Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Dara
Baru sekali ini Dara melihat beribu-ribu belut. Dia bahkan tak suka pecel lele. Belut-belut itu menggeliat-geliat, tumpang tindih. Ada sekitar sepuluh bak berukuran dua kali dua meter. Semuanya terisi penuh. Air di dalam bak berbuih karena lendir, bau amis menyeruak.
Dara berpikir, untunglah dia yang bekerja di sini. Adik laki-lakinya yang sangat resik itu, jangankan mendekat ke bak, pasti langsung balik badan begitu mencapai pintu. Sewaktu berusia empat tahun, bau laut saja membuat adiknya muntah-muntah seolah ingin mengeluarkan seluruh ususnya.
Adalah Oom Bernard, kenalan Mama, sedang mencari tenaga kerja laki-laki. Oom Bernard adalah seorang pengekspor belut ke Taiwan dan Cina. Sebenarnya ini bukan pekerjaan perempuan, karena itu ia mencari seorang karyawan laki-laki. Tetapi Mama mengatakan pada Oom Bernard, bahwa yang masih menganggur dan sedang mencari kerja itu anak perempuannya.
Berpuluh surat dan email lamaran kerja telah Dara kirim ke banyak perusahaan tanpa ada balasan. Di tahun 1999, setahun setelah krisis ekonomi yang menumbangkan presiden Indonesia yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun, ternyata masih sangat sulit mendapat pekerjaan bagi seorang Dara yang berusia dua puluh dua dengan ijazah SMA, tanpa pengalaman kerja.
Maklumlah, saat krisis ekonomi itu, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika melejit, dari sekitar lima ribu lima ratus rupiah, menjadi hampir tujuh belas ribu rupiah pada puncak krisis ketika presiden digulingkan.
Banyak perusahaan bangkrut, melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, bahkan tidak mampu membayar pesangon. Akibatnya, pengangguran di mana-mana. Dara sudah tujuh bulan berusaha mendapatkan pekerjaan dengan hasil nihil.
Dara pernah kuliah sampai semester empat, tetapi terpaksa berhenti karena orang tuanya terkena imbas krisis ekonomi itu, Papa termasuk salah satu karyawan yang dirumahkan, dan akhirnya melanjutkan usaha Nenek membuat kue, sementara Mama menerima jahitan.
Namun, usaha itu tidak terlalu menghasilkan. Orang-orang mengerem membeli kue, lebih mendahulukan membeli nasi dan lauk yang lebih membuat kenyang. Untunglah usaha jahit Mama cukup laris. Banyak pengusaha lokal yang memiliki tabungan dolar menjadi kaya mendadak karena nilai tukar yang bombastis itu. Dan istri mereka suka dengan jahitan Mama yang rapi.
Dara terpaksa mengalah karena saat ini orang tuanya hanya bisa membiayai sekolah satu anak saja. Itu berarti adiknya yang bungsu, karena adik tengahnya sudah lulus SMA. Setidaknya demi asas keadilan, pendidikan mereka bertiga sama rata, lulusan SMA. Dara tidak bisa menjahit, sementara usaha kue tidak terlalu menghasilkan, karena itu terpaksa melamar kerja ke mana-mana, tanpa hasil.
Meskipun sedang mencari karyawan laki-laki, Mama tetap meminta Oom Bernard bertemu dengan Dara dulu. Dan Oom Bernard jatuh hati padanya, seperti kebanyakan teman-teman Mama yang lain. Yang punya anak bujang selalu berharap Dara menjadi menantunya. Biasanya Dara hanya tersenyum. Dia belum ingin menikah. Jatuh cinta pun dia belum pernah.
Dengan parasnya yang cantik dan rambut ikal tebal yang tergerai sepanjang pinggang, tentu saja yang naksir banyak, tetapi semua dia tolak. Ada yang dengan cara halus, sebagian lagi dia jauhi dengan judes. Dara tahu apa yang dia inginkan. Yang jelas, Dara tak ingin menikah lalu tinggal di kota kecil ini seumur hidup sebagai istri seseorang.
Oom Bernard langsung mengatakan ingin mengangkatnya sebagai anak. Ia tidak punya anak bujang, sehingga tidak bisa mengangkat Dara sebagai menantu.
“Dara, anak baik, ikut Oom ke Bekasi ya, tinggal sama Oom dan istri Oom. Anggap Oom dan Tante sebagai orang tua angkat, Oom akan perlakukan Dara sebagai anak angkat, bukan karyawan, jadi jangan takut dan jangan sungkan sama Oom.” Oom Bernard tersenyum.
Dara melirik mamanya bingung, Mama mengangguk, begitu pula Papa yang ikut duduk mengobrol bersama di situ.
“Ikut saja, baik-baik sama Oom Bernard, bantu dan kerja yang rajin.” Begitu kata Papa. Sehingga sebagai anak yang patuh, Dara mengangguk.
Dara menerima pekerjaan ini demi Mama. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya nanti. Juga tidak negosiasi gaji, jadi tidak tahu akan menerima berapa per bulan.
“Urusan gaji gampang. Nanti Dara pegang pembukuan saja. Tidak perlu ikut campur mengurusi belut.” Kata Oom Bernard sambil tersenyum. Membuat matanya yang sipit itu hilang. Dara percaya saja padanya. Wajah Oom Bernard yang ramah itu membuatnya merindukan kakek yang telah lama meninggal.
'Tapi dia masih tampak sehat dan gagah, ketika muda ia pasti sangat tampan.' Dara membatin di dalam hati.
Setelah membereskan koper dan menata beberapa pakaian, esok harinya Dara ikut mobil Oom Bernard ke Bekasi. Sepanjang jalan Oom Bernard menjelaskan, bahwa belutnya diekspor ke Taiwan dan Cina, yang menerima di sana adalah anaknya. Jadi, eksportir dan importirnya sebenarnya tetap dia. Katanya, belut-belut itu kemudian dikirim ke pasar untuk dipasok ke restoran-restoran.
Mobil sedan hitam itu terus melaju, keluar tol dan terus menyusuri jalanan sampai ke daerah yang sepi, malah melewati kawasan yang sepertinya masih dipenuhi hutan dan pepohonan. Dara cukup bingung tapi tidak berani bertanya. Ternyata bukan kota Bekasi seperti dalam bayangannya, melainkan Bekasi coret yang jauh ke mana-mana.
Selintas tadi, Dara sempat melihat pelang bertulisan Kecamatan Cibitung. Yah, maklumlah, usaha Oom Bernard butuh tempat luas dengan bak-bak penampungan, sehingga tidak mungkin terletak di tengah kota. Dara menghibur diri.
Mobil pun akhirnya berhenti di sebuah gerbang besi tinggi bercat hitam. Letak rumah ini benar-benar terpencil, agak tersembunyi setelah jalanan tanah tanpa aspal yang dinaungi pepohonan. Hanya ada satu bangunan saja, tidak ada tetangga di sekitarnya. Dari jalanan besar, tidak akan ada yang tahu ada bangunan di sini.
“Kita sudah sampai,” Oom Bernard yang duduk di sebelahnya, menoleh pada Dara. “Ayo turun. Nanti Oom perkenalkan dengan istri Oom.”
Dara mengangguk, keluar mobil dan menyeret koper kecilnya setelah dikeluarkan dari bagasi, melangkahkan kaki masuk ke dalam gerbang yang terbuka.
Begitu keluar mobil, udara panas sangat menyengat. Di mobil tadi, suhu AC dipasang pada posisi paling rendah dengan angin maksimal.
“Oom terbiasa dengan iklim di Cina, sehingga AC harus dingin dan kencang. Jakarta terlalu panas. Oom tidak tahan.” Oom Bernard menjelaskan ketika Dara memeluk tubuhnya yang menggigil.
“Dara kedinginan? Pakai jaket saja ya.” Katanya lagi, sehingga Dara terpaksa meminta izin Oom Bernard menghentikan mobil, untuk mengambil jaketnya di koper yang diletakkan di bagasi.
Dan sekarang, keluar dari mobil, Dara langsung berkeringat diterpa udara kering tengah hari, ditambah jaket yang dia kenakan. Sebelum masuk, Dara menghentikan langkah dan menoleh ke belakang gerbang.
'Ini menjorok sangat jauh dari jalanan utama, tidak ada akses kendaraan umum, mengapa aku merasa akan terpenjara di sini?'' Dara bergumam di dalam hati.
Oom Bernard meninggalkannya dan masuk ke dalam rumah sambil memanggil-manggil nama seseorang. Setelah melepaskan jaket dan menyeka peluh di kening, Dara melangkah perlahan, mengedarkan pandangan ke sekitar.
Di balik pintu gerbang itu, adalah ruang terbuka tanpa atap, dengan lantai semen. Ada timbangan besar manual di pojok, mungkin dengan kapasitas seratus sampai seratus lima puluh kilo. Terdapat ember-ember dan keranjang-keranjang plastik besar yang ditumpuk di satu sisi, dan bersusun-susun box styrofoam berjajar di sisi yang lain.
Dara terus melangkah semakin masuk, langkahnya berhenti di depan bak-bak penampungan besar, dengan bau amis menguar. Bak-bak itu tidak tinggi, kedalamannya hanya sekitar delapan puluh sentimeter. Tempat ini beratap, sehingga setelah dihajar matahari yang garang di luar tadi, di sini terasa agak teduh.
Dara melongok ke dalam bak-bak itu, dan matanya membelalak. Di dalamnya, makhluk-makhluk kehitaman berlendir itu menggeliat-geliat, sehingga membuat air yang menggenang di situ berbuih. Jumlahnya mungkin ribuan, tampak seperti ular di kepala karakter di sebuah film horor. Ternyata seperti ini belut sebelum berakhir di piring menjadi santapan.
Dara tidak takut, malah bersyukur dialah yang akhirnya ikut bekerja dengan Oom Bernard, bukan adik tengahnya yang gila kebersihan itu. Bagaimanapun, meskipun statusnya tidak jelas, dia harus bersyukur akhirnya mendapat pekerjaan.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author