Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan di Ujung Gang Serta Kisah Jengkok dan Keluarga
Di sebuah kampung kumuh di pinggiran kota, hidup seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya, Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil, Gobed. Setiap pagi, Jengkok dan Slumbat memulai hari dengan semangat, meski kehidupan mereka tak pernah mudah.
Jengkok bangun dari tempat tidurnya yang sudah usang. "Bu, ini sudah pagi. Kita harus mulai bekerja sebelum orang lain mendahului kita," katanya sambil menepuk-nepuk bahu istrinya.
Slumbat menguap lebar, "Iya Pak, tapi si Gobed belum bangun. Nanti kalau kita pergi, siapa yang akan menjaganya?"
Jengkok melirik anaknya yang tertidur pulas di sudut ruangan. "Biarin saja dia tidur dulu, kita bisa cari sampah di dekat sini saja, enggak jauh. Kalau dia bangun, kita bisa balik sebentar."
Slumbat bangkit dan mulai membetulkan kerudungnya, "Pak, kamu yakin kita bisa dapat banyak hari ini? Aku lihat kemarin, tumpukan sampahnya sudah dibawa orang duluan."
Jengkok tersenyum, meski lelah masih tampak di wajahnya, "Yakin, Bu. Yang penting kita tetap berusaha. Jangan menyerah, Gusti Allah pasti kasih jalan."
Slumbat mengangguk pelan, "Iya, iya. Aku cuma khawatir sama si Gobed. Kasihan dia kalau enggak ada makanan hari ini."
Jengkok mendekati Slumbat dan menggenggam tangannya, "Kita pasti bisa, Bu. Kita enggak boleh kalah sama keadaan. Yuk, kita jalan."
Mereka pun keluar dari rumah kecil mereka, menyusuri gang-gang sempit sambil memungut apa saja yang bisa dijual. Plastik, botol bekas, kardus, semua mereka kumpulkan. Sepanjang perjalanan, Slumbat tak henti-hentinya berbicara tentang Gobed.
"Pak, Gobed itu pintar ya. Kemarin dia bisa nyanyi lagu anak-anak yang diajarin sama tetangga."
Jengkok mengangguk sambil memungut botol plastik, "Iya, Bu. Dia memang pintar, tapi jangan lupa kita harus ajarin dia juga. Biar nanti kalau besar, dia enggak perlu jadi pemulung seperti kita."
Slumbat menghela napas panjang, "Aku juga enggak mau dia jadi seperti kita, Pak. Tapi, gimana caranya? Sekolah mahal, kita aja buat makan susah."
Jengkok berhenti sejenak, "Aku tahu, Bu. Tapi kita harus cari cara. Mungkin nanti ada orang baik yang mau bantu."
Slumbat terdiam sejenak, memikirkan kata-kata suaminya. "Iya, mungkin saja. Tapi, ya sudahlah, yang penting kita bisa makan hari ini dulu."
Saat mereka kembali ke rumah, Gobed sudah bangun dan sedang bermain dengan mainan yang terbuat dari kaleng bekas. "Pak, Bu, dapat banyak enggak hari ini?" tanya Gobed dengan mata berbinar.
Jengkok tersenyum lebar, "Iya, Nak. Dapat banyak, nanti kita bisa makan enak."
Gobed melompat kegirangan, "Asik! Aku mau makan nasi sama ayam, Bu!"
Slumbat tertawa kecil, "Iya, iya. Tapi enggak ayam beneran ya, Nak. Ayamnya kita bikin dari tahu aja."
Gobed mengangguk polos, "Enggak apa-apa, Bu. Yang penting makan bareng-bareng."
Jengkok menatap keluarganya dengan penuh haru, "Iya, makan bareng-bareng itu yang paling penting."
Meski hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan, mereka tetap saling mendukung dan mencintai. Dalam hati, Jengkok bertekad suatu hari nanti, dia akan membawa keluarganya keluar dari kemiskinan ini. Tapi untuk sekarang, mereka cukup dengan apa yang ada, selama mereka bersama.
Jengkok bergegas menuju warung rames yang tak jauh dari rumah mereka. Dia melangkah cepat, memikirkan betapa senangnya Gobed jika bisa makan nasi dengan tahu goreng. Sesampainya di warung, Jengkok langsung menyapa pemilik warung, Pak Suryo.
“Selamat pagi, Pak Suryo. Saya mau beli tiga porsi nasi, sama tahu gorengnya,” kata Jengkok sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku.
Pak Suryo tersenyum ramah dan mulai menyiapkan pesanan. “Oke, Jengkok. Ini memang hari-hari susah, ya? Tapi semangat terus, ya.”
Jengkok mengangguk, meski wajahnya terlihat sedikit lelah. “Iya, Pak. Terima kasih banyak.”
Sambil menunggu pesanan, Jengkok duduk di bangku kayu yang ada di warung, memandangi jalanan yang ramai. Tak lama, Pak Suryo datang membawa tiga porsi nasi dengan tahu goreng yang masih panas.
“Ini dia, Jengkok. Semoga cukup untuk keluarga,” kata Pak Suryo sambil menyerahkan bungkus makanan.
Jengkok menerima bungkusan makanan itu dengan penuh syukur. “Terima kasih, Pak Suryo. Ini sangat membantu kami.”
Dengan hati-hati, Jengkok membawa makanan tersebut pulang. Sesampainya di rumah, dia melihat Slumbat dan Gobed sudah duduk menunggu di meja kecil mereka.
“Bu, Nak, ini makanannya. Kita bisa makan sekarang,” kata Jengkok sambil meletakkan bungkus makanan di meja.
Slumbat mengerutkan dahi, lalu melihat isi bungkus itu. “Wah, makasih, Pak. Tahu gorengnya masih panas, ya. Tapi kenapa cuma tahu goreng?”
Jengkok tersenyum kecil. “Itu yang bisa kita beli hari ini, Bu. Yang penting kita makan bareng-bareng.”
Gobad dengan penuh semangat mulai mengaduk nasi di piringnya. “Wah, tahu gorengnya enak sekali, Bu! Aku suka.”
Slumbat mengambil sendok dan menyendokkan nasi ke piring Gobed. “Iya, Nak. Ayo, makan yang banyak. Ini sudah cukup baik buat kita.”
Saat mereka mulai makan, suasana di rumah terasa hangat dan penuh kebersamaan. Meski makanan mereka sederhana, tawa dan canda di meja makan membuat mereka lupa sejenak tentang kesulitan hidup.
Jengkok menatap keluarganya dengan penuh kebanggaan. “Kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya, ya. Karena yang terpenting adalah kita bisa bersama.”
Slumbat mengangguk sambil tersenyum lembut. “Iya, Pak. Selama kita bersama, kita bisa menghadapi segala kesulitan.”
Mereka terus makan dengan lahap, menikmati makanan sederhana namun penuh makna. Hari itu, meskipun tidak banyak yang mereka miliki, kebahagiaan mereka terletak pada kebersamaan dan cinta keluarga yang tidak ternilai.