Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : AMUKAN SANG BAYANGAN
Gudang Nomor 09 bergetar hebat. Pintu baja yang tebalnya hampir sepuluh sentimeter itu tidak hanya terbuka, tapi engselnya hancur seolah-olah dihantam oleh peluru kendali. Asap dari mesin motor yang menderu keras masuk ke dalam ruangan, bercampur dengan uap hujan yang dingin.
Reihan melepaskan jambakannya pada rambut Luna. Ia berdiri tegak, mencoba mempertahankan sisa-sisa arogansinya meski tangannya sedikit bergetar. Gunting besar di tangannya berkilat tertimpa cahaya lampu gantung yang bergoyang-goyang.
"Siapa di sana?!" teriak Reihan. "Bima! Dion! Hajar dia!"
Namun, tidak ada jawaban dari anak buahnya yang berjaga di luar. Yang terdengar hanyalah suara langkah kaki sepatu bot militer yang menapak pelan namun pasti di atas lantai beton yang basah.
Dari balik kepulan asap, sesosok pria muncul. Ia mengenakan jaket tactical hitam yang pas di tubuh, celana kargo gelap, dan helm full face yang menutupi seluruh identitasnya. Ia tidak membawa senjata api. Ia hanya membawa aura kematian yang begitu pekat hingga membuat bulu kuduk Reihan berdiri.
"Lepaskan dia," suara itu keluar dari balik helm. Berat, rendah, dan penuh otoritas.
Luna, yang masih terikat di kursi, terbelalak. Meski suara itu sedikit terdistorsi oleh helm, ia mengenalnya. Ia mengenalnya di dalam jiwanya. "Xavier...?" bisiknya dengan sisa tenaga.
Reihan tertawa histeris. "Xavier? Jadi ini lo, Cupu? Gaya lo udah kayak pahlawan film aksi. Tapi lo sendirian, sementara gue punya orang-orang terbaik di sini!"
Reihan memberi isyarat pada empat orang pria berbadan besar yang bersembunyi di balik tumpukan kontainer di dalam gudang. Mereka keluar sambil membawa tongkat besi dan pisau lipat.
"Habisi dia! Gue mau kepalanya!" perintah Reihan.
Keempat pria itu maju serentak. Pria pertama mengayunkan tongkat besi ke arah kepala Xavier. Dengan gerakan yang hampir tidak tertangkap mata, Xavier memiringkan kepalanya sedikit, menangkap pergelangan tangan pria itu, dan memutarnya hingga terdengar bunyi KRAK yang memilukan.
Tanpa membuang waktu, Xavier memberikan tendangan side kick yang sangat kuat ke dada pria kedua, membuatnya terpental sejauh lima meter hingga menabrak mesin derek tua. Pria ketiga dan keempat mencoba menyerang dari sisi kiri dan kanan, namun Xavier melakukan gerakan sweeping rendah yang menjatuhkan mereka, lalu menyelesaikannya dengan dua pukulan presisi ke arah saraf leher yang membuat mereka pingsan seketika.
Hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh detik, empat orang bayaran profesional itu terkapar di lantai. Tidak ada teriakan. Tidak ada perlawanan berarti. Itu bukan pertarungan; itu adalah pembantaian yang efisien.
Xavier melepaskan helmnya, menjatuhkannya ke lantai hingga menimbulkan suara dentuman logam yang menggema. Wajahnya yang tanpa kacamata kini terlihat sepenuhnya. Tatapan matanya tajam seperti belati, tidak ada lagi jejak Xavier si murid cupu yang suka menunduk.
"Sekarang, Reihan," ucap Xavier sambil melangkah maju. "Hanya ada aku dan kamu."
Reihan panik. Ia mundur hingga punggungnya menabrak kursi tempat Luna terikat. Ia kembali menodongkan gunting itu ke leher Luna. "Jangan maju! Satu langkah lagi, gue bakal tusuk dia! Gue nggak main-main, Xavier! Gue bakal bunuh dia!"
Xavier berhenti. Jaraknya hanya tiga meter. Ia bisa melihat ketakutan di mata Reihan, ketakutan seorang pengecut yang sedang terpojok.
"Kamu tahu, Reihan," Xavier bicara dengan sangat tenang, "Kesalahan terbesarmu bukan karena kamu menindas Luna di sekolah. Kesalahan terbesarmu adalah kamu berpikir bahwa kamu bisa menyentuh apa yang menjadi milik Madam."
"Madam? Siapa Madam?! Gue nggak peduli!" raung Reihan. "Gue Dirgantara! Gue penguasa kota ini!"
"Dirgantara?" Xavier tersenyum tipis, sebuah senyum yang membuat Reihan merinding. "Saat ini, di kantor pusat bank nasional, seluruh rekening keluargamu sedang dibekukan atas perintah otoritas tinggi. Ayahmu sedang ditanyai tentang penggelapan dana publik yang bukti-buktinya baru saja mendarat di meja jaksa agung. Nama Dirgantara... malam ini akan dihapus dari sejarah."
"Bohong! Lo cuma gertak!"
Tepat saat itu, ponsel Reihan yang tergeletak di lantai bergetar hebat. Layarnya menyala, menampilkan pesan singkat dari ibunya : 'Rei, pulang! Polisi di rumah! Papamu ditangkap! Semua aset kita disita!'
Reihan melihat pesan itu dari sudut matanya. Dunianya runtuh. Gunting di tangannya mulai bergetar hebat. Luna memanfaatkan momen kelengahan itu untuk menyentak kepalanya ke depan, menghantam dahi Reihan dengan kepalanya.
"ARGH!" Reihan terhuyung mundur.
Xavier tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melesat seperti anak panah, menangkap tangan Reihan yang memegang gunting, dan dalam satu gerakan cepat, ia membanting tubuh Reihan ke lantai beton dengan sangat keras.
BRAKK!
Xavier menekan leher Reihan dengan lututnya, mengunci tangan pemuda itu di belakang punggungnya. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membunuhmu, Reihan. Karena kematian adalah jalan keluar yang terlalu mudah bagi orang sepertimu."
Xavier menekan titik saraf di bahu Reihan, membuat seluruh lengan kanan Reihan lumpuh seketika. Reihan mengerang kesakitan, air mata dan keringat bercampur di wajahnya yang kini penuh debu.
Xavier berdiri, mengabaikan rintihan Reihan. Ia segera menghampiri Luna, memotong tali pengikatnya dengan pisau lipat kecil yang sangat tajam.
"Luna, kamu nggak apa-apa?" suara Xavier kembali melembut, tapi ada nada rasa bersalah di sana.
Luna tidak menjawab. Begitu ikatannya terlepas, ia langsung memeluk Xavier dengan erat. Ia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua ketakutan dan rasa sakit yang ia pendam sejak tadi sore. Xavier tertegun sejenak, tangannya yang tadi digunakan untuk menghancurkan musuh kini ragu-ragu untuk membalas pelukan itu. Namun akhirnya, ia mendekap Luna, membiarkan gadis itu mencari perlindungan di dadanya.
"Aku takut, Xavier... aku benar-benar takut..." isak Luna.
"Aku di sini. Kamu aman. Aku minta maaf karena terlambat," bisik Xavier.
Di luar gudang, suara sirene polisi mulai terdengar mendekat. Xavier tahu ia harus segera membawa Luna pergi sebelum tim resmi datang dan mengajukan terlalu banyak pertanyaan.
Ia membimbing Luna keluar dari gudang tersebut. Di ambang pintu, Xavier berhenti sejenak. Ia menyentuh earpiece-nya lagi.
"Lakukan pembersihan tahap dua," perintah Xavier pada seseorang di seberang sana. "Pastikan Reihan dan anak buahnya diserahkan ke pihak berwajib dengan bukti penculikan yang lengkap. Dan... sampaikan pada Madam, Luna butuh waktu untuk pulih. Jangan tekan dia untuk saat ini."
Suara di earpiece menjawab singkat. "Dimengerti. Tim medis pribadi sudah menunggu di titik penjemputan B. Segera bergerak, Xavier."
Xavier menuntun Luna menuju motornya. Ia memakaikan helmnya pada Luna, membungkus tubuh gadis itu dengan jaket tactical-nya yang hangat.
"Kita mau ke mana, Xavier?" tanya Luna dengan suara lemah.
"Ke tempat yang aman. Ke tempat di mana tidak ada Reihan, tidak ada tepung, dan tidak ada air mata," jawab Xavier.
Saat mereka memacu motor meninggalkan pelabuhan, Luna menyandarkan kepalanya di punggung Xavier. Di tengah badai yang mulai mereda, ia menyadari satu hal. Xavier bukan lagi sekadar teman sebangkunya yang cupu. Xavier adalah badai itu sendiri. Dan di belakang Xavier, ada sosok misterius bernama Madam yang tampaknya memegang kendali atas seluruh hidupnya.
Luna belum tahu siapa Madam itu. Namun untuk malam ini, ia hanya ingin tertidur di punggung cowok yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
Xavier menghentikan motornya di depan sebuah bangunan megah yang tersembunyi di balik perbukitan kota, sebuah mansion medis pribadi milik Seraphine Corp. Ia turun dan menggendong Luna yang sudah jatuh pingsan karena kelelahan emosional.
Seorang perawat pria berbadan tegap menyambut mereka di pintu masuk.
"Nona Muda Aluna?" tanya perawat itu.
Xavier mengangguk. "Siapkan ruang isolasi terbaik. Jangan ada yang boleh masuk kecuali tim medis utama."
Saat pintu lift tertutup, Xavier menatap pantulan dirinya di cermin lift. Wajahnya yang tanpa kacamata tampak sangat asing. Ia tahu, mulai besok, ia tidak akan bisa lagi menyamar dengan sempurna di sekolah. Reihan sudah tahu. Dan cepat atau lambat, Luna juga akan bertanya.
Ponsel Xavier bergetar. Sebuah pesan dari Madam masuk.
"Bagus, Xavier. Dia selamat. Sekarang, biarkan dia merasakan penderitaan terakhir di sekola. Aku ingin dendamnya matang sempurna sebelum aku menjemputnya. Jangan biarkan dia tahu identitasnya lebih awal."
Xavier mengepalkan tangannya."