Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: PELARIAN PERTAMA YANG GAGAL
#
Alviona gak bisa tidur malam itu.
Udah tiga hari sejak dia ngeliat Daryon dan Kireina di café itu. Tiga hari dia mengurung diri lagi di kamar. Tiga hari dia cuma mikirin satu hal:
*Aku harus keluar dari sini.*
Gak peduli kemana. Gak peduli gimana. Dia cuma tau... dia gak bisa bertahan lebih lama lagi.
Kata-kata ibunya masih bergaung di kepala: *"Keluarga kita bergantung padamu."*
Tapi bagaimana dia bisa ngelindungin keluarga kalau dia sendiri hancur?
Malam itu, pukul 1 dini hari, Alviona duduk di tepi ranjang, natap tas ransel kecil yang udah dia siapin. Isinya simpel: beberapa potong baju, dompet dengan uang sisa tabungannya yang gak seberapa—cuma sejutaan—ponsel, charger, sama foto keluarga.
Itu aja.
Dia gak butuh yang lain.
Tangannya gemetar waktu dia gendong tas itu. Jantungnya berdebar keras—bukan excited, tapi takut. Takut ketahuan. Takut gagal. Takut... konsekuensi yang bakal dia terima kalau Daryon tau.
Tapi dia gak punya pilihan lain.
Dia buka pintu kamar pelan-pelan—pelan banget—sampai gak ada bunyi. Mansion sunyi total. Lampu-lampu udah dimatiin, cuma lampu malam redup di beberapa koridor.
Alviona melangkah pelan, setiap langkah kayak jalan di atas kulit telur yang bisa pecah kapan aja. Napasnya ditahan. Tangannya berkeringat dingin.
Turun tangga.
Satu anak tangga.
Dua.
Tiga.
Setiap bunyi kecil—derit lantai, hembusan angin dari jendela—bikin jantungnya hampir copot.
Sampai akhirnya dia nyampe di lantai bawah.
Pintu depan terlihat di ujung koridor.
Kebebasan.
Alviona melangkah lebih cepat sekarang, hampir berlari—
"Nona Alviona."
Suara berat dari belakang bikin Alviona membeku total.
Dia noleh pelan.
Dan ngeliat seorang security—Pak Budi, salah satu satpam mansion—berdiri di ujung koridor dengan senter di tangan. Wajahnya datar, tapi tatapannya... serius.
"Mau kemana tengah malam begini?" tanyanya pelan, tapi nadanya tegas.
Alviona gak bisa jawab. Mulutnya kering.
"Saya... saya cuma..." Suaranya bergetar. "Saya cuma mau... jalan-jalan—"
"Dengan tas?" Pak Budi nunjuk tas ransel di punggung Alviona. "Di jam 1 pagi?"
Alviona mundur selangkah.
"Kumohon, Pak..." bisiknya lirih, air matanya mulai keluar. "Kumohon biarkan aku pergi... aku janji gak bakal ngerepotin... aku cuma... aku cuma pengen pulang..."
Pak Budi natap Alviona lama. Ada sesuatu di matanya—mungkin kasihan—tapi dia tetep nggeleng pelan.
"Maaf, Nona. Saya harus lapor ke Tuan Daryon."
"JANGAN!" Alviona hampir berteriak, tapi dia tutup mulutnya cepat. "Kumohon jangan bilang dia... kumohon..."
Tapi Pak Budi udah jalan ke arah telepon internal di dinding koridor, mengangkat gagang telepon.
Alviona ngerasa dunianya runtuh.
---
Lima belas menit kemudian, suara mobil terdengar dari luar.
Daryon pulang.
Tengah malam. Padahal dia gak ada di rumah sejak sore tadi—mungkin habis dari tempat Kireina.
Pintu mansion terbuka keras.
BRAK!
Daryon masuk dengan langkah cepat, wajahnya... gelap. Lebih gelap dari biasanya. Tatapannya penuh amarah yang ditahan.
Dia masih pake kemeja kerja yang agak berantakan, lengan dilipat sampai siku, rambut agak acak-acakan. Tapi auranya... menakutkan.
Alviona berdiri kaku di tengah ruang tamu, tas ransel masih di punggungnya, tubuhnya gemetar.
Daryon berhenti beberapa meter dari Alviona. Menatapnya tajam.
Keheningan mencekik.
"Kau mau kemana?" Suaranya rendah. Terlalu rendah. Kayak sebelum badai.
Alviona gak bisa jawab. Lidahnya kelu.
"AKU TANYA, KAU MAU KEMANA?!" Tiba-tiba suara Daryon meledak—keras, menggelegar di seluruh ruangan.
Alviona mundur, air matanya jatuh.
"A-aku... aku cuma..."
"Kabur?" Daryon melangkah cepat—terlalu cepat—dan tiba-tiba tangannya udah mencengkeram lengan Alviona. Kencang. Sakit. "KAU MAU KABUR?!"
"Sakit—Daryon—lepas—"
Tapi Daryon gak peduli. Dia menyeret Alviona—kasar—ke arah tangga. Alviona tersandung berkali-kali, kakinya hampir keseleo, tapi Daryon terus nyeret.
"DARYON KUMOHON—AKU GAK KUAT—"
Dia gak dengerin.
Naik tangga.
Koridor.
Pintu kamar Alviona dibuka keras, dan Alviona dilempar masuk—literally dilempar—sampai tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. Tas ranselnya jatuh terpisah.
"ARGH!" Alviona meringis kesakitan, lututnya lecet, tangannya perih.
Daryon masuk, nutup pintu, ngunci dari dalam.
KLIK.
Suara kunci itu kayak vonis mati.
Daryon berdiri di depan pintu, napasnya berat, tatapannya penuh kemarahan.
"Kau pikir kau bisa kabur?" tanyanya rendah, melangkah pelan ke arah Alviona yang masih tergeletak di lantai. "Kau pikir kau bisa ninggalin rumah ini sesuka hatimu?"
"Aku... aku gak kuat lagi..." isak Alviona, suaranya pecah. "Kumohon... biarkan aku pergi..."
"PERGI?!" Daryon jongkok, mencengkeram rahang Alviona, memaksanya natap dia. "Kau mau pergi kemana?! Kembali ke keluargamu yang bangkrut?! Kau lupa siapa yang bayar hutang mereka?!"
"Aku... aku tau... tapi aku—"
"Atau kau pikir kau bisa hidup sendiri di luar sana?" Daryon nyengir sinis. "Kau cuma anak 16 tahun yang gak punya apa-apa. Gak ada skill. Gak ada ijazah. Gak ada uang. Kau bakal mati kelaparan dalam seminggu."
Setiap kata menusuk.
"Jadi dengar baik-baik..." Daryon menarik wajah Alviona lebih deket, sampai hidung mereka hampir bersentuhan. "Kau. Milik. Ku. Kau gak bisa kemana-mana tanpa izinku. Kau gak bisa kabur. Kau gak bisa mati. Kau cuma bisa... taat."
Dia melepas cengkeraman, berdiri, natap Alviona dari atas dengan tatapan meremehkan.
"Dan karena kau berani coba kabur..." Daryon melipat lengan. "Aku harus kasih pelajaran."
Alviona merangkak mundur, tubuhnya gemetar hebat.
"Kumohon... kumohon jangan..." bisiknya parau.
Tapi Daryon gak dengerin.
---
Malam itu, Daryon menghukum Alviona.
Bukan dengan kekerasan fisik yang biasa—walau itu juga ada. Tapi dengan sesuatu yang lebih kejam.
Dia mengurung Alviona.
Setelah... setelah dia selesai dengan Alviona—setelah dia menyentuhnya dengan brutal, lebih kasar dari sebelumnya, sampai Alviona hampir pingsan—Daryon berdiri, membereskan pakaiannya dengan tenang.
"Mulai sekarang," ucapnya dingin, "kau gak akan keluar dari kamar ini."
Alviona tergeletak lemas di ranjang, tubuhnya sakit di mana-mana, gak bisa gerak.
"Tiga hari. Kau akan dikunci di sini. Gak ada telepon. Gak ada ponsel." Daryon mengambil ponsel Alviona dari tas ranselnya, masukin ke saku. "Gak ada kontak sama siapa pun."
"Daryon..." Alviona berbisik lirih, suaranya hampir gak kedengeran.
"Makanan akan diantar tiga kali sehari. Diselipkan lewat pintu. Kau makan atau gak, itu urusanmu." Daryon jalan ke pintu. "Gunakan waktu ini buat mikir. Mikir baik-baik apa yang terjadi kalau kau berani kabur lagi."
Dia buka pintu, keluar—
Dan pintu ditutup.
KLIK.
Suara kunci dari luar.
Alviona sendirian.
Dikunci.
Di kamarnya sendiri.
---
Hari pertama, Alviona masih nangis.
Nangis sampai gak ada air mata lagi. Tubuhnya sakit. Kepalanya pusing. Perutnya mual.
Makanan diselipkan dari bawah pintu—nasi, lauk, air putih dalam botol. Tapi Alviona gak sentuh. Dia gak bisa makan. Tenggorokannya kayak kesumbat.
Hari kedua, Alviona mulai mati rasa.
Dia cuma rebahan di ranjang, natap langit-langit, gak mikirin apa-apa. Pikirannya kosong. Hatinya kosong.
Dia kayak mayat hidup.
Hari ketiga, Alviona mulai ngomong sendiri.
"Maafin aku, Ibu..." bisiknya pelan di kegelapan kamar. "Maafin aku gak bisa bertahan..."
"Maafin aku..."
"Maafin aku..."
Dan di hari ketiga, pintu akhirnya dibuka.
Daryon berdiri di ambang pintu, tatapannya datar.
"Kau udah belajar?" tanyanya dingin.
Alviona gak jawab. Dia cuma natap Daryon dengan tatapan kosong.
Daryon masuk, duduk di tepi ranjang—tapi gak nyentuh Alviona.
"Jangan pernah coba kabur lagi," ucapnya pelan, tapi nadanya penuh ancaman. "Atau hukuman selanjutnya akan lebih parah."
Dia berdiri, jalan ke pintu.
"Sekarang kau bebas keluar. Tapi inget..." Dia noleh, tatapannya menusuk. "Aku selalu mengawasi."
Dan dia pergi.
Meninggalkan Alviona yang... udah bener-bener mati di dalam.
---
**[ END OF BAB 10 ]**
---
#