Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Ambulans berhenti di depan rumah sakit ternama di ibu kota dengan suara sirene yang baru saja padam.
Paramedis menurunkan Soni yang tak sadarkan diri, darah mengering di pelipisnya.
Zavier berlari di samping ranjang dorong, wajahnya pucat, napas tersengal, bukan karena khawatir saja, tapi karena ketakutan pada kebenaran yang baru saja ia sembunyikan.
Paramedis bertanya cepat, "Apakah Anda keluarganya?"
Zavier mengangguk cepat, menjawab dengan suara serak. "Iya, Sus. Saya anaknya."
Dokter muncul dan menyuruh perawat membawa Soni ke ruang IGD. Sebelum masuk, dokter lelaki paruh baya itu bertanya dulu kepada Zavier. "Kenapa pasien bisa tidak sadarkan diri?"
Zavier menelan ludah keras-keras. "S-Saya ... saya tidak tahu pasti, Dok. Soalnya pas saya masuk ke ruangan Papa ... di-dia sudah tergeletak di lantai." Bohong. Tapi Zavier harus mempertahankannya.
Dokter mengangguk, langsung masuk menyusul ke ruang tindakan. Pintu IGD menutup.
Zavier tinggal sendirian di lorong yang dingin itu. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, napasnya berat. Ingatannya tertuju pada saat ia mendorong sang ayah dan itu terus berputar-putar di kepalanya.
"Papa ... m-maafkan aku ... aku tidak bermaksud mencelakai Papa." Zavier menurunkan kedua tangannya dari wajah, lalu merunduk dan menatap kedua tangannya itu. "Tidak! Tidak! Aku tidak sengaja."
Tak lama kemudian, Rindu dan Arin yang tadi sudah diberitahu Zavier datang tergesa, wajah keduanya panik bukan main, rambut Arin berantakan seolah ia terburu-buru keluar rumah. Sementara Rindu ... berlinang air mata.
"Zavier! Apa yang terjadi dengan Papa?!"
"Iya, Kak, kenapa Papa bisa masuk rumah sakit?" jerit Arin menimpali.
Zavier berdiri cepat. "Ma, Rin ... aku nggak tahu. Saat aku masuk ke ruangan ... Papa udah tergeletak di lantai." Suaranya dibuat serendah mungkin, terdengar runtuh namun tetap tenang.
Rindu memegang dada, matanya kian basah. Ia hampir oleng, untung Arin memegangnya. "Ya Allah ... Papa." Tangis Rindu mengencang. "Pasti vertigo Papa kalian kambuh. Akhir-akhir ini dia banyak pikiran gara-gara kisruh rumah tanggamu dan Zhea. Dia pasti stres dan ..." Rindu tak melanjutkan ucapannya, karena suaranya tertelan oleh isakan.
Arin memeluk ibunya dengan erat, walau dia pun dalam keadaan histeris.
Zavier terdiam. Dia merasa seperti ditusuk. "Ini semua salahku," pikirnya.
Arin menangis perlahan. "Kemarin malam Papa cerita ke aku, kalau dia sakit kepala. Aku nggak tahu kalau akan jadi seperti ini. Seharusnya tadi pagi, Papa tuh nggak pergi ke kantor, Ma ..."
Zavier memejamkan mata, berusaha menahan gemetar. Ia tahu, satu kata jujur bisa menghancurkan segalanya.
Tapi kebohongan adalah jebakan yang kini mengurungnya.
Pintu IGD terbuka. Dokter paruh baya tadi keluar, melepas sarung tangan. "Keluarga Bapak Soni Dinata?"
Rindu dan Arin cepat menghampiri, diikuti Zavier yang gelisah.
"Bagaimana kondisi suami saya, Dok?"
Dokter menghela napas. "Pak Soni mengalami benturan cukup keras di kepalanya. Kami curiga ada pendarahan. Jadi, kami akan memindahkannya ke ruang ICU untuk diobservasi."
Rindu nyaris ambruk, Arin terisak.
Zavier menunduk, rasa bersalah menggerogoti tulang-tulang dan seluruh sendinya.
Dokter bertanya lagi. "Apakah pasien pernah mengalami vertigo?"
Arin yang menjawab, sebab sang ibu sibuk meratap. "Iya, Dok. Papa cukup sering mengalami vertigo, dan dari kemarin malam ... dia mengeluhkan sakit kepala."
Dokter mengangguk pelan. "Kemungkinan alasan beliau jatuh pasti karena vertigonya kambuh." Lalu dokter beralih menatap Zavier. "Bagaimana posisi Papa anda saat tadi anda menemukannya?"
Detik itu juga, jantung Zavier seperti berhenti memompa darah. Tapi ia harus tetap pada skenario kebohongannya. "Papa telentang, Dok."
Dokter mencatat, mengangguk. "Baik. Untuk sementara, kami akan fokus menstabilkan kondisinya. Mohon bersiap jika nanti dibutuhkan tindakan operasi."
"Iya, Dok."
"Saya permisi dulu." Dokter pun berlalu.
Setelah kepergian dokter, Zavier bersandar ke dinding, wajahnya pucat pasi.
Rindu duduk di peluk oleh Arin sambil tak henti menangis pelan, tak menyadari badai di dalam hati anak sulungnya.
Zavier menatap lantai, suara hatinya berkecamuk penuh sesal. "Pa ... aku nggak bermaksud membuat Papa masuk rumah sakit. Aku tadi cuma marah dan akhirnya hilang kendali. Maaf, Pa ... maaf."
Untuk pertama kalinya sejak ia berselingkuh ... Zavier benar-benar merasa seperti monster.
Dan ia tahu, kalau kebohongan ini terbongkar ... ia bukan hanya akan kehilangan jabatan. Tapi juga akan kehilangan keluarga beserta kebebasan.
Dering ponsel membuyarkan keheningan di lorong itu. Arin dan Rindu serentak melirik ke arah Zavier.
"Maaf, Ma." Zavier merogoh ponselnya, nama 'Elara' terpampang di layar, memanggil.
Zavier mengepalkan tangannya, mengusap ikon warna merah, lalu mengalihkan ponselnya ke mode diam.
"Dari si ember buluk ya?" celetuk Arin tanpa melihat ke arah sang kakak.
Zavier tak menjawab. Ia hanya menunduk dalam.
"Putuskan hubunganmu dengan dia, Zavier. Meski kamu dan Zhea nanti sudah bercerai ... tapi sampai mati pun, Mama tidak akan merestui hubunganmu dengan pelakor itu." Rindu angkat bicara di tengah isakannya.
Lagi-lagi Zavier tak menanggapi. Pikirannya masih tertuju pada kesalahannya pada sang ayah.
______
"Ihhh ...! Zavier kenapa menolak panggilanku?" Elara membanting ponsel mahalnya ke atas kasur, bibirnya mengerucut dengan dada yang mendadak panas. "Jangan-jangan dia lagi sama si Zhea?" Bara cemburu meledak-ledak.
Tangannya dengan cepat mengambil lagi ponsel dan kembali menekan nomor Zavier. Nada sambung terdengar, tapi panggilan itu diabaikan. Berkali-kali sampai mencapai sepuluh kali, Elara terus menghubungi nomor Zavier dan mengirim spam pesan ke nomor kekasihnya itu.
"Zavier ke mana sih?!" Mata Elara memerah, amarahnya naik ke kepala. "Aku harus menyusulnya ke apartemen," putusnya sambil bergegas mengambil tas berisi dompet dan memasukkan ponselnya. "Aku harus memastikan dia ada di sana dan tidak sedang bersama si Zhea!"
_____
Lampu indikator di depan ICU terus menyala merah, menandakan kondisi kritis.
Arin duduk memeluk ibunya erat-erat, wajah penuh ketakutan. Tapi ia berusaha menenangkan sang ibu yang tak henti sesenggukkan.
Zavier berdiri tidak tenang, bolak-balik memegang rambut dan tengkuknya penuh kecemasan, penuh rasa bersalah yang ia sembunyikan.
Pintu ICU akhirnya terbuka. Seorang dokter bedah saraf keluar dengan wajah serius. "Keluarga Bapak Soni Dinata?"
Arin, Rindu dan Zavier langsung berdiri.
"Saya istrinya, Dok. Bagaimana keadaan suami saya sekarang? Tidak ada luka serius kan di kepalanya?"
Dokter menarik napas panjang, lalu berbicara perlahan, tegas, dan penuh kehati-hatian. "Hasil pemeriksaan intensif menunjukkan jika Pak Soni Dinata mengalami pecah pembuluh darah akibat benturan yang sangat keras di kepala bagian depan dan belakangnya."
Rindu menutup mulutnya, tubuhnya goyah. Dan akhirnya jatuh terkulai dalam pelukan Arin. "Papa ... Rin, Papa ..." isaknya nyaris tak terdengar.
"Papa ..." Arin ikut membeo dengan air mata yang berjatuhan lagi.
Sementara Zavier tersentak, wajahnya semakin pucat. Hatinya seolah sekarat.
Dokter melanjutkan, "Kondisi ini sangat berbahaya. Ada penumpukan darah yang menekan jaringan otaknya. Jika tidak segera ditangani, risikonya tinggi, mulai dari kelumpuhan permanen, penurunan kesadaran, hingga ... kematian."
Arin menangis kencang. Dan Rindu, akhirnya jatuh pingsan.
Zavier dengan seluruh tubuh yang terasa mati rasa memeluk ibunya. Air matanya akhirnya jatuh. "Lalu sekarang bagaimana, Dok?" Suara Zavier parau.
"Kami akan melakukan operasi darurat untuk mengangkat darah yang menggenang. Semakin cepat dilakukan, semakin besar peluang beliau selamat."
Arin mengangguk cepat, air mata menetes tanpa bisa dihentikan. "Lakukan, Dok ... lakukan apa pun. Selamatkan Papa saya," ucapnya mewakili Rindu yang kini sudah dibawa oleh dua perawat ke salah satu ruangan karena masih pingsan.
Dokter mengangguk. "Baik, Mbak, Mas. Mohon tanda tangani surat persetujuannya. Operasi akan dimulai sebentar lagi."
Seorang perawat datang membawa berkas.
Arin melirik sang kakak dan memberikan pulpen itu kepada Zavier.
Zavier mengambil pulpen itu dengan tangan gemetar. Dia pun dengan hati penuh rasa bersalah akhirnya menandatangani surat persetujuan itu.
Beberapa perawat mendorong ranjang keluar dari ICU.
Soni telentang di atas ranjang itu dengan segala alat medis terpasang di tubuhnya, termasuk kepalanya juga. Wajahnya nampak pucat.
Arin menangis sambil memegang tangan papanya yang lemah. "Papa ... Papa harus kuat, ya ... Papa harus selamat. Jangan tinggalin kita, Pa."
Zavier berdiri diam di ujung koridor, memandang ayahnya yang dibawa menuju ruang operasi.
Hatinya hancur. Suara batinnya bergetar keras. "Kalau Papa nggak selamat ... aku akan jadi pembunuh. Tapi kalau Papa selamat dan ingat semuanya ...aku akan hancur dan tak akan dianggap anak lagi."
Tak ada jalan keluar. Kebohongan itu mulai menjerat lehernya sendiri.
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir