakan apa-apa. Sudah terlambat untuk mundur, dan terlalu takut untuk maju.
Dia tidak tahu harus bagaimana setelah mendadak dinikahkan oleh ibu tirinya dengan pria yang konon katanya sengaja menikah dengan sembarang gadis hanya untuk dijadikan tumbal. Pernikahan terjadi secara singkat, melalui perantara dan ritual dari jarak jauh, sesuai dengan kesepakatan masing-masing.
Dan siapa yang tahu nasibnya malam ini bagaimana?
Mengusap wajahnya yang kebas, gadis itu meyakinkan dirinya untuk tetap masuk ke dalam, memasrahkan apa yang akan terjadi nantinya dengan hati yang lapang. Toh, di setiap malam dirinya selalu merintih dalam do'a agar segera mati.
Namun ia tidak menyangka jika Tuhan mengabulkan do'anya dengan cara seperti ini.
Gerbang tua yang sudah berkarat terbuka sendiri saat kakinya mulai melangkah maju, asap hitam mendadak muncul, bergumul dihadapan si gadis. Menyerupai gumpalan awan kelabu di atas sana. Asap hitam tersebut sepertinya ingin memandu jalan gadis itu, memasuki kastil tua dengan pencahayaan remang-remang.
Jalanan yang dilewati gadis berusia 20 tahun tersebut hanya diterangi oleh obor yang dipasangi pada sisi-sisi dinding di sepanjang lorong. Sebelum sampai ke ruang utama, ia harus melewati lorong sempit menggunakan tangga yang licin dan dipenuhi lumut.
“Apa tidak ada listrik di sini?” Mulutnya mendesis pelan, memeluk tubuhnya sendiri yang merinding sambil diusap-usap.
Sampai akhirnya gadis tersebut tiba di ruang utama. Asap hitam yang bercampur dengan serbuk kerlap-kerlip ikut menerangi ruangan luas yang berdebu dan sudut-sudutnya dipenuhi oleh jaring laba-laba, bau apek amat menusuk hidung.
Temaram dari lilin-lilin tersusun di beberapa sudut meja panjang yang penuh dengan buku berserak. Sesekali ia terperanjat kaget saat matanya tak sengaja bersitatap dengan beberapa pasang mata merah yang menunggui sudut ruangan.
“Selamat datang wanita ke 1999 milik Tuan Minos.” Suara menggema ini lebih-lebih lagi membuatnya kaget.
Entah siapa yang berbicara barusan, tapi suaranya nyaring dan memekik telinga. Dan jelas itu bukan milik pria penunggu kastil ini, karena dia tidak mungkin menyebut dirinya sendiri dengan seperti itu.
“Si-siapa?” Pandangan gadis itu berpendar, bertanya takut-takut, tali selempang tas yang menggantung di bahu sudah diremat kuat olehnya.
Matanya terus mengamati sekitar walau tidak terlihat dengan jelas bagaimana isi ruangan yang dipijakinya saat ini. Sadar kalau asap hitam yang menuntunnya sudah hilang entah kemana, atau karena berpadu dalam ruangan gelap hingga samar untuk dilihat jelas.
Tapi dia tahu bahwa saat ini dirinya menjadi pusat perhatian dari mata-mata merah yang masih setia berdiam di pojok ruangan yang gelap, sulit untuk dilihat seperti apa wujudnya. Ia hanya takut dirinya diterkam tiba-tiba.
“Majulah! Berdiri di depan tangga. Tepat di bawah sinar rembulan yang menyorot. Aku ingin melihat bagaimana rupamu dengan jelas,” titahnya dengan suara yang sama, masih belum menampakkan wujudnya.
Tanpa banyak bertanya, kakinya perlahan melangkah dan berhenti sesuai dengan perintah. Tangannya yang masih meremat tas selempang terasa sudah basah dan dingin, pun gugup dan gelisah membuat dadanya terasa sesak, mendadak lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar.
Tubuhnya berdiri di depan jalur tangga yang meliuk, rembulan terang sinarnya menembus kaca besar di atas dinding sana, sempurna menyorot tubuhnya. Pendengarannya menajam saat menangkap suara sesuatu yang kian mendekat.
Datangnya dari ujung tangga, bergerak turun seperti akan mendekatinya. Jelas itu bukan suara derap langkah kaki seseorang, tapi suara—
Mengepak. Yap, suara sesuatu yang bergerak mendekat berubah menjadi suara kepakan sayap. Terbang ke arah gadis itu secara tiba-tiba, membuatnya terperanjat dan sedikit berteriak reflek.
“Halo, gadis manis!” sapa burung gagak yang sudah hinggap di pegangan tangga, kepalanya dimiringkan, tatapan matanya tidak menunjukkan rasa bersalah setelah membuat gadis itu kaget sampai jantungnya nyaris melompat keluar.
Gadis dengan surai panjang tersebut melotot. Menelan ludah. Berhenti bernapas seperkian detik. Matanya tidak berkedip saat mengamati burung gagak yang ternyata bisa bicara.
“Siapa namamu?” Gagak itu melontarkan pertanyaan. Kepalanya bergerak-gerak, mengamati gadis dihadapannya dengan teliti.
“Naina,” cicit gadis itu sambil merungkut, tidak nyaman ditatap seperti itu.
“Wajahmu lumayan manis. Meskipun pakaianmu jelek sekali, mirip seperti gelandangan yang tanpa pikir panjang mungkin akan langsung dibunuh oleh Tuan Minos.”
Ucapan gagak barusan berhasil membuat Naina tergugu dalam belenggu. Wajahnya pucat seketika, dalam pikiran sudah berpikiran macam-macam.
Melihat bahwa gadis itu benar-benar menelan ucapannya, sang gagak lantas tertawa geli. Sebelah sayapnya dipakai untuk menutup mulut. Suara tawanya mengambil perhatian gadis itu, sedikit mengalihkannya dari pikiran buruk.
“Apa aku benar-benar akan mati malam ini?” Naina menggigit bibirnya, suara degup jantungnya membumbung memenuhi telinga.
“Keputusan itu sepenuhnya ada di tangan Tuan Minos. Tapi aku akan membantumu untuk tetap bisa hidup, ya ... Setidaknya untuk malam ini. Sisanya, kau harus berjuang sendiri,” balas gagak itu.
Naina menelan ludah, kalut kian merayapi sekujur tubuh. Peluh dingin pun memenuhi wajahnya.
Gagak itu melanjutkan ucapan, “Tuan Minos tidak suka perempuan jelek. Tidak suka dengan kata ‘tidak’ atau perkataan yang merujuk pada penolakan. Benci warna merah. Dan jangan pernah nyalakan lampu manapun. Gunakan saja lilin sebagai penerangan.”
Naina tersentak di kalimat pertama. Ia mana tahu definisi perempuan cantik bagi Tuan Minos itu seperti apa. Jika memang dirinya tidak menarik di mata pria itu, mengapa surat undangan meluncur ke rumahnya hari itu?
Dan perkataan gagak tadi tidak membuat Naina tenang, masih dihantui ketakutan. Dan ketika gagak tersebut melambung tinggi ke udara dengan sayapnya, Naina bergerak mengikuti.
Gagak menuntunnya naik ke lantai atas, Naina hanya fokus ke depan, tidak melirik kanan-kiri karena takut tertinggal jejak dan tersesat.
Naina menarik tangannya yang menyentuh pegangan tangga. Debu tebal menempel sempurna pada permukaan telapak tangannya. Ia langsung menerka dalam pikiran, sudah berapa puluh tahun kastil ini tidak pernah dibersihkan?
“Masuklah! Tuan Minos sudah menunggu.” Gagak tersebut hinggap pada gagang pintu, menurunkan tuasnya hingga pintu terbuka.
Dadanya kembang kempis, napasnya mendadak patah-patah. Kedua tangannya yang bertaut gelisah sudah basah dan dingin.
Saat kakinya sudah melangkah sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, pintu tertutup rapat, suaranya membuat Naina terkesiap. Matanya langsung tertuju pada punggung milik seseorang yang tengah duduk di depan perapian.
Naina bingung harus berkata apa atau memulai percakapan dari mana, lidahnya yang kelu membuat mulutnya mendadak bisu. Dan tenggorokannya semakin tercekat ketika aroma busuk menyergap hidungnya, menusuk hingga napasnya tambah tersendat-sendat.
“Apa tidak ada kata-kata baik yang bisa kau katakan untuk menyapa suamimu ini?” Pria yang masih setia duduk membelakangi bersuara. Bass suaranya memecut ketakutan dalam diri Sora yang mendengarnya.
“Eh, i-tu ... Aku...” Naina gelagapan, matanya bergulir cepat, bibirnya yang memucat sudah ia gigit kuat-kuat.
Ketika pria dengan tudung yang menutup kepalanya tersebut berdiri dari tempatnya, Naina tersentak. Matanya mengamati setiap gerakan dari pria itu, dan pupilnya semakin membesar tatkala melihat tubuhnya yang sudah berdiri sempurna menjulang setinggi dua meter.
Naina tidak bisa bernapas. Kepala yang tertutup tudung itu sudah menengok padanya. Ia kehilangan kata-kata. Mata mereka bertemu, mata abu terang yang cantik itu tidak cocok dengan rupa wajahnya yang mengerikan.
Tubuh Naina membatu di tempat. Melihat bahwa setengah wajah dari pria itu hanya tulang, setengahnya lagi penuh borok dan nanah yang melumuri pipinya yang bolong-bolong.
Jerit tertahan di dalam mulut Naina yang terkatup kuat. Seringaian yang ditunjukkan pria itu menampilkan seluruh taring yang berlumuran darah. Bau busuk menyengat semakin menyeruak dalam ruangan yang sempit dan lembab.
“Ekspresi macam apa itu? Kau tidak jauh berbeda dengan wanita-wanita sialan yang berakhir mati menyedihkan di kastil ini!” sentaknya yang berhasil membuat kedua bahu gadis itu terangkat kaget.
“Dan kau ... Kupastikan akan bernasib sama seperti mereka!” sambungnya penuh penekanan, berhasil menyebarkan kengerian yang menjalari tubuh Naina yang masih mematung.
***