Bagi seorang anak baik buruknya orang tua, mereka adalah dunianya. Mereka tumpuan hidup mereka. Sumber kasih sayang dan cinta. Akan, tetapi sengaja atau tidak, terkadang banyak orang tua yang tidak mampu berlaku adil kepada putra-putri mereka. Seperti halnya Allisya. Si bungsu yang kerap kali merasa tersisih. Anak yang selalu merasa dirinya diabaikan, dan anak yang selalu merasa tidak mendapatkan kasih sayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Derttt... Dert...." Telpon genggam milik Wati berdering.
"Aduh siapa lagi ini, ganggu aja, nggak tahu lagi orang lagi kerja" gerutu Wati, lalu mengeluarkan hp Nokia lama miliknya dari kantong baju lusuhnya.
"Siapa bu?" tanya Rudi suaminya.
"Nggak tau pak, nomor baru"
"Coba angkat siapa tahu penting" ucap Rudi yang sibuk menyiangi cabe milik mereka.
"Iya pak, tunggu ini mau tak angkat dulu"
"Hallooo" ucap Wati.
"Hallo, apa ini dengan ibu Wati, ibunya Mira Cahyati anak kelas 8 Celcius, SMP Cempaka"
"Ohhh, iya benar, kenapa ya Bu?" Wati saling beradu pandang dengan Rudi.
"Begini, anak ibu Mira ada masalah sedikit di sekolah. Jadi, dia melukai kepala siswa lain kemarin sewaktu sepulang sekolah, dan orang tuanya menuntut ganti rugi. Jadi, saat ini orang tuanya sedang ada di sekolah. Jadi kami meminta ibu untuk datang segera ke sekolah sekarang juga, untuk menyelesaikan masalah anak ibu" ucap Bu Nani.
"Ya Allah., Mira... baik Bu" ucap Wati. Lalu menutup telepon.
"Kenapa Bu?" Tanya Rudi yang melihat ekspresi wajah Wati sudah merah padam.
"Ini anakmu si Mira, buat ulah di sekolah. Jadi dia ngelukain siswa lain, dan orang tuanya minta ganti rugi. Uang dari mana coba pak, bingung aku tuh sama si Mira, udah tahu hidup miskin, malah membuat ulah yang bukan-bukan" sungut Wati.
"Mira... Mira..." Dengus Rudi kesal
"Sekarang gimana ni pak?"
"Ya sudah kamu ke sekolah Mira aja dulu, selesaikan masalah Mira, biar aku yang selesaikan nyiangi rumput cabai ini. Kalau nggak disiangi mau makan apa kita besok" ucap Rudi.
"Akhh, kamu saja pak, biar aku yang nyiangi rumput ini" ucap Wati.
"Kamu saja Bu"
"Kamu saja pak, uang dari mana coba mau ganti rugi, ini aja di kantong ibu hanya ada 20 ribu, ini hanya cukup ongkos pulang balik saja pak"
"emmmm, bagaimana kalau kamu coba pinjam ke pak Budi dulu, nanti kalau Minggu depan kita panen cabe baru kita bayar"
"Kita udah sering minjam ke sana pak"
"Kamu coba dulu"
"Akhhh bapak, kalau ada masalah gini saja, semuanya aku yang nanganin" sungut Wati, lalu beranjak pergi.
Dia berjalan dengan cepat dari ladang menuju rumah, karena selain harus siap siap ke sekolah, dia juga harus ke rumah Pak Budi terlebih dahulu untuk meminjam uang. Sebagai jaga-jaga kalau di sekolah Wati benar benar harus ngeluarin uang untuk menyelesaikan masalah Mira.
"Assalamu'alaikum pak... Tuk... Tuk.... " Wati mengetuk ngetuk pintu Pak Budi, orang yang terkenal dermawan di kampungnya, dan sering membantu orang yang sedang kesusahan seperti keluarga Rudi.
"Wa'alaikumussalam, iya siapa" teriak seseorang dari dalam.
"Ehhh, Bu Wati, silahkan masuk Bu" ucap Bu Sarmin istri pak Budi mempersilahkan Wati masuk. Sarmin dan Budi memang sama sama orang baik.
"Akhhh, tidak perlu Bu, saya buru buru.. tapi anu Bu..." Wati rasanya segan untuk mengucapkan niat hatinya yang ingin meminjam uang kepada Sarmin, kerna baru saja beberapa hari yang lalu dia datang ke sini untuk melunasi hutangnya, eh ini malah datang lagi untuk mengurangi.
"Anu apa Bu Wati?" Tanya sarmin penasaran.
"Anuu.. emmmm, saya bisa pinjam uangnya Bu Sarmi dulu tidak, Si Mira di sekolah bikin ulah, jadi butuh uang buat ganti rugi, ketepatan saya lagi tidak pegang uang sama sekali Bu Sarmi. Ini aja saya hanya punya uang 20 ribu" ucap Wati, seraya mengeluarkan uangnya dari kantongnya.
"Astaghfirullah, si Mira ada masalah apa di sekolah sampai harus ganti rugi?"
"Nah, itu saya tidak tahu Bu, kata gurunya nanti baru dijelasin di sekolah"
"Ya sudah kamu butuh berapa?"
"Berapa adanya saja Bu, saya juga nggak tahu berapa uang ganti ruginya, ini saya mau kesekolahan si Mira dulu"
"Saya hanya bisa kasih pinjam 200 ribu saja, tidak apa apa kan Wati?"
"Akhhh, tidak apa apa Bu, makasih banyak Bu Sarmi sudah mau membantu saya."
"Ya sudah kamu tunggu di sini biar saya ambilkan uangnya" Sarmi masuk ke dalam rumahnya, dan meninggalkan Wati di bibir pintu.
"Baik, bu. Terima kasih"
"Miraaa awas aja kamu, dasar anak sialan, bikin susah orang tua saja" batin Wati geram kepada Mira.
"Ini Bu, uangnya diterima, cuman saya nggak bisa kasih tempo lama, 2 Minggu paling lambat uangnya harus kembali ya Bu, soalnya ini tabungan buat ngirim bulanan anak saya yang lagi mondok di pesantren " ucap Sarmin
"Ohhh, iya, insyaAllah secepatnya saya kembalikan Bu"
"Baiklah Bu, semoga urusan Mira di sekolah cepat selesai"
"Aamiin, terima kasih banyak Bu"
"Sama sama"
Wati pun melangkahkan kakinya dengan cepat menyusuri jalan raya, menuju persimpangan tempat di mana biasanya orang orang menunggu angkot. Karena kalau jam jam segini, biasanya angkot tak ada yang lewat dari depan rumahnya. Kalau jam jam segini biasanya angkot hanya lewat jalan besar saja.
"Mana ini angkot... Lama sekali datangnya" ujar Wati, melihat jalanan yang lengang tanpa ada kendaraan yang lewat.
"Kalau lagi butuh aja, angkot ini nggak ada, coba kalau lagi nggak butuh pasti selalu ramai sampai sampai mau nyebrang pung susah" gerutunya.
15 menit menunggu angkot pun datang.
"SMP Cempaka ya bang"
"Ok kak"
Wati pun naik, wajahnya menyiratkan ada sedikit kecemasan di hatinya. Biar bagaimanapun Mira tetaplah anaknya.
"Ada perlu apa ke SMP Cempaka kak?" Tanya supir angkot, yang sudah mengenal Wati, dan Wati pun sudah mengenalnya. Usia supir angkot ini lebih muda dari Wati, makanya dia memanggil Wati dengan sebutan kakak.
"Ini dek, ada urusan di sekolahnya si Mira"
"Urusan apa kak, si Mira sakit atau gimana?"
"Nah itu dia, kakak juga nggak tahu, tadi baru di panggil sama gurunya, katanya si Mira buat ulah di sekolah, maklum aja anak nggak guna. Di rumah nggak ada fungsinya, di sekolah juga masih aja berulah. Nyesal kadang kenapa bisa saya ngelahirin anak kek dia"
"Hahahhah, sabar kak, namanya juga anak anak kak"
"Udah kelas 1 SMP, mana anak anak lagi dek"
"Lah, itu masih anak anak namanya kak, saya dulu waktu kelas 1 SMP sering maling lagi"
"Itu kan dulu, beda tahun beda jaman. Jaman dulu anak kelas 1 SMP juga masih anak anak, kalau anak jaman sekarang kelas 1 SMP dah cinta cintaan"
"Iya ya kak, sabar aja, namanya ngadapin anak anak kak"
"Akhhh, kamu kan kerna nggak jadi aku aja, punya anak kek si Mira, jadi beban"
"Emang dia senakal apa sih Bu, sampai ibu sebegitu kesalnya sama si Mira"
"Dia itu kalau di suruh nggak pernah langsung bilang iya, pasti ada aja alasannya, pokoknya sering membangkang lah, udah itu di rumah uang itu cuman habis sama dia aja, bayar buku LKS lah, bayar buat kerja kelompolah, bayar untuk praktek lah, ribet."
"Sekolah unggulan memang wajarlah kak banyak pengeluarannya daripada sekolah biasa"
"Makanya itu, seharusnya si Mira ini pas di bilang guru sdnya masuk SMP Cempaka dia jangan mau. Liat sekarang siapa yang susah, aku juga yang susah, bukan guru sdnya"
"Sabar kak, ada hikmahnya "
"Huhhh, entahlah"
30 menit berada di dalam angkot, akhirnya Wati pun sampai ke sekolah Mira, di SMP Cempaka.