"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan
Malam harinya, persiapan keberangkatan telah selesai. Marco telah membeli tiket penerbangan kelas bisnis untuk perjalanan mereka ke Spanyol malam ini. Ia sengaja memilih penerbangan tengah malam agar waktu perjalanan yang panjang bisa digunakan anak-anak untuk tidur. Ia ingin si kembar tiba di Spanyol dalam keadaan segar, bukan rewel karena jetlag.
Setelah memastikan semua dokumen dan persiapan diurus oleh Jack, Marco keluar dari kamar hotel mewahnya. Di lobi, Xyro sudah menunggunya dengan senyum tipis.
Keduanya berjabat tangan erat, lalu berpelukan ala pria dewasa, saling menepuk punggung seolah menyalurkan kekuatan.
"Sampai bertemu lagi, Kawan. Walaupun kamu sudah mencuri wanita incaranku secara teknis ... tapi, yah ... kuberikan saja dengan sukarela ke kamu. Aku tidak mau jadi pebinor," gurau Xyro, mencoba menutupi rasa sedihnya kehilangan sahabat dan wanita yang sempat ia kagumi.
Marco mendelik kesal, melepas pelukan mereka. "Wanita itu sepaket dengan anak-anakku, Xyro. Jelas saja dia milikku. Jangan coba-coba menggoda ibu dari anak-anakku lagi," ancam Marco setengah bercanda. "Ayo Jack, nanti kita ketinggalan pesawat."
Marco melangkah pergi diikuti oleh Jack yang membawa tas kerjanya. Xyro menatap punggung tegap sahabatnya itu sambil melambaikan tangan.
"Setelah sekian purnama hidup dalam kesengsaraan cinta, akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaanmu, Marco. Semoga kamu bisa belajar jatuh cinta lagi," gumam Xyro tulus.
Mobil mewah yang dikemudikan supir sewaan melaju membelah malam menuju kediaman Mora. Sesampainya di sana, Mora sudah menunggu di teras dengan dua koper besar dan si kembar yang tampak terkantuk-kantuk duduk di kursi panjang.
Marco tersenyum melihat pemandangan itu. Ia lalu turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Sudah siap?" tanya Marco lembut. Ia memberi isyarat pada Jack untuk segera mengangkut koper-koper Mora ke bagasi mobil.
"Heum," gumam Mora pelan. Ia mengelus kepala Rakael yang sedang menguap lebar hingga matanya berair.
"Mereka sudah tidur tadi jam delapan, tapi aku bangunkan sejam yang lalu untuk ganti baju. Jadi, nyawanya belum kumpul semua," jelas Mora.
Marco mengangguk paham. Ia merentangkan tangannya hendak menggendong Vier, tapi gadis kecil itu menghindar halus.
"Raka saja, aku masih kuat jalan. Raka kalau ngantuk jalannya aneh, nanti jatuh," tolak Vier dewasa.
Marco menurut, menghargai kemandirian putrinya. Ia beralih menggendong Rakael. Benar saja, begitu tubuh mungil itu berada dalam gendongan Marco, kepala Rakael langsung jatuh terkulai di bahu ayahnya, kembali tertidur lelap seolah tidak pernah bangun sebelumnya. Napas teraturnya menggelitik leher Marco.
"Ayo masuk ke mobil," ajak Marco.
Jack membukakan pintu mobil untuk Vier. Gadis kecil itu masuk, lalu langsung mencari posisi nyaman di jok kulit yang empuk.
Sementara itu, Mora berdiri berhadapan dengan Kirana di teras. Momen perpisahan yang paling berat akhirnya tiba. Mora memeluk erat tubuh ringkih wanita yang telah menyelamatkan hidupnya dari rasa sepi itu. Tangisnya pecah tanpa suara.
"Ma ... aku pamit. Aku akan pulang, janji," bisik Mora di telinga Kirana.
Kirana menepuk-nepuk punggung Mora, menahan air matanya sendiri agar Mora tidak berat hati. "Pergilah, Nak. Kejar kebahagiaanmu dan anak-anak. Mama enggak apa-apa di sini. Mama kuat."
Setelah pelukan mereka terlepas, Mora menghapus air matanya dan mengangguk mantap. Ia berjalan masuk ke dalam mobil, duduk di samping Vier.
Marco, yang masih berdiri di luar, menatap Kirana dengan tatapan penuh hormat. Pria itu menundukkan kepalanya sedikit, sebuah gestur yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Marco Ramirez.
"Terima kasih. Terima kasih banyak sudah menjaga dan merawat mereka saat aku tidak ada, Bu," ucap Marco tulus. Suaranya bergetar sedikit.
Kirana tersenyum teduh, matanya berkaca-kaca. "Sama-sama, Nak Marco. Hati-hati ya. Jaga mereka, lindungi mereka dengan nyawamu. Ibu percaya sama kamu. Dan ... jangan lupa pikirkan saran Ibu soal pernikahan itu," ucap Kirana lembut penuh arti.
Marco tersenyum tipis dan mengangguk. "Pasti, Bu."
Marco pun masuk ke dalam mobil. Mesin menderu halus, dan perlahan kendaraan mewah itu melaju meninggalkan halaman rumah sederhana yang penuh kenangan.
Kirana berdiri di pagar, melambaikan tangannya sampai lampu belakang mobil itu menghilang di tikungan jalan. Ada rasa kehilangan yang mendalam menyayat hatinya. Tiba-tiba, rumahnya terasa begitu sunyi. Hampa, tidak ada lagi celoteh Rakael yang minta makan, atau suara Mora yang sedang memasak.
Namun, senyum di wajahnya tetap terukir. Kebahagiaan cucu-cucunya adalah yang utama.
Kirana berbalik badan, hendak masuk ke dalam rumah untuk mengunci pintu. Saat ia melangkah ke ruang tamu, matanya menangkap sebuah benda asing di atas meja. Sebuah koper kecil berwarna hitam metalik yang terlihat kokoh dan mahal.
Kirana mengerutkan kening. "Punya Mora ketinggalan kali ini ya? Kok enggak dibawa?" gumamnya bingung.
Dengan rasa penasaran, Kirana mendekat. Koper itu tidak terkunci. Ia membuka kaitannya dan mengangkat tutupnya.
"Astaga!"
Kirana terpekik kaget, tangannya menutup mulut. Matanya membelalak sempurna melihat isi koper itu.
Tumpukan uang tunai. Bukan Rupiah, tapi Dolar Amerika. Gepokan uang berwarna hijau itu tersusun rapi memenuhi koper, jumlahnya mungkin ratusan ribu dolar, cukup untuk membeli rumah besar.
Di atas tumpukan uang itu, tergeletak secarik kertas putih dengan tulisan tangan tegak bersambung yang rapi. Kirana mengambilnya dengan tangan gemetar.
"Terima kasih sudah menjadi malaikat pelindung bagi anak-anak dan istri masa depanku. Uang ini tidak akan pernah cukup membalas kebaikan Ibu, tapi terimalah sebagai hadiah kecil dariku. Gunakan untuk menikmati masa tua Ibu, atau untuk apapun yang Ibu mau. Aku berjanji akan membawa mereka kembali mengunjungi Ibu suatu saat nanti."
— Marco Ramirez
__________________________________
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
Bkn mengawal...tp mengawasi !
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Suruhan siapa lagi ini
Wah bahaya ini.